Mohon tunggu...
Franea
Franea Mohon Tunggu... Penerjemah - freelance

I was born to spread love

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nyanyian Terakhir Sang Gembala

31 Oktober 2024   22:57 Diperbarui: 31 Oktober 2024   22:57 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"'Pergilah ke gunung Ida,' Daphnis berkata dengan suara lemah namun tajam. 'Temui Anchises di antara pohon ek dan semak-semak. Atau pergilah ke Libanon, di mana Adonis menggembalakan ternaknya sebelum kematiannya yang tragis."

Air mata mulai menggenang di mata si pengembala kambing, terhanyut oleh kesedihan dalam suara Thyrsis. Bahkan langit seolah ikut berduka, awan-awan kelabu mulai berarak menutupi sinar matahari.

"Sebelum ajal menjemput," Thyrsis melanjutkan, suaranya kini lembut dan sendu, "Daphnis memanggil Pan, dewa hutan dan pelindung para gembala. Wahai Pan," bisiknya, Datanglah ke Sisilia yang indah. Ambillah seruling ini, alat musik yang telah kutiupkan melodi-melodi merdu. Biarkan ia menjadi milikmu selamanya."

Thyrsis mengambil jeda, matanya menerawang jauh. Dan kemudian, dengan suara yang nyaris tak terdengar, Daphnis mengucapkan kata-kata terakhirnya. Selamat tinggal, wahai serigala dan beruang di hutan. Selamat tinggal, singa-singa yang bersembunyi di balik semak. Aku, Daphnis sang gembala, tak akan lagi berjalan di hutan dan lembah ini."

"Selamat tinggal, wahai hutan dan sungai Syracuse," bisiknya lirih. Selamat tinggal, padang rumput yang telah menjadi saksi kebahagiaan dan kepedihanku. Selamat tinggal, Arethusa dan sungai-sungai yang mengalirkan air jernih ke laut biru."

Suara Thyrsis perlahan memudar, seperti bisikan angin di antara dedaunan. "Dan demikianlah," ia mengakhiri nyanyiannya, "Daphnis menghembuskan napas terakhirnya, tenggelam dalam sungai Kematian. Para Muse meratap, para peri menangis, dan seluruh alam berduka atas kepergiannya."

Ketika Thyrsis mengakhiri nyanyiannya, keheningan yang dalam menyelimuti padang rumput. Si pengembala kambing terdiam, air mata mengalir di pipinya yang kasar. Ia menyeka matanya dengan punggung tangan, sebelum menyerahkan cangkir yang dijanjikan kepada Thyrsis dengan tangan bergetar.

"Tak ada yang bisa menyanyikan kisah Daphnis seindah dirimu, Thyrsis," ucapnya dengan suara parau. "Kau telah membuat kisah ini hidup kembali, membuatku merasakan kepedihan dan keindahannya seolah aku sendiri yang mengalaminya."

Thyrsis menerima cangkir itu dengan hormat. "Kisah Daphnis," ujarnya lembut, "Adalah pengingat abadi bahwa cinta bisa menjadi berkat sekaligus kutukan. Ia mengajarkan bahwa kesetiaan, meski mulia, terkadang harus dibayar dengan harga yang mahal."

Si pengembala kambing mengangguk penuh pemahaman. "Dan juga mengingatkan kita akan kerapuhan hidup, betapa berharganya setiap momen yang kita miliki."

"Benar sekali, kawan," Thyrsis menyetujui. "Hingga kini, di bawah langit Yunani yang biru, balada tentang Daphnis terus dinyanyikan. Sebuah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan harga dari sebuah sumpah yang tak tergoyahkan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun