Jika AKU Bukan DIA
Sebelumnya :
Satu (Secangkir Cappucino), Dua (Gelas Pecah), Tiga (Tangis Kemarau), Empat (Cemin Buram), Lima (Stiletto Merah), Enam (Blue 5 Cafe), Tujuh (Rahasia Brian), Delapan (Dalam Dilema), Sembilan (Prince Agler), Sepuluh (Pertemuan Kedua)
Pagi ini dimulai dengan hujan pertama yang mengakhiri keringnya kemarau. Akhir pekan yang membosankan. Cora menatap bulir-bulir hujan yang bergulir di kaca jendela kamarnya. Sepi. Adiknya yang jelita sedang pergi berlibur ke luar kota bersama keluarga Barman. Tak ada yang percaya padanya soal Brian. Papa dan mama masih mendukung sepenuhnya perjodohan itu.
Janne yang penasaran berulangkali bertanya padanya. Tapi ia tak ingin memberitahukan apa-apa. Percuma. Lagipula, ia tak ingin menyakiti perasaan adiknya itu. Cukuplah ia yang menyimpan semua itu di dalam hatinya. Ia tak ingin memperkeruh suasana lalu dituduh macam-macam. Lebih baik, ia mengawasi dan mengingatkan Brian sebisa mungkin agar tidak menyakiti hati adikknya. Cuma itu yang bisa ia lakukan untuk saat ini.
Ponselnya di atas meja bergetar. Pesan masuk di messenger. Prince Agler. Akhirnya, pemilik akun misterius itu menghubunginya lagi.
Hujan. Kau sedang apa?
Kening Cora berkerut. Hujan? Jangan-jangan mereka tinggal di kota yang sama. Tapi ia menepis dugaan itu. Bisa jadi, itu hanyalah kebetulan semata.
Di sini juga hujan. Cuma sedang bosan.
Kau bisa keluar dan menikmati tetes-tetes hujan.
Aku tak ingin jatuh sakit.
Gunakanlah payung.
Cora tertegun sejenak. Mengapa orang ini malah menyuruhnya menikmati hujan? Ia harus menanyakannya.
Kau menyukai hujan?
Ya.
Mengapa?
Hujan adalah kehidupan. Kehidupan akan punah tanpa kehadirannya.
Matahari juga begitu.
Benar, tapi hujan adalah harapan.
Harapan?
Ya, hujan menghadirkan harapan baru.
Cora terkesima. Harapan? Telah lama ia melupakan kata itu. Atau tepatnya, sudah lama ia tak memikirkannya. Hidupnya mengalir begitu saja. Tanpa arah, tanpa tujuan. Hanya bertahan. Lebih dari itu, ia sungguh tak mengharapkan apa-apa lagi. Ia tak bisa menahan dirinya ketika membalas pesan Prince Agler.
Harapan hanya milik sebagian orang.
Kau tak memilikinya?
Mungkin tidak lagi. Entah sejak kapan.
Keluarlah. Sepertinya kau benar-benar membutuhkan hujan.
Benarkah? Cora menimbang-nimbang dalam hati. Mungkin tak ada salahnya mencoba. Ia bisa berjalan kaki untuk membeli beberapa makanan ringan ke supermarket.
Baiklah. Akan kucoba.
Bagus.
Ketika Cora turun ke lantai bawah, ia tak menemukan siapa pun. Papa dan mama mungkin sedang menonton televisi di kamar mereka. Rumah besar itu terasa lengang. Saat Cora mengambil payung dari dapur, Mbok Resmi mencegahnya untuk pergi. Perempuan paruh baya itu menawarkan untuk memasakkan sesuatu ketika ia mengatakan ingin membeli makanan ringan.
“Nggak usah, Mbok. Kebetulan, aku juga bosan seharian berada di rumah.”
“Kalau begitu biar Mbok yang membelikan. Tulis saja apa-apa yang mau dibeli. Nanti Non sakit.”
“Nggak apa-apa, Mbok. Aku cuma keluar sebentar saja.”
“Ya, sudah kalau begitu. Hati-hati ya, Non.”
Hati Cora tersentuh. Mbok Resmi selalu mencemaskannya. Perempuan paruh baya itu layaknya ibu kandungnya sendiri. Ia sangat menyayangi perempuan itu dan bersyukur, karena masih memiliki orang yang peduli dengannya di rumah ini. Tanpa kehadiran Mbok Resmi dan Pak Johan, mungkin ia takkan betah bertahan hingga saat ini.
Ketika tetes-tetes hujan mengaliri ujung-ujung payungnya, hati Cora terasa hangat. Riang. Ingatannya seolah kembali pada masa lalu. Semasa kanak-kanak, ia terbiasa menikmati hujan tanpa harus berteduh. Samar-samar ia bisa mengingat semuanya. Hujan. Pepohonan dan daun-daun yang basah. Tanah lembap. Hutan. Lalu, wajah orang-orang yang disayanginya…
“Kak, awas!”
Terlambat. Cora terlalu larut dan tak menyadari, sebelah kakinya menginjak lubang kecil di pinggir jalan. Ia kehilangan keseimbangan dan terjerembab. Payung terlepas dari genggamannya. Tubuhnya diguyur air hujan yang turun deras. Lalu, tiba-tiba hujan seakan berhenti. Ketika mendongak, sebuah payung besar warna-warni sedang menaunginya.
“Kak, mari kubantu berdiri.” Sebuah tangan terulur, ingin membantunya.
Suara itu yang tadi memperingatkannya. Cora melihat kepada pemilik wajah mungil yang sedang tersenyum padanya. Kepalanya mulai berdenyut. “Terima kasih,” ucapnya.
“Ayo.” Bocah perempuan itu menarik tangan Cora untuk berdiri.
“Kau baik sekali.”
“Kata Mama, kita harus tolong-menolong.”
“Mamamu baik, ya.”
“Juga cantik.”
“Wah… kau sangat beruntung.”
“O ya, nama Kakak siapa?”
“Kakak? Umurku masih 7 tahun.”
Bocah perempuan yang memegang payung warna-warni nampak keheranan. “Umurku juga 7 tahun. Tapi... umur kita nggak mungkin sama,” bantah bocah itu ragu.
“Umurku memang segitu. Kalau nggak percaya, ayo kita ke rumahku.”
“Tapi, aku harus pulang.” Bocah perempuan yang memegang payung warna-warni membandingkan tinggi mereka berdua dengan tangan kanannya. “Di sekolahku, nggak ada anak-anak umur 7 tahun yang setinggi kakak.”
Cora memegang puncak kepalanya lalu meraba sekujur tubuhnya. Ia memekik kecil saat menyentuh dadanya sendiri. “Mengapa tubuhku jadi begini?” Suaranya bergetar.
“Jangan menangis,” bujuk teman barunya. “Rumahmu di mana? Ayo, kuantar pulang.”
“Pulang?”
“Ya, pulang.”
Tiba-tiba kepala Cora kembali berdenyut. Ia teringat niatnya untuk membeli beberapa makanan ringan. Cora melangkah menuju supermarket, meninggalkan bocah perempuan dengan payung warna-warninya. Beberapa langkah kemudian, ia seakan menyadari sesuatu dan menoleh ke belakang. Sebuah payung warna-warni bergerak menjauh, lalu menghilang di kelokan jalan.
***
bersambung...
Tepian DanauMu, 13 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H