Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Gerimis yang Menjelma Menjadi Hujan

24 Juni 2021   13:35 Diperbarui: 24 Juni 2021   17:05 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa ini?"

"Gerimis."

"Gerimis?"

"Ya."

"Untuk apa?"

Linar menatap pemuda di sampingnya. "Setiap kali gerimis turun, aku menampungnya setetes saja dalam cangkir ini karena aku ingin memberikan secangkir gerimis untukmu saat kita bertemu. Kau tahu berapa kali gerimis yang harus kulalui sebelum hari ini?"

"Linar..."

"Tolong, jangan ucapkan maaf saat ini."

Lingkar diam. Gadis itu benar, kata maaf telah kehilangan makna. Ia bersalah telah membuat Linar menunggu dan alasan apa pun hanya akan menambah luka yang jelas tampak di sorot mata gadis.

"Entah kau masih mengingatnya atau tidak, aku pernah mengirimkan sebuah foto. Lihatlah baik-baik, ini cangkir dalam foto itu."

Lingkar memutar kembali ingatannya. Sebuah surel dari Linar pernah mampir dengan lampiran foto sebuah cangkir. Ia takkan pernah melupakan kalimat-kalimat yang tertulis di foto itu.

Kau tahu? Gerimis di sini makin kerap saja. 

Setiap kali gerimis turun, kutitipkan doa untukmu di setiap tetesnya. 

Semoga kau selalu sehat dan berbahagia. 

Ia tak pernah membalas pesan itu.

"Aku yakin kau sudah mengingatnya."

Lingkar mengedipkan sepasang kelopak matanya, menghalau gerimis yang mendadak ingin berkunjung. Ia tak pernah melupakan pesan itu. Setiap detail foto, pun kata demi kata yang menyertainya. Jika sahabatnya tidak mencegah, nyaris saja ia memesan tiket pulang. Selama berminggu-minggu ia membaca surel itu dan berjuang untuk tidak membalasnya. Ia sungguh tersiksa dan hampir saja kalah melawan kata hatinya.

"Ada yang ingin kau katakan?" tanya Linar lirih.

Lingkar membuang pandang pada sepetak mawar kuning di seberang bangku taman yang mereka duduki. Jalan setapak di depan mereka agak lengang. Gerimis membuat sebagian pengunjung Queen Mary's Garden memilih berteduh di kafe. Sebenarnya, ia juga ingin berteduh sejenak, tapi ia sengaja membiarkan Linar menuntaskan ganjalan di hatinya. Gadis itu jauh-jauh datang dan membuatnya terkepung perasaan bersalah.

"Kita berkenalan di sini waktu itu. Kala itu mawar-mawar sedang bermekaran seperti hamparan permadani. Bulan Juni yang sungguh indah," gumam Linar.

"Kau benar," jawab Lingkar sambil menatap cangkir dalam genggaman Linar, "kita dipertemukan di bangku ini."

Linar tertawa pahit. "Kau sangat mahir mengingat." Suara gadis itu terdengar bergetar. "Lalu, mengapa kau tak pernah memberi alasan atas semua yang kau lakukan?"

"Karena aku tak memiliki alasan, Linar..."

"Kau sengaja melukaiku?"

"Tidak, tentu saja tidak."

"Lalu?"

Lingkar menarik napas panjang untuk meredakan sesak dalam dadanya. Kebersamaan mereka kembali melintas dalam benaknya. Hampir setiap akhir pekan mereka bergandengan tangan menyusuri jalan setapak, menyaksikan angsa yang bercengkerama di telaga, mawar-mawar yang sedang mekar, atau berperahu di danau. Kebersamaan itu berlalu begitu cepat. Linar harus kembali ke Tanah Air dan ia merasa sangat kehilangan. Sayangnya, tak ada yang mampu ia lakukan karena studinya. Ia hanya dapat melepas kepergian gadis itu dan terkurung dalam semesta kesedihan.

"Kau akan terus bersikap begini?" tanya Linar seraya beranjak dari bangku taman. "Sepertinya kedatanganku ke sini sia-sia."

"Tolong," Lingkar memegang lengan Linar, "jangan berpikir begitu."

"Kau mau aku berpikir seperti apa?" tanya Linar hampir berseru. "Hampir dua tahun aku menunggu kedatanganmu. Kau hanya menjawab pesan-pesanku seperlunya. Apakah kau tidak berpikir untuk memberiku penjelasan?" Sepasang mata Linar berkabut.

"Duduklah... kumohon."

"Tidak, aku harus pergi. Kehadiranku tidak diharapkan," kata Linar putus asa.

"Jangan pergi," pinta Lingkar sembari bangkit dan memegang kedua lengan Linar, "tenanglah."

Linar kembali duduk dengan terpaksa. "Baiklah, aku akan diam dan mendengar."

Lingkar menggenggam tangan Linar erat-erat. "Bukan hanya dirimu yang tersiksa, tapi aku juga. Aku sangat merindukanmu dan ingin memenuhi janjiku untuk mengunjungimu. Tapi kau tahu, aku harus segera menyelesaikan studiku, Linar."

Linar membisu.

"Terima kasih, karena kau datang."

 Hening.

"Linar..."

"Kau sudah selesai?"

"Linar..."

"Pernahkah kau benar-benar mencintaiku?"

"Aku memang mencintaimu."

"Saat melihat gerimis, apakah kau juga mengenangku?"

"Gerimis selalu mengingatkanku kepadamu."

Linar menunduk, menatap secangkir gerimis dalam genggamannya. "Tidak sia-sia aku mengumpulkan tetes-tetes gerimis ini untukmu. Terimalah ini," ucap Linar sambil menyodorkan cangkir berisi gerimis kepada Lingkar, "simpanlah baik-baik, agar kau selalu ingat bahwa seorang gadis bernama Linar pernah begitu tabah menanti kedatanganmu."

"Linar... apa maksudmu? Maaf, aku tak bisa menerimanya," tolak Lingkar tegas.

Linar tersenyum pahit dan mengusap pipinya yang mulai terasa beku. "Sudahlah, kalau kau tak bersedia. Aku takkan pernah menunggumu lagi. Aku menemuimu untuk mengatakan itu."

"Mengapa kau tiba-tiba berkata begitu? Kau marah?"

Linar menggeleng dan berdiri cepat. "Aku harus pergi sekarang. Malam ini aku akan kembali ke Tanah Air."

"Jangan pergi! seru Lingkar gusar. "Tunggu dulu, mengapa kau bersikap begini?"

"Aku juga tak memiliki alasan, sama sepertimu." Linar melambaikan tangan, lalu meninggalkan Lingkar. Pemuda itu memanggil-manggil namanya, tapi ia malah mempercepat langkah sambil membawa secangkir gerimis.

Saat menyusuri Prince Albert Road, gerimis turun semakin deras. Udara mulai terasa menusuk. Linar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya. Kemarin, saat mengunjungi Queen Mary's Garden seorang diri, ia melihat seorang pemuda sedang duduk bersama seorang gadis berambut cokelat di bangku taman tempat ia dan Lingkar dipertemukan. Senyum yang mekar di bibir keduanya mengisyaratkan cinta. 

Bagaimana mungkin sepasang kekasih yang sedang larut dalam kebahagiaan menyadari kehadirannya? Linar tertawa getir. Ia menatap langit sore dengan pilu. Secangkir gerimis menjelma menjadi hujan di pipinya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun