Ia tak pernah membalas pesan itu.
"Aku yakin kau sudah mengingatnya."
Lingkar mengedipkan sepasang kelopak matanya, menghalau gerimis yang mendadak ingin berkunjung. Ia tak pernah melupakan pesan itu. Setiap detail foto, pun kata demi kata yang menyertainya. Jika sahabatnya tidak mencegah, nyaris saja ia memesan tiket pulang. Selama berminggu-minggu ia membaca surel itu dan berjuang untuk tidak membalasnya. Ia sungguh tersiksa dan hampir saja kalah melawan kata hatinya.
"Ada yang ingin kau katakan?" tanya Linar lirih.
Lingkar membuang pandang pada sepetak mawar kuning di seberang bangku taman yang mereka duduki. Jalan setapak di depan mereka agak lengang. Gerimis membuat sebagian pengunjung Queen Mary's Garden memilih berteduh di kafe. Sebenarnya, ia juga ingin berteduh sejenak, tapi ia sengaja membiarkan Linar menuntaskan ganjalan di hatinya. Gadis itu jauh-jauh datang dan membuatnya terkepung perasaan bersalah.
"Kita berkenalan di sini waktu itu. Kala itu mawar-mawar sedang bermekaran seperti hamparan permadani. Bulan Juni yang sungguh indah," gumam Linar.
"Kau benar," jawab Lingkar sambil menatap cangkir dalam genggaman Linar, "kita dipertemukan di bangku ini."
Linar tertawa pahit. "Kau sangat mahir mengingat." Suara gadis itu terdengar bergetar. "Lalu, mengapa kau tak pernah memberi alasan atas semua yang kau lakukan?"
"Karena aku tak memiliki alasan, Linar..."
"Kau sengaja melukaiku?"
"Tidak, tentu saja tidak."