Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menilik Kebijakan Pajak Indonesia, Sudah Adil atau Memberatkan Rakyat?

18 Desember 2024   08:20 Diperbarui: 18 Desember 2024   13:30 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati  (KOMPAS.com/ISNA RIFKA SRI RAHAYU)

Pajak adalah pilar utama bagi keberlangsungan sebuah negara. Di Indonesia, pajak berperan besar dalam menyediakan anggaran untuk pembangunan, mulai dari infrastruktur hingga layanan publik. 

Namun, bagi sebagian masyarakat, kebijakan pajak kerap menjadi isu sensitif. Pertanyaan seperti, "Apakah kebijakan pajak ini adil?" atau "Bukankah pajak justru membebani rakyat kecil?" sering kali muncul dalam diskusi publik.

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ditelusuri lebih jauh bagaimana sistem perpajakan di Indonesia bekerja, tantangan yang dihadapi pemerintah, serta bagaimana kebijakan pajak berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.

Peran Vital Pajak dalam Kehidupan Bernegara

Seperti napas bagi tubuh manusia, pajak adalah "darah" yang menghidupkan roda pemerintahan. Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), lebih dari 70% pendapatan negara berasal dari pajak. 

Uang ini digunakan untuk berbagai kebutuhan, seperti membangun rumah sakit, jalan tol, sekolah, hingga memberikan subsidi bagi masyarakat kurang mampu.

Namun, meski pajak memiliki tujuan yang mulia, penerapannya di Indonesia sering kali menemui berbagai kendala. Salah satunya adalah kesadaran pajak yang rendah. 

Data dari Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak masih di bawah ekspektasi. Dari sekitar 45 juta wajib pajak yang terdaftar pada 2022, hanya sekitar 18 juta yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

Masalah ini memunculkan paradoks besar: di satu sisi, negara membutuhkan kontribusi dari masyarakat untuk menjalankan fungsinya, tetapi di sisi lain, rakyat sering merasa tidak melihat manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan.

Mengapa Rakyat Merasa Terbebani oleh Pajak?

Rasa keberatan masyarakat terhadap pajak bisa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketimpangan ekonomi. 

Meski sistem pajak Indonesia disebut progresif di mana pajak lebih tinggi dikenakan pada mereka yang berpenghasilan besar kenyataannya, masyarakat berpenghasilan rendah justru sering kali terkena dampak lebih besar dari kebijakan pajak tertentu.

Salah satu contohnya adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan akan naik juga di Januari 2025 mendatang sebesar 12%. 

Kenaikan ini dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19 silam. PPN, sebagai pajak konsumsi, dikenakan pada hampir semua barang dan jasa. 

Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pendapatannya habis untuk konsumsi kebutuhan pokok, merasakan beban yang lebih berat.

Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, kenaikan PPN ini memengaruhi daya beli masyarakat secara signifikan, terutama di sektor makanan dan kebutuhan rumah tangga. 

Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dirancang untuk menambah pendapatan negara sering kali tidak mempertimbangkan dampak sosialnya secara menyeluruh.

Tantangan Lain dalam Kebijakan Pajak

Selain ketimpangan beban pajak, masalah lain yang sering muncul adalah minimnya transparansi dalam penggunaan pajak. Banyak masyarakat merasa skeptis terhadap pemerintah karena sering mendengar kasus korupsi atau pemborosan anggaran.

Misalnya, dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, ditemukan indikasi penyimpangan pengelolaan keuangan di beberapa daerah. 

Hal ini memperparah persepsi bahwa uang pajak yang dibayarkan rakyat tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan publik. 

Ketika rakyat mendengar berita tentang proyek infrastruktur yang mangkrak atau dana bansos yang diselewengkan, rasa kepercayaan terhadap pemerintah pun menurun.

Selain itu, kebijakan pajak di Indonesia juga sering dianggap tidak ramah bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Meski pemerintah telah memberikan insentif berupa tarif pajak final sebesar 0,5% untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar, banyak pelaku usaha kecil yang mengeluhkan prosedur administrasi pajak yang rumit. Proses pengisian laporan pajak, misalnya, sering kali membingungkan dan memakan waktu.

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Meningkatkan Kepercayaan Rakyat?

Untuk memperbaiki hubungan antara rakyat dan kebijakan pajak, pemerintah perlu bekerja keras dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. 

Masyarakat ingin melihat bahwa uang pajak yang mereka bayarkan benar-benar digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk keuntungan segelintir elite.

Beberapa langkah penting yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem pelaporan penggunaan pajak agar lebih mudah diakses oleh masyarakat. Misalnya, melalui platform digital yang transparan, rakyat bisa mengetahui alokasi dana pajak secara rinci, mulai dari proyek infrastruktur hingga program bantuan sosial.

Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan pajak tidak memberatkan rakyat kecil. Kenaikan tarif pajak, seperti PPN, sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat secara menyeluruh. 

Pemerintah harus peka terhadap situasi ekonomi global, seperti inflasi dan fluktuasi harga komoditas, yang dapat memengaruhi daya beli rakyat.

Pajak dalam Perspektif Sejarah dan Budaya

Untuk memahami mengapa kebijakan pajak sering kali menjadi isu sensitif, kamu juga perlu melihatnya dari perspektif sejarah dan budaya.

Pada masa kolonial Belanda, pajak sering kali digunakan sebagai alat penindasan. Sistem tanam paksa, yang mewajibkan petani untuk menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemerintah kolonial, meninggalkan luka mendalam dalam ingatan kolektif bangsa.

Meski konteksnya berbeda, bayangan masa lalu ini masih memengaruhi cara masyarakat memandang pajak. Bagi sebagian orang, pajak sering kali dianggap sebagai kewajiban yang dipaksakan, bukan sebagai bentuk kontribusi sukarela untuk pembangunan.

Membangun Kesadaran Pajak yang Lebih Baik

Meski banyak tantangan, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa pajak adalah bagian dari gotong-royong dalam membangun bangsa. 

Sedangkan di negara-negara maju, seperti Swedia dan Norwegia, kesadaran pajak masyarakat sangat tinggi karena mereka merasakan manfaat langsung dari layanan publik yang berkualitas.

Di Indonesia, membangun kesadaran seperti ini tentu membutuhkan waktu dan usaha. Pemerintah harus menunjukkan bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga hak masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan. Misalnya, pemerintah bisa mengedukasi masyarakat melalui kampanye yang menekankan manfaat pajak dalam kehidupan sehari-hari, seperti subsidi pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, peran media juga sangat penting dalam membangun narasi positif tentang pajak. Daripada hanya menyoroti kasus korupsi atau kebocoran anggaran, media juga harus memberikan ruang untuk berita-berita positif tentang bagaimana pajak digunakan untuk memajukan daerah-daerah terpencil atau membantu masyarakat yang kurang mampu.

Kesimpulan

Kebijakan pajak di Indonesia adalah refleksi dari tantangan besar yang dihadapi negara ini dalam menciptakan keadilan sosial dan ekonomi. Meski memiliki banyak kekurangan, sistem perpajakan kita tetap memiliki potensi besar untuk menjadi alat transformasi sosial yang efektif.

Namun, untuk mencapai itu, pemerintah harus lebih serius dalam menangani masalah ketimpangan, transparansi, dan administrasi pajak. Di sisi lain, masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pajak sebagai bagian dari tanggung jawab bersama.

Hanya dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat, kita bisa menciptakan kebijakan pajak yang tidak hanya sesuai, tetapi juga membawa manfaat nyata bagi semua. Pajak bukanlah beban, melainkan investasi kita untuk masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun