“Ya, sudah kalau begitu. Hati-hati ya, Non.”
Hati Cora tersentuh. Mbok Resmi selalu mencemaskannya. Perempuan paruh baya itu layaknya ibu kandungnya sendiri. Ia sangat menyayangi perempuan itu dan bersyukur, karena masih memiliki orang yang peduli dengannya di rumah ini. Tanpa kehadiran Mbok Resmi dan Pak Johan, mungkin ia takkan betah bertahan hingga saat ini.
Ketika tetes-tetes hujan mengaliri ujung-ujung payungnya, hati Cora terasa hangat. Riang. Ingatannya seolah kembali pada masa lalu. Semasa kanak-kanak, ia terbiasa menikmati hujan tanpa harus berteduh. Samar-samar ia bisa mengingat semuanya. Hujan. Pepohonan dan daun-daun yang basah. Tanah lembap. Hutan. Lalu, wajah orang-orang yang disayanginya…
“Kak, awas!”
Terlambat. Cora terlalu larut dan tak menyadari, sebelah kakinya menginjak lubang kecil di pinggir jalan. Ia kehilangan keseimbangan dan terjerembab. Payung terlepas dari genggamannya. Tubuhnya diguyur air hujan yang turun deras. Lalu, tiba-tiba hujan seakan berhenti. Ketika mendongak, sebuah payung besar warna-warni sedang menaunginya.
“Kak, mari kubantu berdiri.” Sebuah tangan terulur, ingin membantunya.
Suara itu yang tadi memperingatkannya. Cora melihat kepada pemilik wajah mungil yang sedang tersenyum padanya. Kepalanya mulai berdenyut. “Terima kasih,” ucapnya.
“Ayo.” Bocah perempuan itu menarik tangan Cora untuk berdiri.
“Kau baik sekali.”
“Kata Mama, kita harus tolong-menolong.”
“Mamamu baik, ya.”