Mohon tunggu...
Flower Shop
Flower Shop Mohon Tunggu... -

Mari bicara mengenai kamu. Semua tentangmu, cintamu, sedihmu, bahagiamu, tawamu, dengan teman dan orang-orang dekatmu. Aku mencintaimu, bagai semarak warna dan harum wangi di sebuah toko bunga seberang taman. Akan kubelikanmu setangkai, simpanlah sebagai pembatas buku kesayanganmu, sehingga tiap kali kau lanjut membaca, kau ingat kan bunga ini. Siapa aku? Akan kuberitahu nanti, tidak sekarang, tapi aku janji.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wasiat "My Way"

16 November 2015   13:39 Diperbarui: 16 November 2015   14:50 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kuliah hari Senin, emang bukan favorit kebanyakan orang. Hari ini berstereotype sibuk, penat, pokoknya gak menariklah. Semester ini semester keberuntunganku karena aku harus berkuliah jam 7 pagi tiap hari Senin lengkap dengan bintang tamu dosen ibu-ibu tua Killer kelas wahid ber-reputasi jahanam tentunya. Beruntunglah kamu, mungkin bukan karena kamu beruntung, tapi gue aja yang lagi apes gilak.

Terserah sih, tapi dosen kami di Fakultas Psikologi ini adalah dosen yang mungkin sangat jarang ada di kampus lain. Beliau adalah seorang ibu, sudah hampir 60 tahun mungkin usia beliau, dengan kondisi kesehatan yang (maaf) memprihatinkan. Bahkan dia sendiri yang bilang kalau dia tinggal menunggu ajal. Dia cuci darah 2 kali seminggu, punya paru-paru basah, kadang membawa tabung oksigen ke kelas di pagi hari. Kadang juga dia gak masuk kelas karena terbaring di rumah. rambutnya sudah sebagian besar beruban dan di tangannya banyak bekas tusukan jarum besar buat cuci darah. Tapi percayalah teman, ia adalah seorang yang sampai saat ini menyandang salah satu dosen tergalak seantero fakultas.

Ia tak kenal ampun masalah tugas, sistematika laporan, apalagi presensi. Sebagai orang Jawa Timur, ia tidak pernah menyembunyikan amarah ataupun kekecewaan, terhadap siapapun, terhadap apapun. Dan aku pikir, ia sudah melewati masa kekecewaannya terhadap penyakitnya, karena ia masih bisa marah-marah di kelas pagi dengan selang oksigen di hidungnya minggu kemarin. Beliau adalah seorang yang resilient, orang yang tangguh. Dan minggu kemarin, dia menitipkan wasiat pada salah satu mahasiswanya (teman kelasku sendiri) katanya selesai misa kematiannya, saat petinya mau dibawa ke pemakaman, ia minta khusus baginya choir menyanyikan lagu My Way.

Senin pagi ini, ia tidak mau masuk ke kelas. Ia sesak napas katanya. Ia meminta kami sekelas untuk turun ke ruangannya, satu per satu mengajukan laporan observasi untuk konsultasi. Kami mengantri di selasar deretan ruang dosen.

Lama pokoknya deh, lalu tiba giliranku. Sebelumnya, terdengar banyak bentakan dari si ibu tua itu. Dari luar aja kedengeran dia kalo ngebentak.

"Kamu mbayar berapa saya disini?? Kamu kira saya ini guru les privat apa?? Dateng-dateng baru bab 2!! Keluar!!"

"Uwis! Nek uwis ki gek ndang kono minggat!!" *

* ("Sudah! Kalau sudah selesai itu ya pergi sana!!")

Buset dah...dari luar rada jauh aja kedengeran...ngeri bener nih gilak...

Aku tadinya diluar udah kecapean dan bosen main angry bird yang gak menang-menang.

Yaudah, abis ini gua deh. Dan aku maju, dengan penelitianku yang punya 2 variabel sampai Landasan Teori. Yesss, kita tahu landasan teori itu ada di Bab 2.

Dosen tua yang moody ini baru saja mengusir satu lagi calon intelek dari hadapnya, lengkap dengan berbagai torehan nahas tinta merah pada lembar tabel observasi si mahasiswa tadi. Mahasiswa tadi baru saja lewat di hadapanku. Korban berikutnya? Yaa Gueehhh!!!

Aku sudah lebih dulu menyuntikkan vaksin kebal galak ke hatiku yang terdalam. "halah apa sih, paling cuman dibentak bentar, abis itu udah." kata hatiku padaku.

"Permisi Bu, Pagi..." senyumku sambil membuka pintu ruang dosen.

"ya sini... ngapain kamu kesini? Sudah sampai mana?"

Ya sudahlah Tuhan, berkatilah aku.

"Ini bu, saya baru sampai sekian..."

"lhoh, opo iki? kok baru segini?"

"iya bu, minggu kemarin saya belum ngumpulin bu, saya kira ibu ndak masuk karena loka karya" tangkisku dengan hopeless.

"Ya gak bisa!! Tugas ya tugas!! Mana sini!"

Tidak seperti yang lain, paperku diterimanya, dan dibaca.

"Tadi dateng kelas jam berapa kamu?"

"Jaaamm setengah 7an bu..." jawabku ragu.

Selagi dibaca, aku sedikit melihat ruangan yang baru dua kali aku masuki ini. Di belakang kursi ibu ini, ada tabung oksigen, ada lipatan kursi roda - kalau aku gak salah lihat tadi - ada stok galon air mineral, teh celup, dispenser, dan kasur dimana si ibu mungkin sering berbaring kalau sedang lelah.

"Opo iki judule? * Tulis dulu ini judulnya!" * ("Apa ini judulnya?")

"Iya bu" lalu aku menulis judulnya. Selagi aku menulis judul itu, si ibu bertanya.

"Kamu itu, di kelas punya temen deket ndak?"

Pertanyaan apa ini? Pikirku agak heran.

"Saya punya bu, satu"

"Rajin ndak orangnya?"

"Ndak terlalu sih bu..." jawabku pelan.

"Pantesan ini bab 2, kamu itu cari temen ya yang rajin harusnya!!"

"Iya bu..." aku berpikir, temanku ini tidak produktif bukan karena malas sebenarnya.

"Kamu itu, kalo tak liat kok itu orangnya lonely ya"

Aku kaget, ternyata ibu dosen galak banget ini peka sama mahasiswanya dan dengan lemah aku mengakui.

"Iya bu..."

"Lhah terus kamu gimana? Apa terus diem gitu di kelas?"

"Ya ndak bu, saya terus nyoba terus ngomong. Kadang saya itu kalo ngomong susah bu, topiknya kalo sama orang gak nyambung, tapi terus saya cobain mendengarkan yang lain..."

"Kamu masuk Psikologi pilihanmu sendiri?"

"Iya bu"

"dengan paksaan orang tua?"

"ndak bu, saya sendiri."

"orang tua juga oke ndak kamu masuk sini?"

"iya bu, orang tua juga oke bu"

"Mungkin kalau begitu kamu harus mencoba bertanya sama orang"

"sudah bu, ya tapi itu tadi..."

"kamu kalo nanya tulus ndak? Kalau saya liat kamu yang harus mencoba tulus"

Aku hanya mengangguk-anggukkan dagu, gak bisa bilang apa-apa.

"Seperti saya ini" ibu dosen melanjutkan "saya dulu tinggal di asrama. saya kalau pulang kuliah gak bisa main kayak yang lain. Kami di asrama jam mainnya terbatas. Yang lain bisa main bisa kerja kelompok. Meskipun gitu, temen-temen tetep cinta sama aku..."

"kok bisa bu?"

"ya karena aku orangnya tulus. Kalau temen butuh aku, ya aku tolong, dengan tulus. Kalau ada temanku ada yang kurang duit, kalau aku ada duit, ya aku kasihlah mereka berepa... Kalau ndak ya aku bilang aku gak punya... Dan aku kalau tanya itu ya gitu, merendah, gak ada gengsi, jadi ndak nyakitin hati temannya ibu juga"

Aku merasa aku ada pada titik terendahku. Hal yang selama ini tidak aku senangi dan selalu aku hajar dengan prestise dan keaktifan pada kegiatan mahasiswa sebagai kompensasi loneliness itu berada di depan mataku. Memang, aku seorang fotografer di kampus, aku juga seorang filmmaker, aku punya bakat musik, aku gak terbilang susah banget hidupnya, aku juga ke kampus bawa mobil sendiri, tapi tetep aku sendiri. Bayangkan, aku naik mobil, tapi hanya aku sendiri, sangat jarang sekali ada temen ikut di jok samping atau belakang...sedih juga sih. Di tengah kehidupan perkuliahan yang dinamika sosialnya ketat, sarat dengan image dan gengsi, survival bisa jadi bergantung pada informasi yang ada pada budaya kolektif tersistem yang terkadang eksklusif.

"Kamu harus cari temen, yang buuaannyyaakkk...kalo ndak gitu nanti kamu susah"

"Iya bu..." hanya dia kata iya dan bu itu yang bisa keluar.

"nanti kamu ndak ada yang nolong, kayak gini terus"

Aku dengan penjelasan dan beserta kejujuran dari hati, aku menjawab si ibu dosen.

"Memang sih bu, kalau saya liat memang rasanya hampir ndak mungkin kalau lonely di kampus besar ini. Banyak kegiatan, banyak unit kegiatan fakultas juga, dan pasti banyak orang yang butuh. Saya udah coba itu lumayan banyak bu, tapi kok kalau saya interaksi cuman beberapa yang bener bisa nyantol omongannya bu. Disini di kelas susah bu saya. Ada juga dari fakultas lain bu yang jadi temen saya, tapi jarang banget ketemunya. Jadi ya begini ini bu"

"Mau gimana lagi, kamu harus coba terus, kamu hidup ya di kelas, kalo ndak susah nanti, harus dicoba terus. Ini sebenarnya saya ndak mau ini ngoreksi kayak gini ini. harusnya ini sudah kerjaan minggu lalu tapi malah tertunda sampai sekarang."

"iya bu, memang harusnya tidap minggu progress"

"Ya itu kamu tau sendiri. Saya sebenarnya menuntut mahasiswa saya untuk bertanggung jawab atas pekerjaannya sendiri. Yang tadi saya teriakin itu, yang saya bilang 'kamu bayar berapa saya disini, emang saya guru les privat?' kayak gini kan kayak les privat konsultasi satu-satu."

Lalu kami berbicara mengenai hal teknis laporan, dengan sedikit pembicaraan off the record dariku.

"Bu, ibu kok galak sih bu orangnya?"

 

======== ***** ========

 

Aku nggak tau, tapi hari ini dosen dengan reputasi algojo maut bagi para mahasiswa level skripsi menolongku dengan ramah bagaikan anaknya sendiri. Aku, seorang mahasiswa yang sering datang telat dan udah 3 kali membolos masih mau diterima olehnya. Hari ini, aku baru saja bertemu dengan orang berhati emas, yang masih mau menolong orang lain tanpa memikirkan image-nya untuk menolong orang yang dijauhi orang lain.

 

======== TO BE CONTINUED ========

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun