Mohon tunggu...
Fitri Novitasari
Fitri Novitasari Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya sangat hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi - Reviewer: Fitri

27 Mei 2024   19:14 Diperbarui: 27 Mei 2024   19:26 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 REVIEW SKRIPSI "HUKUM MENIKAHKAN ANAK PEREMPUAN LUAR NIKAH OLEH AYAH BIOLOGISNYA MENURUT IMAM SYAFI'I"

OLEH: MISS HARANEE DENMANI

REVIEWER : FITRI NOVITASARI [ 222121143/HKI-4D]

A. PENDAHULUAN 

Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Zariyat ayat 49, perkawinan adalah sunnatullah dan harus dilakukan. ditunjukkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah memiliki pasangan. Orang-orang yang telah menikah dapat menghindari bahaya melakukan zina dan dapat menenterankan kehidupan. Jika kita ingin hidup bahagia, kita harus menikah karena itu adalah ibadah. Salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk kebaikan semua manusia adalah syariat pernikahan. Ini dibuat untuk melepaskan nafsu birahi manusia secara teratur, yang menghasilkan keturunan yang baik dan menciptakan rumah tangga yang damai, mawaddah, dan rahmah.

Dalam bahasa, "nikah" berarti gabungan atau campuran. Meskipun demikian, dalam istilah syariat, nikah didefinisikan sebagai perjanjian antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang menyebabkan hubungan seksual menjadi halal. Pernikahan dilakukan untuk menenangkan jiwa, mewujudkan atau melestarikan keturunan, memenuhi kebutuhan biologis, dan memupuk kesadaran akan tanggung jawab.

Pembicaraan tentang perkawinan tentu tidak lepas dari setatus anak yang dilahirkan, Anak-anak yang dilahirkan sebagai hasil dari hubungan suami istri---baik yang dilahirkan sebagai hasil dari hubungan suami istri yang terikat dengan ikatan perkawinan yang sah maupun yang tidak. Dalam hukum Islam, hubungan suami istri antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dengan ikatan perkawinan disebut "zina".

Asal usul anak merupakan dasar untuk menujukkan adanya hubungan kemahraman (nasab). Demikian yang diyakini dalam fiqh sunni. Karena para ulama sepakat bahawa anak zina, hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya. Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu : Menurut Imam Malik dan Syafii, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapanya, anak itu dinasabkan kepada bapanya. Jika anak itu di lahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena diduga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan. Menurut Imam Abu Hanifah anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapanya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu. Jadi menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada bapaknya. Maka bapaknya tidak boleh menikah dengan anak zina itu. Berbeda dengan pendapat Imam Syafii bahwa anak zina yang lahir sebelum enam bulan dari pernikahan ibu bapanya anak itu dinasab kepada ibunya saja. Fuqaha sependapat bahwa wanita yang diharamkan untuk dikawin dari segi nasab ada tujuh kesemua ada tersebut dalam al-quran, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, anak perempuan saudara perempuan, dan anak perempuan saudara laki-laki.

B. Alasan memilih judul ini?

Karena termotivasi dari lingkungan sekitar yang banyak anak-anak  terlahir di Luar perkawinan dan saat mereka ingin menikah justru mereka tidak mengetahui hukum menjadikan ayah mereka sebagai wali nikah. tinggi nya pernikahan yang disebabkan oleh kehamilan diluar nikah namun tidak mengetahui hukum dari anak yang dilahirkan tersebut.

C. REVIEW ISI

1.Pengertian Wali dan Dasar Hukumnya

Pengertian, dalam literature fiqih Islam disebut dengan al-walayah )),seperti kata secara etimologis, dia memiliki beberapa arti. Di antaranya adalah cinta ) )dan pertolongan ) )seperti dalam penggalan juga :)9 (Taubat -at surat 71 ayat dan ayat berarti kekuasaan/ otoritas ) )seperti dalam ungkapan al-wali )) yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari adalah " " (mengurus/menguasai sesuatu).

Menurut Abdurrahman al-Jazari, para fuqaha (pakar hokum Islam) mengartikan wali sebagai orang yang mengakadkan nikah menjadi sah; nikah yang tidak memiliki wali adalah tidak sah; wali juga dianggap sebagai ayah. Menurut Amir Syarifuddin, wali secara umum berarti seseorang yang memiliki otoritas untuk bertindak atas nama dan terhadap orang lain karena kedudukannya.

Atas dasar pengertian semantic kata wali di atas, mudah untuk memahami mengapa hukum Islam menetapkan bahwa ayah adalah orang yang paling berhak untuk menjadi wali untuk kepentingan anaknya. Ini disebabkan oleh fakta bahwa ayah adalah orang yang paling dekat dan selalu siap membantu, bahkan jika itu berarti dia yang mengasuh dan membiayai anak-anaknya selama itu. Sebagaimana dibahas secara menyeluruh dalam buku-buku fiqih, jika ayahnya tidak ada, hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah.

Sebagian ulama, terumata dari kalangan Anafiah, membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok,yaitu perwalian terhadap jiwa (al-walayahalan-nafs), perwalian terhadap harta (al-walayahalal-mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walayahalan-nafsiwaf-mali maan).

Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayahalan-nafs, yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti pernikahan, pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek,dan para wali yang lain.

Perwalian terhadap harta ialah perwalian yang berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal pengembangan, pemelihaan (pengawasan) dan pembelanjaan. Adapun perwalian terhadap jiwa dan harta ialah perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta-kekayaan, dan hanya berada ditangan ayah dan kakek.

Wali Nikah ialah "orang laki-laki yang dalam suatu akad pernikahan berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan" Adanya Wali Nikah merupakan rukun dalam akad pernikahan.

 Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya Wali Nikah dalam suatu akad pernikahan. Ulama Dhahiriyah mensyaratkan adanya Wali Nikah bagi gadis dan tidak mensyaratkan bagi janda. Abu Tsaur berkata bahwa wanita boleh menikahkan dirinya dengan izin walinya.

2. Nikah dan problematikanya

Dalam bahasa, "nikah" berarti "mengumpulkan", "menggabungkan", dan "percampuran". Itu juga bisa berarti "perkawinan" atau "hubungan badan". Kata "nikah" berarti "akad" secara denotatif dan "hubungan intam" secara konotatif. Kawin (zawaj) berarti "ikatan". Nikah adalah ikatan perkawinan, atau akad, yang dilakukan sesuai dengan hukum dan ajaran agama. Maksudnya ialah ikatan agama yang menghalalkan pergaulan dan mendefinisikan hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan keluarga (bukan mahram).

Nikah menurut istilah syariat artinya: akad membolehkan hubungan intam dengan menggunakan kata menikahkan, mengawinkan, atau terjemah keduanya,atau yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang tertentu) untuk berkumpul, atau akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan menjadi halal. Nikah juga terkadang digunakan untuk mengukapkan arti hubungan suami istri. Jika kata nikah disandarkan kepada istri dengan mengatakan, " Si fulan." Maka yang dimaksud adalah melakukan akad pernikahan [umum].

Di daerah tempat penulis tinggal yaitu tempatnya di salah satu daerah di Patani, penulis pernah mendapatkan beberapa masalah yang terjadi yaitu: 1. Pernikahan anak perempuan di luar nikah Di daerah tempat penulis tinggal yaitu di salah satu daerah di Patani, penulis pernah mendapatkan kasus dimana ada pasangan yang berawal dari hubungan pacaran biasa kemudian berkembang ke arah pertunangan atau dengan kata lain sudah di lamar. Ketika sudah dilamar mungkin dari kedua belah pihak keluarga tersebut sudah menganggap hubungan kedua pasangan tersebut telah sah sehingga orang tua dari mempalai wanita ketika calon prianya berkunjung ke kediaman perempuan maka tidak mempermasalahkan lagi jika si calon pria tersebut menginap di rumah si perempuan tersebut walaupun satu kamar. Hal seperti inilah yang kemudian mengakibatkan hamilnya si calon wanita sebelum dilangsungkannya pernikahan. Lalu lima bulan kemudian anak tersebut lahir. Kemudian ketika anaknya tersebut lahir serta tumbuh dewasa kemudian menikah maka lelaki tersebutlah ( yang anggap sebagai bapaknya ) yang kemudian menjadi walinya. Padahal, kalu kita melihat kasus diatas, anak yang lahir tersebut adalah anak yang lahir dari hubungan di luar nikah atau dengan kata lain bisa kita sebut dengan anak zina. 2. Pernikahan beda agama Pernikahan beda agama di Patani dalam kenyataan sudah sering terjadi, terutama pada masyarakat perkotaan yang heterogen. Permasalahan dalam pernikahan beda agama in adalah ada aturan secara tegas mmengenai dapat atau tidaknya pernikahan tersebut dilaksanakan. Hai ini akan menimbulkan keraguan bagi pasangan yang akan melaksanakan beda agama. Disammping itu pernikahan beda agama memicu timbulnya permasalahan di bidang social dan hukum. Di dalam undang-undang pernikahan sendiri tidak diatur tentang pernikahan beda agama, tidak ditemukan dalam undang-undang pernikahan dan perturan pemerintah sebagai peraturan pelaksananya. Dengan tidak adanya ketegasan perkawinan beda agama dalam aturan-aturan pernikahan di Thailand, di mana aturan-aturan pernikahan masih menyerahkan sepenuhnya persoalan pernikahan kepada agama, maka pernikahan mutlak dilakukan menurut agamanya masing-masing. Tidak adanya pernikahan yang Hindu dan Kriten seperti yang dijumpai di Patani. Sebelumnya terbentuk lembaga Majelis Agama Islam (MAI) di Thailand bangsa Muslim yang beragama Islam tidak dipedulikan oleh pemerintah. Mareka diperintah Raja yang beragama Budha yang tidak memikirkan keadaan umat Islam. Kegiatan-kegiatan yang mareka lakukan yang berkaitan dengan Agama Islam diserahkan atas kesadaran dan inisiatif mareka sendiri. Secara keseluruhan lahirnya kegiatan Islam dapat dikatakan atas usaha tokoh masyaraakat yang merasa dirinya bertanggung jawab untuk menegakkan Agama Allah dan membawa umat Islam kejalan yang benar. Peran Majelis Agama Islam di Patani dalam pelaksaan nikah beda agama, yang penting untuk mengarahkan masyarakat agar dapat melaksanakan hokum Islam yang sesuai dengan harapan masyarakat Muslim disuatu komunitas. 3. Poligami Sebagai salah satu ditemukan kasus pelaksanaan poligami tanpa melalui instansi pencatatan resmi pelaksanaan perkawinan. Hal ini dampak negative di kemudian hari, terutama kepada pihak perempuan seperti harta warisan bagi perempuan dan keturunannya, sebagai akibat perkawinan mareka tidak mempunyai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan di depan lembaga perdilan aganma. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, dan kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknua, apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain, terutama istri dan anak-anak. Salah satu fenomena yang terjadi ini adalah banyak dijumpai pasangan keluarga yang melakukan pelaksanaan poligami. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa poligami dianggap sebagai suatu hal yang wajar.

3. Macam-Macam Wali 

Dalam Hukum Pernikahan Islam dikenal adanya empat macam Wali Nikah, yaitu:

Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertalian nasab atau pertalian darah dengan calon mempelai perempuan.

Wali Mutiq, yaitu wali nikah karena, memerdekakan, artinya seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seorang perempuan, karena orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini di Indonesia tidak terjadi.

Wali Hakim, yaitu Wali Nikah yang dilakukan oleh Penguasa, bagi seorang perempuan yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik karena telah meninggal dunia, menolak menjadi wali nikah atau sebab-sabab lain.

Wali Muhakam, yaitu Wali Nikah yang terdiri dari seorang laki-laki yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk menikahkan mereka, dikarenakan tidak ada Wali Nasab, Wali Mutiq, dan Wali Hakim. Untuk jenis terakhir ini di Indonesia sedikit sekali kemungkinan terjadinya. Berdasarkan hal-hal tersebut maka yang lazim di Indonesia hanyalah Wali Nasab dan Wali Hakim saja.

Urutan Wali Nasab adalah sebagai berikut:

Ayah.

Kakek (Bapak ayah).

Ayah kakek (ayah tingkat tiga) dan seterusnya ke atas.

Saudara laki-laki sekandung.

Saudara laki-laki seayah.

Anak laki-laki saudara laki-laki kandung.

Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.

Paman sekandung (Saudara laki-laki ayah sekandung).

Pamam seayah (Saudara laki-laki ayah seayah).

Anak laki-laki paman sekandung.

Anak laki-laki paman ayah.

Saudara kakek sekandung (Bapak ayah sekandung).

Saudara kakek seayah (Bapak ayah seayah).

Anak laki-laki saudara kakek sekandung.

Anak laki-laki saudara kakek seayah.

Hak menjadi Wali Nikah, terhadap perempuan adalah sedemikian berurutan, sehingga jika masih terdapat Wali Nikah yang lebih dekat maka tidak dibenarkan Wali Nikah yang lebih jauh itu menikahkannya, jika masih terdapat Wali Nasab maka Wali Hakim tidak berhak menjadi Wali Nikah.

Dalam urutan Wali Nasab, Wali Nikah yang lebih dekat disebut Wali Aqrab, sedang yang jauh disebut Wali Abad, masalnya ayah dan kakek, ayah desebut Wali Aqrab sedang kakek disebut Wali Abad. Demikian pula antara kakek dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara laki-laki sekandung, antara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah dan seterusnya.

Hak Wali Nikah dari Wali Aqrab berpindah kepada Wali Abad apabila:

Wali Aqrab tidak beragama Islam sedang mempelai perempuan beragama Islam.

Wali Aqrab orang yang fasiq.

Wali Aqrab belum baligh.

Wali Aqrab tidak berakal (gila atau majnun).

Wali Aqrab rusak ingatannya sebab terlalu tua atau sebab lain.

Hak Wali Nikah dari Wali Nasab berpindah kepada Wali Hakim apabila:

Tidak ada Wali Nasab sama sekali.

Wali mafqud (dinyatakan hilang tidak diketahui tempatnya).

Walinya sendiri menjadi mempelai laki-laki, padahal tidak ada wali nikah yang sederajat dengannya.

Walinya sakit pitam (ayah Jw..).

Walinya jauh dari tempat akad pernikahan (ghaib).

Walinya berada di penjara yang tiddak boleh ditemui.

Walinya berada di bawah pengampunan (mahjur alaih).

Walinya bersembunyi (tawari).

Walinya jual mahal (sombong atau taazzaz).

Walinya sedang berihram haji atau umrah.

4. Kedudukan Wali dalam Pernikahan

Dalam bukunya, Sayyid Sabiq menggambarkan wali sebagai aturan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Ada wali umum dan wali khusus. Berkenan dengan manusia adalah yang umum, sedangkan berkenan dengan harta benda dan manusia adalah yang khusus. Ini adalah tentang wali terhadap manusia, yaitu wali pernikahan. Dalam kitabnya, Imam Malik ibn Anas menyatakan bahwa seorang janda memiliki hak yang lebih besar atas dirinya daripada walinya, dan seorang gadis menunjukkan dukungannya.

Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin luar nikah. Dalam hukum Islam anak tersebut dapat dianggap anak di luar nikah adalah:

Anak zina, adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahiran anak tersebut.

Anak mulaanah, adalah anak yang dilahirkan oleh seorang istri yang mana keberadaan anak itu dibantah oleh suami sebagai anaknya dan menuduh istrinya telah berbuat zina dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah lian terhadap istrinya.

Anak shubhat, adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang digauli dengan cara shubhat, yang dimaksud dengan shubhat dalam hal ini, menurut jawad mughaniyah yaitu seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.

Anak luar nikah artinya kehamilan yang terjadi pada wanita tersebut tidak melalui pernikahan yang sah, yang hanya menyebabkan terhalangnya pembahagian harta pusaka menurut hukum faraid. Jika orang yang berzina tersebut menikah setelah kehamilan, istrinya melahirkan anak kurang dari tempoh enam bulan menurut mazhab Imam Syafii anak tersebut tidak boleh di bin kan kepada bapa terlibat sebaliknya di bin kan dengan kepada ibunya. Begitu juga jika, melebihi enam bulan istrinya melahirkan anaknya tadi maka anak tersebut tetap tidak boleh di bin kan kepada bapanya. Ini karena ibu itu tahu anak dalam kandungan ujud sebelum pernikahan.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum nasab anak luar nikah. Sebagian ulama berpendapat bahwa anak itu dinasabkan kepada keduanya, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa anak itu dinasabkan hanya kepada ibunya. Ada juga pendapat bahwa ibu boleh menikahi anak luar nikah dengan pria yang berzina, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa tidak boleh.

Tampaknya fikih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah. Kendatipun tidak di temukan defenisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari defenisi ayatayat al-Quran dan hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan didalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak zina yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.

Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:

Menurut Imam Maliki dan Syafii, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.

Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasapkan kepada ibunya, karena diduga ibunya itubtelah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan.

Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.

5. Analisis hukum menikahkan anak diluar nikah menurut pandangan syafi'i

Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan dari hubungan kelamin tanpa pernikahan. Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan kelamin tanpa pernikahan. Pendapat syafi'i yang paling akurat tentang arti nikah secara syafi'i adalah bahwa, dalam arti denotatif, kata itu berarti perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. undang-undang yang membuat hubungan kelamin antara pria dan wanita dianggap halal.

Dalam hal nasab anak luar nikah ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya. Sebagian ulama menyatakan anak itu di nasab kepada keduanya sedangkan sebagian menyatakan anak itu di nasabkan kepada ibinya saja. Dan juga dalam hal menikahi anak luar nikah dengan laki-laki yang berzina ibunya sebagian mengatakan boleh dan sebagian mengatakan tidak boleh. Dan menurut mazhab Syafii adalah "Makhluk atau manusia yang terjadi dari hasil perzinaan. Halal baginya dan haram bagi seorang perempuan anaknya dari hasil perzinaan". Dari ayat diatas dapat difahamkan bahwa anak yang lahir dari hasil perzinaan itu dinasabkan kepada ibunya saja. Maka hasil bagi ayahnya (laki-laki yang berzina dengan ibunya) dan laki-laki dari keturunan ayah yang berzina dengan ibunya menikahi anak perempuan dari hasil perzinaannya dengan sebab itu adalah ajanabinya karena tidak merupakan anak baginya, tidak mewarisi ( ahli waris ) dan tdak selainnya hukum-hukum nasab. Dan pula haram bagi ibunya yang berzina menikahi dengan anak lelaki dari hasil perzinaan karena ibu adalah orang melahirkan anak itu dan sebagai ahli waris bagi ibunya. Maka seorang perempuan haram menikahi anaknya dari hasil perzinaan.

Dalam kitab Al-Majmu Imam Syafii menyatakan apabila seorang lakilaki berzina dengan seorang perempuan lalu dapat seorang anak perempuan maka makruh menikahnya.

Seorang laki-laki yang melakukan zina dengan anak perempuan, cucu, saudara perempuan, dan keponakan perempuannya boleh mengawini mereka karena mereka tidak memiliki hubungan nasab syar'i dengannya, menurut Fiqh Syafi'i. Selain itu, zina tidak mengharamkan mushaharah, atau menjalin hubungan pernikahan, sehingga seseorang yang berzina dapat menikahi ibu dan anak wanita yang berzinanya.

Dilihat dari pernyataan di atas, anak yang menikah dengan ibunya secara haram menikah karena dia melahirkan dan bertanggung jawab sebagai ahli waris ibunya, dan anak perempuan yang menikah dengan bapaknya secara halal. Anak yang dilahirkan karena perzinaan disebut anak zina atau anak haram. Anak yang dilahirkan oleh perempuan yang tidak bersuami dan dianggap tidak sah menurut hukum disebut anak haram. Namun, menurut agama Islam, anak itu suci. Oleh karena itu, anak-anak yang dilahirkan dari zina harus diperlakukan secara manusiawi, dididik, dan diajarkan keterampilan yang berguna untuk membantu mereka hidup di masa depan.

D. Rencana skripsi dan argument nya

Rencana dalam penulisaan skripsi dengan judul "hukum menikahkan anak diluar nikah oleh ayah biologisnya" karena tingginya angka pernikahan yang disebabkan oleh kehamilan diluar nikah. Pada akhirnya banyak orang tua yang tidak mengerti hukum anak yang lahir dari pernikahaan diluar nikah tersebut. Jika anak yang dilahirkan itu perempuan maka tidak akan mendapatkan nasab ayahnya begitupun jika anak tersebut menikah maka tidak akan bisa menggunakan wali ayahnya. Asal usul anak merupakan dasar untuk menujukkan adanya hubungan kemahraman (nasab). Demikian yang diyakini dalam fiqh sunni. Karena para ulama sepakat bahawa anak zina, hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya. Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu : Menurut Imam Malik dan Syafii, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapanya, anak itu dinasabkan kepada bapanya. Jika anak itu di lahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena diduga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedang batas waktu hamil, paling kurang enam bulan. Menurut Imam Abu Hanifah anak zina tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapanya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu. Jadi menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada bapaknya. Maka bapaknya tidak boleh menikah dengan anak zina itu. Berbeda dengan pendapat Imam Syafii bahwa anak zina yang lahir sebelum enam bulan dari pernikahan ibu bapanya anak itu dinasab kepada ibunya saja. Fuqaha sependapat bahwa wanita yang diharamkan untuk dikawin dari segi nasab ada tujuh kesemua ada tersebut dalam al-quran, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, anak perempuan saudara perempuan, dan anak perempuan saudara laki-laki. kita dapat mengambil kesimpulan bahwa anak yang berasal dari hubungan diluar nikah tersebut tidak bisa di bangsakan kepada ayahnya. Jadi anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya saja sehingga hal ini berimplikasi kepada tidak bisanya lelaki yang dianggap sebagai ayahnya tersebut menjadi wali nikah baginya. Namun demikian, ketika anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya maka siapakah yang akan menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang lahir sebab hubungan di luar nikah tersebut. Dalam kondisi seperti ini maka yang akan menjadi wali bagi anak tersebut adalah sulthan atau wali hakim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun