Mohon tunggu...
Francisca Romana Dian Purwati
Francisca Romana Dian Purwati Mohon Tunggu... -

Ketika isi otak tertuang. - Jurnalisme FISIPUAJY2014

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perbaikan Strategi Komunikasi: Penyelamat Kawasan Konservasi

20 April 2016   10:16 Diperbarui: 8 Mei 2016   23:42 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        

ODTWA Tritis terbengkalai tanpa pengurus. (Doc. Pribadi)

             Indonesia patut bersyukur. Letak geografis dan bentuk negara kepulauan nyatanya memberi keberuntungan tersendiri bagi bangsa ini. Keanekaragaman hayati dan keutuhan habitat alami merupakan salah satu kekayaan Indonesia. Kawasan hutan beserta ekosistem di dalamnya menjadi aset publik yang tak terbeli. Tanaman, tanah, sampai hewan-hewan yang beragam tentu menarik perhatian berbagai pihak untuk memiliki kawasan tersebut demi kepentingan pribadinya. Penduduk sekitar yang telah hidup bersama alam bertahun-tahun mungkin merawatnya dengan sungguh, namun tak bisa dipungkiri bahwa ada pihak yang sekadar mengincar potensi ekonominya saja.

Dalam era serba modern ini, aspek ekonomi seolah mendapat ruang khusus yang porsinya cukup besar dalam kehidupan masyarakat. Lebih-lebih ketika ekonomi dianggap sebagai daya gerak dalam proses pembangunan. Jika demikian, bukan tidak mungkin aksi perusakan, ekspoitasi, perburuan dan penebangan liar di kawasan hutan terjadi semata-mata didasari alasan ekonomi. Oleh karena itu, kawasan seperti ini perlu dilindungi.

Kondisi tersebut memunculkan kesadaran mengenai pengambilan sikap yang tepat terhadap lingkungan. Istilah konservasi muncul sebagai sikap untuk diterapkan terhadap lingkungan yang rentan kerusakan tersebut. Wiratno, Indriyo, Syarifudin, dan Kartikasari  (2001) mengungkapkan bahwa konservasi adalah perlindungan dengan nuansa yang lebih dinamis. Dijelaskan pula bahwa prinsip konservasi ini meliputi dua sisi. Pada satu sisi pemanfaatan sumber daya hayati untuk memenuhi kebutuhan hidup (prinsip ekonomis), dan di sisi lain, perlu adanya pemeliharaan sumber daya tersebut demi keberlanjutan hidup (prinsip ekologis) dan pemanfaatannya.

Sebelumnya, dunia telah terlebih dahulu menerapkan kebijakan preservasi. Preservasi sendiri berupa perlindungan yang cenderung mengarah pada pengawetan terhadap sisa-sisa hutan alam (Wiratno, dkk., 2001). Sayangnya, kebijakan ini seolah memberikan aksi perlindungan statis saja. Konservasi tidak sekadar memberikan perlindungan terhadap alam namun juga pemeliharaan dan pengelolaan  terhadapnya. Dengan begitu baik kebutuhan manusia maupun kelestarian alam tetap terjaga. Kebijakan ini menunjukkan perhatian pemerintah yang serius terhadap lingkungan, bukan sekadar berpusat pada kepentingan manusia saja.

Dalam upaya melakukan konservasi alam, munculnya taman nasional menjadi salah satu produk perlindungan lingkungan. Di Indonesia, ide mengenai perencanaan dan pengukuhan taman nasional baru dimulai pada tahun 1977 (Wiratno, dkk., 2001). Selama tahun-tahun berikutnya, Indonesia sibuk berkecimpung dalam menentukan kategori dan kategorisasi daerah-daerah konservasi yang akan diterapkan. Pengelompokan tersebut terus berkembang dipengaruhi beberapa pertemuan nasional dan internasional mengenai bidang konservasi.

Terbitnya UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem membagi kategori kawasan konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (KSA) meliputi cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM); kawasan pelestarian alam berupa taman nasional (TN), taman wisata alam (TWA), dan taman hutan raya (THR) (Wiratno, dkk., 2001). Daerah-daerah konservasi ini kemudian disebut sebagai kawasan konservasi. Kategorisasi ini berusaha mempermudah pemerintah dan masyarakat dalam menerapkan sikap dan pengelolaan yang tepat. Termasuk juga dalam hal memanfaatkan keberadaan kawasan tersebut dengan baik dan bijaksana.

Jika konservasi dilakukan sedemikian rupa, namun masyarakat kurang sadar dan tidak partisipatif dalam pemanfaatan maka segala upaya ini sama saja nihil nilainya. Keberadaan dari kawasan konservasi akan lebih terasa ketika masyarkat memahami tujuan konservasi. Variasi tujuan dari konservasi (Wiratno, dkk., 2001, hlm.138) terdiri atas :

a.       Pemeliharaan dan perlindungan sumber daya lingkungan, jasa, dan proses-proses ekologi (hubungan timbal balik makhluk hidup dan lingkungan).

b.      Produksi sumber daya alam, misalnya kayu dan satwa liar.

c.       Produksi rekreasi dan jasa wisata

d.      Perlindungan benda-benda dan situs sejarah serta budaya

e.       Penyediaan peluang-peluang pendidikan dan penelitian.

Apabila masyarakat mengetahui tujuan konservasi, maka diharapkan masyarakat dapat memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan konservasi sesuai tujuan yang ditetapkan.

Dari semua kategori, taman nasional dianggap sebagai kawasan konservasi yang paling penting karena ekosistemnya yang masih asli tanpa pengubahan oleh manusia serta menyimpan banyak kegunaan terutama sebagai sarana edukasi masyarakat. Taman Nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (WANADRI, 2014).

Sesuai pengertian konservasi sendiri, tidak semua kawasan dapat ditetapkan sebagai taman nasional. Ada kriteria khusus sejauh mana sebuah kawasan dapat dipilih dan ditetapkan sebagai taman nasional. WANADRI (2014) pun mengungkapkan kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional meliputi:

a.         memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;

b.         memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

c.         mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan

d.        merupakan wilayah yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.

 Indonesia memiliki cukup banyak kawasan taman nasional. Sebut saja Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Way Kambas, dan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai contohnya. Masing-masing memiliki kekhasan dan menyimpan pengetahuan menarik untuk dipelajari.

 

Kawasan Konservasi (tapi) Terbengkalai

            Betapapun baiknya suatu perencanaan dan usaha, segala sesuatu tetap akan mengalami permasalahan pada masanya. Begitu juga dengan pengadaan kawasan konservasi yang nampaknya telah sempurna ini. Seberapapun baiknya perencanaan dan penentuan karakteristik kawasan konservasi, namun pada perkembangannya ada juga yang mengalami permasalahan, bahkan terbengkalai.

Dilihat dari tujuan penentuan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, pemerintah tentu ingin mewujudkan perlindungan dan kelestarian alam. Namun begitu, pelaksanaan kawasan konservasi tidak semua berjalan mulus. Ada saja kawasan yang mengalami permasalahan, terutama jika letak geografisnya termasuk jauh dari jangkauan masyarakat. Hal terburuk yang terjadi adalah adanya kawasan konservasi yang terbengkalai. Keadaan terbengkalainya suatu kawasan konservasi tentu berbanding terbalik dengan serangkaian tujuan kawasan konservasi. Jika sampai hal seperti itu terjadi, maka pengelolaan kawasan wisata perlu ditinjau ulang.

Tak perlu melihat terlalu jauh untuk membuktikan adanya kasus kawasan konservasi yang terbengkalai. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah sebenarnya tak lepas dari permasalahan lingkungan terkait hal ini. Sebagai contoh, pada tahun 2014 lalu, kawasan wisata Deles Indah, di kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten yang terbengkalai selama lebih kurang 5 tahun terakhir. Kawasan indah di lereng Gunung Merapi itu telah banyak ditumbuhi rumput yang tinggi, banyaknya coretan tangan, dan sampah menumpuk. Bahkan pesanggrahan milik Keraton Kesunanan Surakarta tampak begitu tidak terawat. Salah satu tokoh masyarakatnya mengonfirmasi adanya kesalahan pengelolaan hingga kawasan tersebut menjadi sepi pengunjung. Sebelumnya, pengelolaan kawasan tersebut dilimpahkan kepada pihak swasta oleh Pemerintah Kabupaten Klaten. Sementara warga sekitar tidak dilibatkan.  Setelah dinilai kurang menguntungkan, pengelola kawasan tersebut meninggalkan obyek wisata begitu saja, hingga akhirnya menjadi sepi terbengkalai (Setiadi, 2014).

Faktor lain yang menambah terbengkalainya kawasan wisata Deles yaitu sulitnya akses transportasi ke daerah tersebut. Kawasan wisata, terlebih lagi yang memiliki sisi historis begitu rasanya amat disayangkan jika luput dari perhatian pemerintah dan pada akhirnya hanya dibiarkan terbengkalai.  Baik segi ekonomis maupun ekologis justru tidak terpenuhi.

Dunia menganut dua orientasi dalam pengelolaan taman nasional. Pertama, dengan orientasi preservasi yang bersumber dari romantisme (pengawetan, keinginan menikmati keindahan alam) yang berkembang di negara industri maju seperti Inggris, Amerika, dan Kanada. Sementara yang kedua adalah orientasi konservasi yang bersumber dari inspirasi pemanfaatan. Indonesia menganut orientasi ini bersama dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, Kenya, Kongo, Brazil, dan Venezuela (Wiratno, dkk., 2001).

Pada tahun 2009 lalu, WALHI bahkan mencatat adanya 94 kasus yang  lingkungan hidup di DIY yang terbengkalai. Fenomena kerusakan lingkungan terjadi sekitar Merapi, Menoreh, perkotaan, dan pesisir selatan. Pengubahan status fungsi hutan Merapi menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) menuai polemik dalam masyarakat. Kawasan seluas 6410 ha ini dinilai WALHI membatasi ruang dan akses masyarakat baik ekonomi, kultural, maupun sosial (Rurit, 2009). Terutama bagi masyarakat pedesaan yang kesehariannya berinteraksi dengan alam, penetapan suatu kawasan menjadi taman nasional terasa mengekang. Terasa sumber penghidupan masyarakat menjadi dibatasi oleh sekat status taman nasional tersebut.

Lebih miris lagi ketika melihat kondisi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) Tritis yang beralamat di Tritis, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Kawasan yang masuk area taman nasional Gunung Merapi (TNGM) tersebut tak ada yang mengurus. Bahkan mendengar namanya saja, masyarakat merasa asing dan tak tahu akan keberadaannya. Padahal, kawasan tersebut memiliki keberagaman pepohonan yang tumbuh alami, misalnya bambu Drinjing, pohon Rasamala, dan pohon pinus.

ODTWA Tritis lebih dikenal masyarakat sebagai hutan Kumpulrejo sebelum diambil alih oleh Badan Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM) pada sekitaran tahun 2005 lalu. Dengan penetapan status sebagai bagian dari TNGM, masyarakat merasa dibatasi segala aktivitasnya terhadap kawasan tersebut. Masyarakat yang sebelumnya mencari rumput dan kayu sambil sesekali membawa pupuk ke daerah tersebut secara tidak langsung undur diri dari pengelolaan. Sayangnya, pengalihan tanggung jawab kepemilikan ini tidak disertai pengelolaan yang berkelanjutan. Masyarakat pun tidak dilibatkan dalam pengelolaan maupun pemanfaatan. Memang, masyarakat masih boleh mencari rumput atau kayu di sekitaran kawasan. Namun, dengan demikian kawasan ODTWA seolah jalur yang dihindari masyarakat dan bersekat dengan aktivitas mereka.

Gerbang masuk dan loket yang tak berpengurus dibiarkan kotor tanpa sempat menjalankan fungsinya sampai sekarang. Sementara jalan yang sengaja dibangun sebagai jalur wisatawan untuk mengelilingi kawasan tersebut lama-kelamaan mulai tertutup tanaman. Begitu juga fasilitas yang ada di dalamnya, baik ayunan maupun pos istirahat tak lagi terawat. Setidaknya itulah gambaran kondisi ODTWA Tritis tahun 2015 lalu. Beruntung, tahun ini perbaikan sedikit demi sedikit dilakukan mulai dari pengecatan ulang ayunan sampai perbaikan jalur yang hampir hilang tersebut. Namun begitu, jika pengelolaan tetap tidak diperhatikan dengan serius, maka keadaannya yang terbengkalai selama hampir belasan tahun ini hanya akan terulang kembali.

Dari kasus-kasus yang ada, nampaknya pemerintah mengalami masalah yang cukup serius. Masalah tersebut tak lain dan tak bukan adalah masalah komunikasi dengan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Jika disimpulkan, maka masalah-masalah seputar keberadaan taman nasional adalah sebagai berikut :

a.       Penetapan status taman nasional atau kawasan konservasi membuat masyarakat berpikir bahwa dirinya tidak boleh lagi memasuki kawasan tersebut secara bebas. Mereka berhati-hati bahkan esktremnya takut dan anti untuk memasuki kawasan tesebut.

b.      Di lain sisi, pihak pemerintah tidak menunjuk setidaknya satu petugas atau staff yang benar-benar bertanggung jawab mengelola kawasan tersebut.

c.       Pemerintah kurang koordinasi dan komunikasi dengan masyarakat sekitar kawasan konservasi sehingga masyarakat menerima informasi yang sedikit sekali bahkan salah mengenai kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat secara tidak langsung menarik diri dari tanggung jawab pengelolaan.

d.      Pemerintah tidak mempromosikan atau menyebarluaskan informasi keberadaan kawasan konservasi yang berada jauh dari lingkup perkotaan tersebut kepada masyarakat luas. Ini menyebabkan tak seorang pun masyarakat datang berkunjung padahal sebenarnya kebutuhan pengetahuan maupun rekreasi masyarakat modern dapat dipenuhi oleh kawasan ini.

e.       Sulit dan minimnya akses transportasi menuju kawasan konservasi.

Masalah semacam ini tidak sekadar terjadi sekali ini dan tempat ini saja. Banyak taman nasional lain mengalami masalah serupa sejak masa permulaan keberadaannya. Barzzetti (dalam Wiratno, dkk., 2001) pun merumuskan beberapa kelemahan mendasar yang kerap melanda kawasan konservasi termasuk taman nasional. Kelemahan dasar ini dirumuskan sebagai berikut : keterbatasan anggaran, staf yang tidak memenuhi persyaratan, kelemahan infrastruktur dan atau sarana prasarana, dan hubungan yang tidak lancar dengan masyarakat sekitar kawasan.

 

Sebagai Wujud Environmentalisme

Aspek ekonomi berperan besar dalam tata kehidupan manusia. Sebagian besar masyarakat sibuk dalam upaya memenuhi diri dengan kelimpahan secara ekonomi. Kesejahteraan diri menjadi tujuan yang hendak dicapai dari pemenuhan ekonomi manusia. Hal ini secara tidak langsung mengubah fokus perhatian manusia pada aspek ekonomi semata. Sementara kepedulian dan tanggung jawab terhadap alam seakan-akan dilepas.

Keberadaan dan pembentukan kawasan konservasi seolah menjadi bentuk tanggung jawab manusia terhadap alam. Atau lebih tepatnya, wujud nyata dari Ideologi Lingkungan (Environmentalisme). Masyarakat dituntut kembali kesadarannya akan pentingnya alam semesta. Ideologi lingkungan (Environmentalism) menurut Eder (1996, dalam Buhr & Reiter, n.d., hlm. 4) adalah sebuah titik balik dalam evolusi budaya modern yang menyediakan sebuah orientasi budaya baru, dengan cara mengganti ekologi untuk industri menjadi sebuah politik alam. Artinya pusat aktivitas manusia bukan semat-mata pada aspek ekonomisnya, melainkan turut memperhatikan adanya alam/lingkungan sebagai bagian yang lebih besar.

Tanggung jawab manusia ini tak lain karena manusia telah mendapatkan banyak hal dari alam untuk menyokong perekonomian dan kehidupannya. Filsafat Lingkungan sebagai salah satu yang mendasari ideologi lingkungan menggunakan dua pendekatan yaitu antroposentris dan ekosentris (Attfield, 2003; Purser dkk., 1995 dalam Buhr & Reiter, n.d., hlm. 4). Antroposentris melihat kehidupan ini berpusat pada kepentingan dan kesejahteraan manusia, sedangkan ekosentris memandang pusat kehidupan ini adalah alam sebagai bagian yang lebih besar dan tak dapat diganggu kepentingan apapun. Namun begitu, Ideologi Lingkungan berusaha menggabungkan keduanya dalam membentuk sikap terhadap lingkungan.

Skolimowski (2004) menyebutnya dengan cara berbeda. Ia menaruh Filsafat lingkungan dalam aspek humanism. Menurutnya, humanism tradisional lebih menekankan pada kemuliaan, kemerdekaan, dan kebesaran manusia, atau lebih tepatnya pemanfaatan alam demi pemenuhan kebutuhan manusia. Sementara Humanisme Ekologis melihat manusia sebagai bagian kecil dari skema benda-benda yang lebih besar yaitu alam dan kosmos (jagat raya). Segala tindakan manusia tentu berisiko terhadap alam. Dengan demikian, manusia harus memahami konsekuensi dan risiko dari tindakan yang ditimbulkannya. Kesadaran akan risiko ini menuntut tanggung jawab tak terbatas manusia pada kelestarian alam. Lebih lagi, ketika fokus dari ekologi adalah kritisasi terhadap lingkungan yang rusak.

Filsafat Lingkungan berusaha membawa kembali koherensi antara sistem nilai manusia dengan pandangannya atas alam. Filsafat ini berusaha menyelamatkan individu dengan pemahamannya bahwa kerusakan lingkungan akan membawa dampak yang lebih besar pada suatu masa nantinya (Skolimowski, 2004). Perusakan lingkungan saat ini akan membawa kehancuran di masa mendatang. Bahkan hal ini dapat menciptakan kecemburuan antargenerasi. Bukan tidak mungkin anak cucu kita meminta pertanggungjawaban kita atas tindakan kita terhadap alam sehingga mereka hidup kesusahan karena alamnya telah rusak.

Filsafat Lingkungan bisa disebut sebagai aksi kritis terhadap sikap manusia. Ia memandang bahwa manusia kini objektif (dalam arti tak terlibat/melepas tanggung jawab terhadap alam), mengejar informasi, lupa secara lingkungan dan ekologis, berhubungan dengan ekonomi dan kemajuan material, tidak peduli sefara sosial (Skolimowski, 2004). Maka dari itu, pengelolaan kawasan konservasi secara tepat sesungguhnya menjadi wadah bagi penciptaan kesadaran manusia terhadap lingkungan secara lebih sistematis.

 

Masyarakat Dilibatkan

Kawasan konservasi berada dekat dengan masyarakat, bahkan beberapa telah menyatu dengan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat tidak dapat dipisahkan begitu saja darinya hanya dengan perubahan status kawasan konservasi. Lebih lagi, ketika masalah terbengkalainya kawasan ini disebabkan oleh kesalahan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.

Kawasan konservasi sesungguhnya bermanfaat bagi semua pihak, baik wisatawan maupun masyarakat setempat. Dengan demikian, penetapan taman taman nasional ataupun daerah konservasi hendaknya melibatkan berbagai pihak. Terhadap masyarakat, di sekitar Taman Nasional dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat (WANADRI, 2014). Pemberdayaan masyarakat di sekitar Taman Nasional dilakukan melalui:

 

a. pengembangan desa konservasi;

b. pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam;
c. fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.


Masyarakat sekitar tentunya dapat dilibatkan dalam perawatan dan pengelolaan baik dengan pembentukan tim pengurus maupun dengan izin pemanfaatan yang secara tidak langsung membuat masyarakat merasa memiliki dan turut menjaga kawasan tersebut. Pemerintah perlu mengingat adanya sistem zonasi pada pengertian taman nasional.

Menurut peraturan pemerintah, Zonasi atau zona khusus adalah zona untuk mengakomodasi kelompok masyarakat yang telah tinggal di sekitar kawasan taman nasional sebelum diterapkan atau sarana prasarana seperti listrik, telekomunikasi maupun transportasi (Moeliono, dkk., 2010). Zona khusus ini mengakomodasi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya dalam kawasan yang berbasis konservasi. Dengan demikian masyarakat tidak lepas seutuhnya dari kawasan ini.

Langkah lain adalah dengan menggandeng LSM sebagai mitra dan aktor komunikasi untuk melakukan sosialisasi dan pendekatan terhadap masyarakat. Dengan sosialisasi, masyarakat diharapkan mendapat pengetahuan yang utuh mengenai kawasan konservasi. Serta bersama-sama LSM menjadi lebih kritis dan aktif dalam pelestarian dan pengelolaan kawasan konservasi. Salah satu contohnya adalah keberadaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang selama ini senantiasa mengiringi pengawasan terhadap lingkungan dengan memberikan laporan kepada pemerintah. Namun ke depannya, LSM diharapkan mampu bersosialisasi dengan masyarakat.

Di masa mendatang, pelibatan LSM dan masyarakat ini harus lebih konkrit. Tidak sekadar pengawasan namun juga pengelolaan secara aktif.Pelibatan aktor pemerintah bersama LSM dan masyarakat (Wiratno, dkk., 2014) menjadi penting karena masing-masing memiliki kepentingan terhadap alam. Dengan demikian terbengkalainya kawasan konservasi yang seharusnya terlindung diharapkan dapat diminimalisir.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buhr N., & Reiter, S. Ideology, the environment and one worldview: A discourse analysis of Noranda’s environmental and sustainable development reports.

Moeliono, dkk. (2010). Meretas kebuntuan : konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi taman nasional di Indonesia. Bogor : CIFOR.

Rurit, B. (5 Juni 2009). Puluhan kasus lingkungan hidup di Yogyakarta terbengkalai. Tempo.co. Data diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2009/06/05/063180313/puluhan-kasus-lingkungan-hidup-di-yogyakarta-terbengkalai

Setiadi, A. (8 Januari 2014). Deles indah, 15 tahun mati suri. Sindonews. Data diakses dari http://daerah.sindonews.com/read/824676/30/deles-indah-15-tahun-mati-suri-1389167566

Skolimowski, H. (2004). Filsafat Lingkungan. Yogyakarta : Bentang Budaya.

Wiratno, Indriyo, D., Syarifudin, A., dan Kartikasari, A. (2001). Berkaca di cermin retak : Refleksi konservasi dan implikasi bagi pengelolaan taman nasional. Jakarta : The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement.

WANADRI. (7 Oktober 2014). Pengertian taman nasional, kriteria penetapan.  Data diakses dari http://wanadri.or.id/home/2014/10/pengertian-taman-nasional-kriteria-penetapan/

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun