Mohon tunggu...
Francisca Romana Dian Purwati
Francisca Romana Dian Purwati Mohon Tunggu... -

Ketika isi otak tertuang. - Jurnalisme FISIPUAJY2014

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perbaikan Strategi Komunikasi: Penyelamat Kawasan Konservasi

20 April 2016   10:16 Diperbarui: 8 Mei 2016   23:42 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kawasan Konservasi (tapi) Terbengkalai

            Betapapun baiknya suatu perencanaan dan usaha, segala sesuatu tetap akan mengalami permasalahan pada masanya. Begitu juga dengan pengadaan kawasan konservasi yang nampaknya telah sempurna ini. Seberapapun baiknya perencanaan dan penentuan karakteristik kawasan konservasi, namun pada perkembangannya ada juga yang mengalami permasalahan, bahkan terbengkalai.

Dilihat dari tujuan penentuan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, pemerintah tentu ingin mewujudkan perlindungan dan kelestarian alam. Namun begitu, pelaksanaan kawasan konservasi tidak semua berjalan mulus. Ada saja kawasan yang mengalami permasalahan, terutama jika letak geografisnya termasuk jauh dari jangkauan masyarakat. Hal terburuk yang terjadi adalah adanya kawasan konservasi yang terbengkalai. Keadaan terbengkalainya suatu kawasan konservasi tentu berbanding terbalik dengan serangkaian tujuan kawasan konservasi. Jika sampai hal seperti itu terjadi, maka pengelolaan kawasan wisata perlu ditinjau ulang.

Tak perlu melihat terlalu jauh untuk membuktikan adanya kasus kawasan konservasi yang terbengkalai. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah sebenarnya tak lepas dari permasalahan lingkungan terkait hal ini. Sebagai contoh, pada tahun 2014 lalu, kawasan wisata Deles Indah, di kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten yang terbengkalai selama lebih kurang 5 tahun terakhir. Kawasan indah di lereng Gunung Merapi itu telah banyak ditumbuhi rumput yang tinggi, banyaknya coretan tangan, dan sampah menumpuk. Bahkan pesanggrahan milik Keraton Kesunanan Surakarta tampak begitu tidak terawat. Salah satu tokoh masyarakatnya mengonfirmasi adanya kesalahan pengelolaan hingga kawasan tersebut menjadi sepi pengunjung. Sebelumnya, pengelolaan kawasan tersebut dilimpahkan kepada pihak swasta oleh Pemerintah Kabupaten Klaten. Sementara warga sekitar tidak dilibatkan.  Setelah dinilai kurang menguntungkan, pengelola kawasan tersebut meninggalkan obyek wisata begitu saja, hingga akhirnya menjadi sepi terbengkalai (Setiadi, 2014).

Faktor lain yang menambah terbengkalainya kawasan wisata Deles yaitu sulitnya akses transportasi ke daerah tersebut. Kawasan wisata, terlebih lagi yang memiliki sisi historis begitu rasanya amat disayangkan jika luput dari perhatian pemerintah dan pada akhirnya hanya dibiarkan terbengkalai.  Baik segi ekonomis maupun ekologis justru tidak terpenuhi.

Dunia menganut dua orientasi dalam pengelolaan taman nasional. Pertama, dengan orientasi preservasi yang bersumber dari romantisme (pengawetan, keinginan menikmati keindahan alam) yang berkembang di negara industri maju seperti Inggris, Amerika, dan Kanada. Sementara yang kedua adalah orientasi konservasi yang bersumber dari inspirasi pemanfaatan. Indonesia menganut orientasi ini bersama dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, Kenya, Kongo, Brazil, dan Venezuela (Wiratno, dkk., 2001).

Pada tahun 2009 lalu, WALHI bahkan mencatat adanya 94 kasus yang  lingkungan hidup di DIY yang terbengkalai. Fenomena kerusakan lingkungan terjadi sekitar Merapi, Menoreh, perkotaan, dan pesisir selatan. Pengubahan status fungsi hutan Merapi menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) menuai polemik dalam masyarakat. Kawasan seluas 6410 ha ini dinilai WALHI membatasi ruang dan akses masyarakat baik ekonomi, kultural, maupun sosial (Rurit, 2009). Terutama bagi masyarakat pedesaan yang kesehariannya berinteraksi dengan alam, penetapan suatu kawasan menjadi taman nasional terasa mengekang. Terasa sumber penghidupan masyarakat menjadi dibatasi oleh sekat status taman nasional tersebut.

Lebih miris lagi ketika melihat kondisi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) Tritis yang beralamat di Tritis, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Kawasan yang masuk area taman nasional Gunung Merapi (TNGM) tersebut tak ada yang mengurus. Bahkan mendengar namanya saja, masyarakat merasa asing dan tak tahu akan keberadaannya. Padahal, kawasan tersebut memiliki keberagaman pepohonan yang tumbuh alami, misalnya bambu Drinjing, pohon Rasamala, dan pohon pinus.

ODTWA Tritis lebih dikenal masyarakat sebagai hutan Kumpulrejo sebelum diambil alih oleh Badan Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM) pada sekitaran tahun 2005 lalu. Dengan penetapan status sebagai bagian dari TNGM, masyarakat merasa dibatasi segala aktivitasnya terhadap kawasan tersebut. Masyarakat yang sebelumnya mencari rumput dan kayu sambil sesekali membawa pupuk ke daerah tersebut secara tidak langsung undur diri dari pengelolaan. Sayangnya, pengalihan tanggung jawab kepemilikan ini tidak disertai pengelolaan yang berkelanjutan. Masyarakat pun tidak dilibatkan dalam pengelolaan maupun pemanfaatan. Memang, masyarakat masih boleh mencari rumput atau kayu di sekitaran kawasan. Namun, dengan demikian kawasan ODTWA seolah jalur yang dihindari masyarakat dan bersekat dengan aktivitas mereka.

Gerbang masuk dan loket yang tak berpengurus dibiarkan kotor tanpa sempat menjalankan fungsinya sampai sekarang. Sementara jalan yang sengaja dibangun sebagai jalur wisatawan untuk mengelilingi kawasan tersebut lama-kelamaan mulai tertutup tanaman. Begitu juga fasilitas yang ada di dalamnya, baik ayunan maupun pos istirahat tak lagi terawat. Setidaknya itulah gambaran kondisi ODTWA Tritis tahun 2015 lalu. Beruntung, tahun ini perbaikan sedikit demi sedikit dilakukan mulai dari pengecatan ulang ayunan sampai perbaikan jalur yang hampir hilang tersebut. Namun begitu, jika pengelolaan tetap tidak diperhatikan dengan serius, maka keadaannya yang terbengkalai selama hampir belasan tahun ini hanya akan terulang kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun