Hingga 4 November 2019, 25 dari 34 provinsi di Indonesia telah menetapkan UMP untuk Tahun 2020. Padahal berdasarkan UU, Kepala Daerah sudah harus mengumumkan UMP tahun berikutnya setiap tanggal 1 November. Ini membuktikan kerasnya tarik menarik kepentingan antara pelaku usaha dengan serikat pekerja.
Sementara Kementerian Ketenagakerjaan sendiri telah memutuskan untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi sebesar 8,51% untuk Tahun 2020. Reaksi bermunculan terutama dari pelaku industri.Â
Wakil Ketua Kadin Bidang Ketenagakerjaan, Anton Supit menyampaikan kekhawatirannya atas kenaikan UMP yang dirasa cukup memberatkan, apalagi bila dihitung dalam 5 tahun terakhir ini, dari 2016 ke Tahun 2020, kenaikan UMP rata-rata telah mencapai lebih dari 40%.Â
Anggawira, anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia menilai walaupun besaran kenaikan UMP 2020 dirasa cukup wajar, juga menyuarakan kekhawatirannya kenaikan UMP kali ini cukup memberatkan pelaku usaha di tengah kelesuan ekonomi domestik.Â
Walaupun kenaikan UMP Tahun 2020 sebesar 8,51% yang dirasakan cukup memberatkan bagi pengusaha, bagi buruh, melalui serikat serikat pekerjanya: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal; Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat; menyatakan ketidakpuasan dan menolak kenaikan 8.51% tersebut.
Tentu bagi pelaku usaha menginginkan UMP serendah-rendahnya untuk menekan biaya operasional, namun bagi pekerja mengharapkan UMP setinggi-tingginya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.Â
Menanggapi keinginan pelaku usaha dan pekerja ini, sebenarnya pemerintah telah mengatur mekanisme penentuan Upan Minimum berdasarkan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KLH) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi serta tingkat inflasi nasional. Dan walaupun demikian, tetap saja setiap tahun masalah kenaikan UMP menjadi polemik antara pelaku usaha dengan pekerja.
Jadi seberapa pantas sih sebenarnya kenaikan UMP yang tepat bagi pelaku usaha dan pekerja?
Kita tidak bisa menilai segala sesuatu dari satu sudut pandang tertentu saja tanpa memperhatikan sudut pandang lain. Demikian juga UMP tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang mikro (pelaku usaha dan pekerja), melainkan juga sudut pandang secara makro.
Kenaikan upah yang tinggi, yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja serta efisiensi biaya-biaya lain hanya akan menjadi bencana bukan hanya bagi pelaku bisnis dan negara, namun juga bagi pekerja itu sendiri.
Belum lama ini kita membaca berita mengenai bagaimana kecewanya Presiden Jokowi menanggapi 33 perusahaan yang meninggalkan China tidak ada 1 pun yang memilih Indonesia sebagai tujuan relokasi bisnisnya. Dan mayoritas diantaranya, yakni 23 perusahaan memilih Vietnam sebagai negara tujuan relokasi bisnisnya.Â
Masyarakat memang tidak mengalami kerugian secara langsung, toh dari dulu 33 perusahaan tersebut juga tidak ada di Indonesia, namun kita kehilangan peluang memperoleh tambahan pemasukan pajak bagi negara yang bisa digunakan pembangunan, kita kehilangan peluang untuk memperoleh tambahan kesempatan kerja.Â
Padahal dengan semakin rendahnya tingkat pengangguran, maka tingkat kemiskinan juga rendah, dan imbasnya adalah ekonomi yang berputar lebih baik serta meningkatnya kualitas hidup kita semua.
Apa sih yang membuat ke-33 perusahaan tersebut tidak ada satupun yang memilih Indonesia sebagai tujuan relokasi bisnisnya? Mengapa Vietnam yang dipilih?
Ternyata upah pekerja suatu negara bukan satu-satunya faktor. Selain upah, ada faktor kemudahan pengurusan perizinan, insentif pajak bagi pelaku usaha, produktivitas kerja, serta biaya-biaya operasional lainnya.
Dari segi upah, Indonesia memiliki tingkat upah yang lebih tinggi dari Vietnam. Berdasarkan data yang saya dapat dari CNBC Indonesia, tingkat upah pekerja Indonesia setahun adalah US$ 5,421. Sementara Vietnam US$ 3,673.Â
Dari segi jam kerja, pekerja Indonesia bekerja selama 40 jam selama seminggu. Sementara di Vietnam, jam bekerja lamanya 48 jam selama seminggu.
Lalu dari segi biaya logistik. Dari Indeks Perfoma Logistik (Logistic Performance Index), peringkat Indonesia = 46, jauh dibawah Vietnam = 39 (ini menerangkan bahwa langkah2 yang dilakukan pemerintah saat ini untuk menggenjot infrastruktur guna menekan biaya logistik sudah tepat).
Dari ke-3 acuan saja, kita sudah jelas kalah dari Vietnam. Dan memang tingkat upah bukan satu-satunya faktor penentu, namun komponen upah pekerja di Indonesia memberikan dampak terhadap bisnis sebesar 47%, sementara di Vietnam hanya sebesar 30%.Â
Yang juga disorot, ternyata tingginya upah pekerja di Indonesia tidak memberikan jaminan bahwa buruh di Indonesia memiliki kualitas yang lebih baik daripada di Vietnam.
Sementara dari segi kuantitas saja sudah terlihat bahwa walaupun kita memiliki upah yang lebih tinggi, namun jam bekerja kita lebih sedikit dari pekerja di Vietnam. Dan ini sedikit banyak mempengaruhi produktivitas kerja.
Kembali ke masalah UMP yang selalu menjadi polemik setiap tahun, baik pelaku usaha maupun pekerja harus mau sama-sama membicarakannya dengan kepala dingin.
Upah yang ditekan terlalu rendah, membuat pekerja tidak dapat bekerja dengan tenang dan nyaman, imbasnya adalah produktivitas kerja rendah. Upah yang dinaikkan terlalu tinggi, memberatkan keuangan perusahaan, akhirnya perusahaan hengkang atau tutup, ujung-ujungnya pekerja juga yang mengalami kerugian karena kehilangan pekerjaan.
Apakah juga UMP yang tinggi pasti merupakan jaminan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik?
Pada Tahun 2013, UMP DKI Jakarta mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 43,87% (Inflasi nasional Tahun 2012 = 4,30% dan Tahun 2013 = 8,38%).Â
Akibat dari kebijakan tersebut, di Bulan Maret 2013 Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan informasi bahwa kenaikan UMP DKI yang sangat tinggi menyebabkan 90 perusahaan di Jabodetabek memutuskan untuk merelokasi pabriknya ke Provinsi Jawa Tengah.Â
Langkah relokasi ini diambil karena perusahaan tidak sanggup membayar upah buruh DKI Jakarta yang mencapai Rp 2.200.000 dari sebelumnya Rp 1.529.150 di Tahun 2012. Jawa Tengah menjadi tujuan relokasi karena UMP nya hanya Rp 1,2jutaan.
Di bulan yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta saat itu, Saman Simanjorang menerangkan bahwa perusahaan-perusahaan garmen dan tekstil di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta sudah mulai melakukan rasionalisasi dengan melakukan pengurangan karyawan secara bertahap.Â
Menurut Sarman, sampai Bulan Maret 2013, jumlah pekerja yang tidak lagi diperpanjang kontraknya telah mencapai angka 3.447 orang dan terus akan bertambah jumlahnya setiap bulan.
Sarman juga menambahkan bahwa hingga Bulan Maret 2013, atau baru 3 bulan berjalannya UMP baru DKI Jakarta Tahun 2013, sudah ada 41 perusahaan di KBN yang berencana merelokasikan pabriknya ke Jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur hingga Vietnam.
Dampak dari hengkangnya ke-41 perusahaan tersebut adalah 42.015 orang terancam kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.
Ini yang terjadi di domestik DKI Jakarta akibat peningkatan upah yang tinggi dibandingkan dengan provinsi lain. Hal yang sama berlaku saat kita membandingkan upah antar negara.
Kalau gitu, bukankah seharusnya upah pekerja dibuat rendah saja agar semakin banyak perusahaan dari luar negeri melakukan relokasi bisnis nya ke Indonesia?
Tidak begitu juga. Upah yang terlalu rendah akan menjebak anak-anak pekerja, generasi selanjutnya utk terperangkap dalam kemiskinan. Karena upah terlalu murah, pendidikan anak-anaknya terhambat. Akibat pendidikan anak-anaknya rendah, akhirnya anak-anaknya kembali hanya bisa bekerja sebagai buruh. Begitu seterusnya.Â
Akibatnya negara juga mengalami stagnasi dalam kemajuan dan kesejahteraan. Rantai ini yang harus diputus, agar anak-anak pekerja, generasi berikutnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi sehingga tingkat kesejahteraannya juga lebih baik juga.Â
Tapi tentu saja kita tidak bisa membebankan tanggung jawab merubah nasib generasi penerus di tangan pelaku usaha melalui pemberian upah setinggi-tingginya. Kemampuan keuangan perusahaan harus diperhatikan juga agar perusahaan dapat terus berlangsung hidup agar orang-orang tetap mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.Â
Disinilah sebenarnya dibutuhkan peranan pemerintah dalam menjembatani masalah pengupahan antara pelaku usaha dengan pekerja. Peranan pemerintah bukan hanya sebagai penentu kebijakan besaran kenaikan tingkat upah setiap tahun, melainkan melakukan subsidi silang antara pendapatan pajak yang diperoleh dari pelaku usaha untuk mendukung masyarakatnya mendapatkan kehidupan yang lebih layak melalui :
1. Subsidi dana kebutuhan pendidikan tidak hanya hingga SMA melainkan juga universitas.
2. Subsidi penyediaan tempat tinggal melalui penyediaan Rumah atau Rusun yang murah baik sewa maupun milik.
3. Subsidi biaya transportasi bagi masyarakat yang pergi menuju tempat bekerja atau sekolah melalui penyediaan sarana transportasi murah.
4. Subsidi biaya kesehatan mengingat tingginya biaya rumah sakit dan obat-obatan di Indonesia
5. Menjaga kestabilan harga-harga kebutuhan bahan pokok melalui tingkat inflasi yang terjaga / rendah
Kalau kita perhatian dalam 5 tahun terakhir ini, sebenarnya kelima kondisi di atas sudah mulai dilakukan pemerintah. Ada Kartu Indonesia Pintar untuk dukungan pendidikan di samping pembebasan uang sekolah bulanan di sekolah negeri. Ada BPJS Kesehatan untuk subsidi biaya kesehatan. Ada moda-moda tranportasi umum (lama dan baru) yang terjangkau untuk subsidi biaya transportasi.Â
Tingkat inflasi beberapa tahun terakhir ini juga terjaga baik di level 3%an setiap tahun, sehingga harga-harga kebutuhan makan pokok juga relatif terjaga. Kemudian pemerintah mulai banyak membangun hunian tempat tinggal (rumah/ rusun) tidak hanya di DKI Jakarta, melainkan juga di provinsi lain.Â
Jadi sebenarnya pemerintah sudah mulai banyak membantu pekerja dalam meningkatkan taraf kehidupannya, diluar ketetapan UMP yang pasti naik setiap tahun. Dalam hal ini, pekerja melalui serikat buruh juga diharapkan mampu menjaga kondisi bisnis dan investasi agar Indonesia semakin diminati perusahaan-perusahaan dari luar negeri menjadi tujuan relokasi bisnis atau dalam rangka pengembangan bisnisnya.Â
Karena dengan semakin besarnya investasi yang masuk, semakin banyaknya perusahaan asing yang mendirikan pabrik di Indonesia, maka semakin besar peluang rakyat Indonesia memperoleh pekerjaan sehingga tingkat pengangguran rendah dan kesejahteraan meningkat.Â
Dan yang paling utama bagi kita semua adalah, memastikan penerimaan negara yang diperoleh dari pendapatan pajak usaha, korporasi, Sumber Daya Alam, digunakan secara tepat oleh pemerintah untuk mendukung rakyat mendapat kehidupan yang lebih baik melalui pemenuhan pangan, sandang, serta yang terutama adalah pendidikan dan kesehatan.
Selama pemerintah melakukan hal ini untuk rakyatnya, kita percayakan penetapan besarnya kenaikan UMP ke tangan pemerintah sesuai KLH dan indikasi ekonominya.Â
Saya tidak meminta buruh harus menerima nasib dibayar murah. Saya juga menginginkan kalau bekerja dibayar setinggi-tingginya sesuai keahlian dan ketrampilan yang saya miliki.Â
Yang saya minta adalah, mari kita semua melihat segala hal dari semua sudut pandang. Tidak hanya dari sudut pandang pribadi kita, melainkan juga dari sudut pandang orang lain dlm perspektif mikro maupun dari sudut pandang perspektif makro yang lebih besar.
Dan yang terakhir, mari kita jadikan moment kenaikan UMP untuk memacu diri kita dalam meningkatkan produktivitas kerja. Upah bukanlah hadiah yang turun dari langit begitu saja, melainkan semakin besar upah yang kita terima ada tanggung jawab besar yang harus kita emban.Â
Upah yang lebih tinggi / baik harus menjadi pemacu semangat untuk bekerja lebih baik dan produktivitas kerja yang lebih tinggi.
Salam
Freddy Kwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H