Pajak adalah pilar utama bagi keberlangsungan sebuah negara. Di Indonesia, pajak berperan besar dalam menyediakan anggaran untuk pembangunan, mulai dari infrastruktur hingga layanan publik. Namun, bagi sebagian masyarakat, kebijakan pajak kerap menjadi isu sensitif. Pertanyaan seperti, "Apakah kebijakan pajak ini adil?" atau "Bukankah pajak justru membebani rakyat kecil?" sering kali muncul dalam diskusi publik.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ditelusuri lebih jauh bagaimana sistem perpajakan di Indonesia bekerja, tantangan yang dihadapi pemerintah, serta bagaimana kebijakan pajak berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Peran Vital Pajak dalam Kehidupan Bernegara
Seperti napas bagi tubuh manusia, pajak adalah "darah" yang menghidupkan roda pemerintahan. Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), lebih dari 70% pendapatan negara berasal dari pajak. Uang ini digunakan untuk berbagai kebutuhan, seperti membangun rumah sakit, jalan tol, sekolah, hingga memberikan subsidi bagi masyarakat kurang mampu.
Namun, meski pajak memiliki tujuan yang mulia, penerapannya di Indonesia sering kali menemui berbagai kendala. Salah satunya adalah kesadaran pajak yang rendah. Data dari Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak masih di bawah ekspektasi. Dari sekitar 45 juta wajib pajak yang terdaftar pada 2022, hanya sekitar 18 juta yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Masalah ini memunculkan paradoks besar: di satu sisi, negara membutuhkan kontribusi dari masyarakat untuk menjalankan fungsinya, tetapi di sisi lain, rakyat sering merasa tidak melihat manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan.
Mengapa Rakyat Merasa Terbebani oleh Pajak?
Rasa keberatan masyarakat terhadap pajak bisa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketimpangan ekonomi. Meski sistem pajak Indonesia disebut progresif di mana pajak lebih tinggi dikenakan pada mereka yang berpenghasilan besar kenyataannya, masyarakat berpenghasilan rendah justru sering kali terkena dampak lebih besar dari kebijakan pajak tertentu.
Salah satu contohnya adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan akan naik juga di Januari 2025 mendatang sebesar 12%. Kenaikan ini dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19 silam. PPN, sebagai pajak konsumsi, dikenakan pada hampir semua barang dan jasa. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pendapatannya habis untuk konsumsi kebutuhan pokok, merasakan beban yang lebih berat.
Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, kenaikan PPN ini memengaruhi daya beli masyarakat secara signifikan, terutama di sektor makanan dan kebutuhan rumah tangga. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dirancang untuk menambah pendapatan negara sering kali tidak mempertimbangkan dampak sosialnya secara menyeluruh.