Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bila Bersama Saudara Hidup Rukun

28 September 2018   18:08 Diperbarui: 28 September 2018   18:43 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fr. Yudel Neno

(Alumnus Fakultas Filsafat Unwira Kupang)

 A. Teks Kitab Suci Yang Menginspirasi Tulisan ini

Tulisan ini merupakan sebuah permenungan lanjut atas teks Kitab Mazmur 133:1-3. Walaupun diakui bahwa konteksnya berbeda tetapi sekiranya hikmahnya dapat dipetik bahwa bila sesama-saudara hidup rukun, situasi seperti itu makin menyatakan berkat Allah dan makin menunjukkan Allah sebagai sumber perdamaian.

Mazmur 133 ini merupakan nyanyian ziarah Daud. Menurut catatan dari Alkitab edisi studi, khususnya pada Kitab Mazmur 120:1 mengartikan nyanyian ziarah dengan kata "naik". Yang dimaksudkan dengan "naik" adalah naik ke puncak bukit Sion. Nyanyian ziarah ini dilantunkan ketika orang-orang Israel mendaki bukit Zion untuk bersyukur kepada Allah atas kelimpahan rahmat yang telah mereka alami.

Hikmahnya bagi kita, sebagai umat kristiani, dalam kaitannya dengan membangun kerukunan antarumat beragama adalah memandang penganut agama lain sebagai sama saudara yang bergerak menuju wujud tertinggi yang sama yakni Allah. Dalam kerangka pemikiran seperti inilah tulisan ini mau dibedah.

B. Arti Kerukunan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefenisikan kerukunan dengan banyak arti. Rukun berarti (1 ) Baik dan damai, tidak bertengkar; tentang pertalian persahabatan. (2) Bersatu hati; bersepakat; ragam.(3) Perkumpulan berdasarkan tolong-menolong dan persahabatan. Dari kata rukun, diturunkan kata kerukunan yang berarti (1) Perihal hidup rukun; keragaman; kesepakatan; (2) perasaan rukun (bersatu hati).  

C.Kerukunan Antarmat Beragama

Agama manapun tidak pernah mengajarkan atau melayakkan para penganutnya melakukan kejahatan terhadap sesama penganut agama lainnya. Hanya kecuali ada kekeliruan atau salah tafsir terhadap ajaran tertentu.

Butir-butir pembahasan di bawah ini sekiranya membantu kita untuk memahami dan menghayati kerukunan sebagai way of life dalam konteks pluralitas religius masyarakat.

Rukun Sebagai Bahasa Bathin

Bathin manusia akan kebal godaan dan tantangan jika rukun di dalamnya. Rukun tidak berarti hanya menjadi milik bathin tanpa wujud nyata. Bathin yang baik akan menunjukkan dimensi sosialitasnya. Sebab bathin tanpa sosialitas tidak lain dan tidak bukan adalah individualisme bathin.  Tentunya individualisme bathin tidak diharapkan sebab adanya hanya menciptakan jurang pemisah dengan bathin sesama lain.

Dengan demikian, rukun sebagai bahasa bathin mengandaikan pendalaman yang serius terhadap manusia sebagai makhluk individual dan makhluk sosial. Secara individual, setiap insan berdiri sendiri tetapi secara sosial, di sampingnya masih ada lain yang juga berdiri sendiri.  

Dalam arti ini, rukun berarti merasa damai dengan diri sendiri, merasa damai dengan agama yang dianut dan merasa damai dengan sesama penganut agama lain dan merasa damai dengan agama lain yang dianut sesame.

Rukun Sebagai Bahasa Kritis

Rukun sebagai bahasa kritis menunjuk pada posisi memberangus kerukunan semu atau kemunafikan yang dipoles dengan formulasi kalimat kasih. Seringkali kerukunan digunakan sebagai pintu masuk untuk mengetahui dan mengganggu kebenaran agama lain.

Dengan kata lain, sikap rukun merupakan sebuah tuntutan susila dalam hidup bersama tetapi sikap kritis setiap penganut agama mesti tetap kokoh bukan untuk menyerang kebenaran agama lain melainkan sebagai kekuatan untuk membendung gangguan-gangguan yang datang dari luar terhadap kebenaran agama yang dianuti.

Rukun sebagai bahasa kritis bertujuan untuk mencermati dan menghindari bahaya rayuan psikologis semata dalam hidup bersama.

Dalam arti ini, rukun tidak berarti tidak kritis. Rukun berarti merasa damai dan nyaman dengan agama dan ajaran yang dianut serta tetap kritis terhadap isu-isu yang merobohkan kebenaran agama yang dianut. Sikap kritis ini sangat diperlukan demi menghindari praktek sikap indiferentisme yang menyamaratakan kebenaran begitu saja dengan elemen kolegial dan juga untuk membendung sikap ekslusivisme yang mengklaim kebenaran agama sendiri sembari ada usaha untuk menunjukkan kelemahan penganut agama lain.

Rukun Sebagai Bahasa Persaudaraan

Rukun sebagai bahasa persaudaraan mengandaikan peranan bathin dan peranan sikap kritis. Hidup bersaudara tidak berarti bathin dan sikap kritis dikorbankan. Hidup bersaudara tanpa posisi bathin yang benar dan sikap kritis yang tepat akan terjerat dalam lingkaran persaudaraan psikologis semata.

Menurut Dekrit Unitatis Redintegratio, artikel 19, dialog sebagai media untuk mencapai kerukunan dalam segala perbedaan mesti sampai pada pengakuan kebenaran wahyu dari setiap agama. Hidup bersaudara akan terjalin baik jika memahami dan mengakui kebenaran agama lain sambil memahami dan menghayati kebenaran agama sendiri. Di sinilah dimensi persaudaraan di mata perbedaan sungguh teruji daya tahannya.

Rukun Sebagai Komitmen Terhadap Martabat Sosial Manusia

Rukun sebagai komitmen mengagendakan sejumlah sikap dan aktivitas penghormatan dan pengkauan pada manusia pada umumnya dan setiap penganut agama pada khususnya. Sebagaimana ketika fisik manusia sakit, jiwa pun ikut terpengaruh ataupun sebaliknya, sedemikian itu setiap penganut agama mesti menempatkan sesamanya sebagai dirinya yang lain, yang mesti diperlakukan sebagai sesama ciptaan dengan penuh komitmen.

Dalam arti ini, rukun sebagai komitmen membuahkan niat kerja sama yang tinggi.

D. Memperkuat Kerukunan Melalui Dialog

Patut dicatat bahwa dialog merupakan usaha yang paling maksimal untuk menciptakan kerukunan dalam perbedaan agama. Walaupun demikian, patut dicatat bahwa dialog antaragama bukanlah media untuk menyebarkan agama. Bukanlah media untuk saling mendiskreditkan. Dan juga bukanlah media untuk saling berlomba-lomba menunjukkan kehebatan penganut sambil menunjukkan siapa yang paling benar dalam ajaran agamanya. Dialog juga tidak bertujuan untuk menetapkan suatu teologi universal sebab dialog mengandaikan adanya keunikan teologi pada masing-masing agama. Jika sikap seperti ini dipupuk, maka dialog akan berubah wajah menjadi malapetaka yang berujung pada dahsyatnya perpecahan dan tajamnya konflik.

E. Empat Macam Dialog Dalam Pernyataan Nostra Aetate,  Dekrit Ad Gentes dan Unitatis Redintegratio

Di dalam ketiga Dokumen Konsili Vatikan II ini, tentu tidak ditemukan rumusan kronologis persis seperti empat macam dialog ini. Walaupun demikian, penulis berusaha untuk menemukan keempat macam dialog ini dengan bereferensi pada artikel-artikel tertentu dari ketiga dokumen ini sambil mendasarkan diri pada pembahasan empat bentuk dialog oleh Armada Riyanto, CM dalam bukunya yang berjudul "Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik", halaman 110-113.

Dialog Kehidupan atau Dialog Persaudaraan (NA, artikel 2, AG, art. 11, art 16, UR, art. 9)

Dialog ini ditujukan bagi semua orang. Dialog ini merupakan level dialog yang paling mendasar tetapi bukan paling rendah. Dengan pendasaran bahwa ciri-ciri kehidupan masyarakat pada umumnya adalah berciri dialogis. Ciri dialogis ini makin erat melalui hidup bersaudara dengan rukun, membangun semangat solidaritas dan subsidiaritas untuk saling peduli dan saling menyokong dalam hidup bersama.

Dialo Karya atau Kerja Sama (NA, art. 2)

Dialog ini berlangsung antara penganut agama yang berbeda dan bekerja sama dalam level internasional untuk peduli dan melayani martabat manusia ketika dilanda bencana entah alam maupun kejahatan moral.

Dialog Pandangan Teologis-untuk para ahli (NA, artikel 2, UR, art. 4)

Setiap agama memiliki teologinya sendiri. Teologi agama banyak kali rumit untuk dipahami apalagi dipublikasikan, sehingga membutuhkan orang-orang tertentu yang ahli dalam bidang teologi (para ahli). Dialog dalam level pandangan teologis ini bertujuan menyampaikan warisan ajaran dan kebenaran ajaran yang dapat dipergunakan sebagai kekuatan untuk menghadapi persoalan umat manusia pada umumnya. Dialog ini tidak boleh berpretensi apa-apa kecuali untuk saling memahami pandangan teologis dari setiap agama dan menghargai nilai-nilai rohani yang terdapat di dalamnya. Dialog ini pun tidak dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama rekan dialog. Dialog teologis ini sangat membutuhkan sikap keterbukaan untuk menerima dan mengakuinya.

Dialog Pengalaman keagamaan atau pengalaman iman (NA, artikel 2)

Dialog ini merupakan dialog tingkat tinggi. Sebab bertujuan untuk mempekaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi sebgai seorang penganut agama. Dalam dialog ini, pribadi yang berakar dalam tradisi keagmaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi. Karena itu, dialog ini sangat mengandaikan iman yang mantap.

Supaya empat macam dialog ini dapat berjalan demi mencapai kerukunan, dan demi menghindari sikap indiferentisme (menyamaratakan begitu saja), sebagai umat katolik ada dasar kebenaran wahyu yang mesti diketahui dan dipedomani sebagaimana diuraikan panjang lebar dalam Dekrit Unitatis Redintegratio tentang Ekumenisme artikel 20-23.

Art. 20 : Iman Akan Kristus

Sebagai umat Katolik, dalam terang Konsili Vatikan II, dialog dilakukan dengan berpusat pada Kristus. Karena itu, tepat kalau dikatakan bahwa dialog pengalaman iman merupakan dialog tingkat tinggi karena melalui dialog kerukunan diciptakan melalui usaha untuk menunjukkan kesetiaan iman terhadap Kristus.

Walaupun demikian, iman akan Kristus tidak dapat dipaksakan agar harus diterima oleh penganut agama lain. Sebab, mereka pun memiliki iman yang dapat diwujudkan dengan cara yang berbeda pula.

Iman akan Kristus mesti mendorong setiap penganut agama Katolik untuk menyapa saudaranya sebagaimana Kristus, menyapa Gereja-Nya sebagai Tuhan dan saudara yang dapat dipertanggungjawabkan supaya kita semua mempunyai hidup dan hidup dalam segala kelimpahan (Yoh. 10:10).

Art. 21 : Pendalaman Kitab Suci

Iman akan Kristus kokoh ditemukan dalam Kitab Suci khususnya Injil. Karena itu, tidak mengenal Kitab Suci sama halnya dengan tidak mengenal Kristus (St. Hironimus). Tentunya ungkapan ini tidak dimaksudkan untuk menyerang sesama penganut agama lain.  Tetapi sebagai umat katolik, untuk membangun persaudaraan yang rukun, nilai-nilainya mesti ditemukan dalam Kitab Suci sebagaimana Kristus adalah perintis dan tokoh teladan.

Art. 22 : Kehidupan Sakramental

Gereja Katolik memiliki tujuh sakramen. Di antaranya, sakramen baptis merupakan pintu masuk untuk menjadi anggota Gereja Katolik. Walaupun demikian, kita patut mengakui bahwa sesama penganut agama lain tidak bersatu sepenuhnya dengan kita berdasarkan pembaptisan.

Art. 23 : Kehidupan dalam Kristus

Sebagai umat katolik, hidup dalam Kristus berarti hidup dalam terang Sabda-Nya dan bersatu dengan-Nya dalam tubuh mistik-Nya. Kehidupan seperti ini mesti membuahkan rasa keadilan yang peka dan cinta kasih yang tulus terhadap sesama termasuk sesama penganut agama lain.

F. Bila Bersama Saudara Hidup Rukun

Hidup bersama bersama dengan rukun akan tercipta jika melalui dialog kehidupan setiap orang mengutamakan semangat solidaritas dan semangat subsidiaritas untuk saling memahami dan saling menyokong dalam segala persoalan manusia.

Hidup bersama dengan rukun akan tercipta jika melalui dialog kerja sama setiap penganut terpanggil untuk peduli terhadap martabat manusia dengan mengandalkan kekuatan kasih yang bersumber dari nilai-nilai keagamaan masing-masing.

Hidup bersama dengan rukun akan tercipta jika melaui dialog pandangan teologis, ada sikap saling mengerti, saling mengakui dan saling menghargai.

Hidup bersama dengan rukun akan tercipta jika melalui dialog pengalaman iman, setiap penganut bukannya menunjukkan imannya sebagai yang lebih dari sesama penganut agama lain melainkan menunjukkan kesetiaan imannya menurut kebenaran ajaran agamanya.

Sungguh indah, bila bersama saudara hidup rukun karena ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat kehidupan untuk selama-lamanya. Dialog akan menjadi berkat jika menciptakan kerukunan. Dialog akan menjadi malapetaka jika yang dicapai bukan kerukunan.

Sumber Bacaan :

  • ALkitab Edisi Studi
  • Dokumen Konsili Vatikan II :
  • Dekrit Unitatis Redintegratio tentang Ekumenisme
  • Dekrit Ad Gentes tentang Kegiatan Misioner Gereja
  • Pernyataan Nostra Aetate tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen.
  • Buku-Buku :
  • Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, penulis F.X.E. Armada Riyanto, CM.
  • Pengembangan Kerukunan Umat Beragama di NTT, Penyunting Dr. Philipus Tule, SVD dan Dra. Maria Matildis Banda, MS.
  • Dialog : Kiritk dan Identitas Agama, penulis Abdurrahman Wahid, Banawiratma, dkk
  • Dari ko-Eksistensi menuju pro-Eksistensi,
  • penulis Dr. Norbert Jegalus, MA
  • Agama-Agama dan Dialog antar Agama dalam Pandangan Kristen, penulis Dr. Herman Punda Panda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun