"Lalu?"
Lingkar menarik napas panjang untuk meredakan sesak dalam dadanya. Kebersamaan mereka kembali melintas dalam benaknya. Hampir setiap akhir pekan mereka bergandengan tangan menyusuri jalan setapak, menyaksikan angsa yang bercengkerama di telaga, mawar-mawar yang sedang mekar, atau berperahu di danau. Kebersamaan itu berlalu begitu cepat. Linar harus kembali ke Tanah Air dan ia merasa sangat kehilangan. Sayangnya, tak ada yang mampu ia lakukan karena studinya. Ia hanya dapat melepas kepergian gadis itu dan terkurung dalam semesta kesedihan.
"Kau akan terus bersikap begini?" tanya Linar seraya beranjak dari bangku taman. "Sepertinya kedatanganku ke sini sia-sia."
"Tolong," Lingkar memegang lengan Linar, "jangan berpikir begitu."
"Kau mau aku berpikir seperti apa?" tanya Linar hampir berseru. "Hampir dua tahun aku menunggu kedatanganmu. Kau hanya menjawab pesan-pesanku seperlunya. Apakah kau tidak berpikir untuk memberiku penjelasan?" Sepasang mata Linar berkabut.
"Duduklah... kumohon."
"Tidak, aku harus pergi. Kehadiranku tidak diharapkan," kata Linar putus asa.
"Jangan pergi," pinta Lingkar sembari bangkit dan memegang kedua lengan Linar, "tenanglah."
Linar kembali duduk dengan terpaksa. "Baiklah, aku akan diam dan mendengar."
Lingkar menggenggam tangan Linar erat-erat. "Bukan hanya dirimu yang tersiksa, tapi aku juga. Aku sangat merindukanmu dan ingin memenuhi janjiku untuk mengunjungimu. Tapi kau tahu, aku harus segera menyelesaikan studiku, Linar."
Linar membisu.