Legal standing sesungguhnya mirip dengan istilah tiada gugatan tanpa adanya kepentingan hukum atau disebut point d’ interest, point d’ action. Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang atau kelompok dikatakan dapat memiliki legal standing apabila terdapat kepentingan hukum yang dikaitkan dengan kepentingan kepemilikan atau kerugian langsung.
Dalam konteks Hak Asasi Manusia, Pasal 28 I ayat (3) UUD Negara RI 1945 menghormati “identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional”. Begitu pula dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya. Pasal 18 B UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun demikian, apabila kerugian tersebut belum terjadi, akan tetapi dengan suatu penalaran yang wajar dapat diperkirakan kerugian konstitusional tersebut potensial akan terjadi, maka hal itu dapat diterima. Didalam merumuskan permohonan, setelah menguraikan adanya hak konstitusional yang diberikan dan kerugian yang dialami, wajib dipehatikan bahwa antara keduanya mutlak harus ada hubungan sebab-akibat (causal verband) mungkin saja terjadi, pemohon memang benar memiliki hak dan atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang dasar 1945 dan pemohon juga mengalami kerugian, namun kerugian tersebut tidak ada hubungan sebab-akibat dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan, sehingga permohonannya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Kosntitusi.
D. Analisis
Filsafat hukum adalah induk dari ilmu hukum di indonesia, keberadaan filsafat hukum yang mengolah hukum secara ilmiah pada tataran kefilsafatan sudah dirasakan cukum memadai. Filsafat hukum sendiri digunakan untuk kegiatan akal budi manusia untuk secara ilmiah mempelajari hukum yang berlaku di suatu negara atau masyarakat tertentu dengan tujuan untuk menemukan dan menawarkan penyelesaian terhadap masalh hukum konkret.
Dalam filsafat hukum kita hendak berfikir reflektif tentang hukum sebagai gejala yang dipranatakan oleh manusia. Filsafat hukum hendak mencari hakikat hukum, ingin mengetahui apa yang sebenarnya ada di balik norma-norma hukum, mencari yang tersembunyi didalam hukum, menyelidiki norma hukum sebagai pertimbangan nilai dan ponstulat hukum, sampai pada penyelidikan tentang dasar terakhir.
Dalam ciri yang lain, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar. Artinya, dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak berfikir kritis dan radikal, universal. kritis maksudnya tajam, sementara radikal itu sampai kepada intinya, universal maksudnya keseluruhan, seperti objek filsafat hukum adalah hukum, hukum itu yang dikaji sampai pada intinya yang dinamakan hakikat.
Jadi di dalam legal standing atau kedudukan hukum, menurut filsafat hukum yang menjadi objeknya adalah hukum itu sendiri, yang dimana legal standing harus memiliki tiga (3) unsur asas di dalamnya, yakni:
1. Asas keadilan.
2. Asas kepastian hukum.
3. Asas kemanfaatan.
Dibentuk dan terbentuknya legal standing sebagai salah satu tujuan dari hukum di Indonesia yang adalah mengadaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan pengadilan.
Legal standing dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan (Civil Proceding) , disederhanakan sebagai hak gugat. Secara konvensional hak gugat bersumber pada filsafat hukum yang prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud disini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).