“Eyang, apa Eyang Mirah dulu tewas karena dibom Cocor Merah?”
Eyang Wari tersentak
“Ya, bagaimana kamu bisa tahu? Mirah memberikan kalung ini pada seorang anak perempuan yang aneh penampilannya tidak seperti anak di jamanku. Sore itu ketika kami sedang bermain di pabrik gula, seorang anak perempuan datang membawa sepeda warna merah dengan banyak hiasan. Anak itu awalnya tampak kebingungan, Mirah menegurnya lalu kami berkenalan. Akhirnya dia membiarkan sepedanya dipinjam aku dan teman-temanku. Mirah ternyata menginginkan sepeda itu lalu membelinya dan membayarnya dengan kalung itu. Tapi sayang, ketika itu pesawat Cocor Merah datang mengebom, kami bersembunyi di dalam gedung. Setelah bunyi pesawat menjauh, Mirah keluar dari gedung ingin melihat sepedanya. Tapi ternyata dia terkena bom ketika mau keluar gedung. Lalu bagaimana kamu bisa menemukan kalung ini kembali?”
Dengan suara bergetar Santi berkata
“Mirah yang memberikannya kepadaku kemarin sehabis karnaval.”
Eyang Wari terkejut, tangannya yang membawa kalung bergetar.
“Kamu bertemu dengan arwahnya?”
“Tidak, aku bertemu Eyang, Mirah, Bowo dan Harto saat masih kecil. Kami sempat bermain bersama tapi tiba-tiba ada pesawat Cocor Merah mengebom Pabrik. Aku juga melihat Eyang Mirah meninggal setelah itu aku pingsan,” ungkap Santi.
Mata tua Eyang Wari menerawang jauh, bibirnya tersenyum lalu berkata
“Mungkin ini adalah suatu pertanda bahwa aku akan bertemu kembali dengan dia. Ternyata kamulah anak itu, kamu sudah masuk ke masa ketika aku dan Mirah masih anak-anak. Kalung ini jagalah baik-baik, Mirah telah mempercayaimu untuk menyimpan kalung kesayangannya.” Eyang Wari lalu mengalungkan kalung ke leher Santi.
“Saya janji akan menjaga kalung ini dengan baik Eyang.”