Rasa keberatan masyarakat terhadap pajak bisa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketimpangan ekonomi.Â
Meski sistem pajak Indonesia disebut progresif di mana pajak lebih tinggi dikenakan pada mereka yang berpenghasilan besar kenyataannya, masyarakat berpenghasilan rendah justru sering kali terkena dampak lebih besar dari kebijakan pajak tertentu.
Salah satu contohnya adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan akan naik juga di Januari 2025 mendatang sebesar 12%.Â
Kenaikan ini dilakukan di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi COVID-19 silam. PPN, sebagai pajak konsumsi, dikenakan pada hampir semua barang dan jasa.Â
Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pendapatannya habis untuk konsumsi kebutuhan pokok, merasakan beban yang lebih berat.
Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, kenaikan PPN ini memengaruhi daya beli masyarakat secara signifikan, terutama di sektor makanan dan kebutuhan rumah tangga.Â
Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dirancang untuk menambah pendapatan negara sering kali tidak mempertimbangkan dampak sosialnya secara menyeluruh.
Tantangan Lain dalam Kebijakan Pajak
Selain ketimpangan beban pajak, masalah lain yang sering muncul adalah minimnya transparansi dalam penggunaan pajak. Banyak masyarakat merasa skeptis terhadap pemerintah karena sering mendengar kasus korupsi atau pemborosan anggaran.
Misalnya, dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021, ditemukan indikasi penyimpangan pengelolaan keuangan di beberapa daerah.Â
Hal ini memperparah persepsi bahwa uang pajak yang dibayarkan rakyat tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan publik.Â