Mohon tunggu...
Franea
Franea Mohon Tunggu... Penerjemah - freelance

I was born to spread love

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nyanyian Terakhir Sang Gembala

31 Oktober 2024   22:57 Diperbarui: 31 Oktober 2024   22:57 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini diambil dari karya Idyll I oleh Theocritus

Siapa itu Theocritus ?

Pada abad ke-3 SM, hiduplah seorang penyair muda bernama Theocritus di pulau Kos yang indah. Ia memulai genre baru dalam puisi Yunani dengan karya Idyll I, yang terinspirasi oleh padang rumput hijau, pegunungan, dan laut Aegea yang memukau. Theocritus sering mengamati kehidupan sederhana para gembala di lereng bukit dan memahami bahwa di balik rutinitas mereka yang tenang tersembunyi emosi yang mendalam. Suatu hari, di bawah pohon zaitun tua, ia memutuskan untuk menulis tentang pertemuan dua gembala yang menyanyikan kisah Daphnis, sosok mitologi yang menggambarkan cinta, kehilangan, dan hubungan manusia dengan alam.

Dengan memasukkan elemen mitologi serta menggambarkan Sisilia, tanah kelahirannya, Theocritus menciptakan karya yang menggabungkan emosi mendalam dan realisme kehidupan pedesaan. Idyll I bukan hanya sekadar puisi yang indah tetapi karya ini juga menjadi dasar genre baru dalam puisi Yunani yaitu puisi tentang kehidupan desa dan keindahan alamnya (karya pastoral). Karya Theocritus ini kelak menginspirasi banyak penyair selama berabad-abad dan menjadikannya salah satu tokoh berpengaruh dalam sejarah sastra Barat.

Afflictio Daphnidis (Penderitaan Daphnis)

'Selamat tinggal, wahai serigala dan beruang di hutan. Selamat tinggal, singa-singa yang bersembunyi di balik semak. Aku, Daphnis sang gembala, tak akan lagi berjalan di hutan dan lembah ini.'

(kutipan perpisahan Daphnis)

Di bawah teriknya matahari di masa Yunani kuno, angin lembut membelai rerumputan hijau yang membentang sejauh mata memandang. Aroma manis bunga liar dan dedaunan segar mengisi udara, sementara suara gemerincing lonceng domba terdengar samar-samar dari kejauhan. Di tengah kesunyian padang rumput itu, dua sosok pengembala bertemu, yaitu Thyrsis dari Sisilia dengan suaranya yang merdu, dan seorang pengembala kambing yang ramah namun tidak disebutkan namanya.

Thyrsis, dengan jubah wol sederhana dan tongkat kayu di tangannya, berhenti sejenak untuk menyeka keringat dari dahinya. Matanya yang tajam memandang si pengembala kambing dengan penuh keingintahuan. Pria itu tampak berbeda dari kebanyakan gembala yang pernah ditemuinya. Ada aura kebijaksanaan dan misteri yang terpancar dari sosoknya.

"Ah, Thyrsis!" sapa si pengembala kambing dengan mata berbinar. Suaranya terdengar bersahabat namun juga mengandung nada penghormatan yang dalam. "Suaramu selalu mengingatkanku pada gemericik air pegunungan yang jernih. Bahkan Pan sendiri, konon, iri dengan kemerduan nyanyianmu."

Thyrsis tersenyum tipis, tersipu namun juga bangga akan pujian itu. "Kau terlalu memuji, kawan. Tapi kuakui, aku memang telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mengasah suaraku di lembah-lembah Sisilia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun