Setiap kali aku berdiri di bibir jurang ketidakpercayaan, lelaki itu akan selalu merengkuhku dalam dekapannya. Ia akan menenangkanku, meyakinkan bahwa akulah yang terindah baginya. Terkadang sulit bagiku untuk memercayainya. Tapi entah mengapa, pada akhirnya aku akan takluk pada kata-katanya.
“Percayalah, jangan hiasi hatimu dengan prasangka,” ungkap lelaki itu selalu.
Biasanya, pada saat-saat seperti itu, ia akan mengajakku pergi ke tepi laut untuk memandangi ombak yang mendatangi hamparan pasir sebelum menjilati ujung-ujung jemari kaki kami. Kami hanya akan berdiri di tepian, karena lelaki itu sama sekali tak bisa berenang. Aku akan lebih banyak diam dan membiarkan keraguan mengombang-ambingkan hatiku yang bimbang. Bimbang karena menginginkan kasih sayangnya. Meskipun tahu, suatu hari kelak mungkin aku akan menuai sesal.
Dalam diamku, lelaki itu terus meyakinkanku tentang ketulusannya. Ia berjanji takkan pernah meninggalkanku. Tak peduli walau apa yang akan terjadi. Berulangkali demikian. Acapkali, aku merasa kata-katanya itu bukan ditujukan untukku. Mungkin lelaki itu sedang berusaha menyakinkan dirinya sendiri tentang keteguhan perasaannya. Itulah hal yang sempat terlintas dalam benakku. Namun, saat aku mengungkapkannya, lelaki itu malah menatapku dengan tatapan asing yang membuatku merasa bersalah. Maka, aku buru-buru mengenyahkan pikiranku itu sejauh mungkin.
Suatu ketika, aku mendapati lelaki itu sedang menelepon seorang perempuan. Sikapnya sungguh mesra. Hal ini terjadi untuk yang kesekiankalinya. Anehnya, ekpresinya biasa saja saat aku memergokinya. Parasku memerah diamuk cemburu. Namun, sedapat mungkin aku berjuang menahan letupannya.
“Siapa itu? Kekasihmu yang lain?” desisku geram.
“Tenanglah, bukan siapa-siapa. Hanya sahabatku.”
“Sahabat? Kepada semua sahabatmu kau bersikap begitu?”
“Memangnya kenapa?”
“Kenapa?” Mendadak aku kehilangan kata-kata. Pertanyaan lelaki itu membuatku merasa menjadi perempuan tolol.
“Kau terlalu larut dalam prasangka…” Lelaki itu menatapku prihatin. “Mari, kita pergi ke tepi laut, agar kau lebih tenang. Aroma laut yang segar akan membuat pikiranmu jernih kembali.”
“Mengapa kau selalu mengajakku ke sana?”
“Karena aku peduli padamu.”
Peduli? Tiba-tiba aku meragukan arti kata itu.
“Ayolah, kita pergi sekarang.”
Awalnya, aku hanya mematung. Lalu, kakiku ikut melangkah ketika lelaki itu menarik tanganku untuk pergi bersamanya.
***
Beberapa waktu kemudian, lelaki itu mulai jarang mengajakku ke laut. Ia masih menunjukkan perhatiannya dengan sesekali menelepon, mengirimkan pesan, atau mengajakku keluar bersama meski sudah tak sesering dulu. Ketika kutanyakan, lelaki itu mengatakan akan segera meminangku. Ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempersiapkan segalanya. Mendengar alasannya, mau tak mau hatiku luruh dalam kebahagiaan. Akhirnya, ia akan menjadi milikku seutuhnya.
Ketika anganku mulai dipenuhi mimpi-mimpi, sesuatu mulai berubah. Perlahan tapi pasti, jarak di antara kami kian melebar. Pertemuan semakin langka. Dalam kebimbangan, benakku mereka-reka sederet tanya. Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Haruskah aku melalui semua ini demi mewujudkan kebahagiaan bersamanya?
Pada suatu siang, aku menelepon lelaki itu dan mengajaknya bertemu. Setelah minggu-minggu panjang berlalu dan ia tak kunjung menghubungiku.
“Kita bertemu di tempat biasa. ”
Aku mengaduk secangkir tehku dengan lesu di sebuah kafe yang biasa menjadi tempat pertemuan kami. Seharusnya, lelaki itu yang menghubungiku lebih dulu. Ini adalah hari spesial untukku.
“Kamu tak bisa menunggu besok? Aku punya pekerjaan penting yang tak bisa ditunda.”
“Ini hari ulang tahunku. Aku menunggumu di sini.”
Terdengar suara mendesah panjang dari ujung sana. Lalu sayup-sayup terdengar suara seorang perempuan.
Aku menajamkan telinga. Berusaha mendengarkan suara yang hanya selintas. Gagal.
“Kau sedang bersama seseorang?”
“Siapa? Tidak. Hanya sendirian.”
”Aku mendengar suara perempuan.”
“Perempuan? Tidak. Kau salah dengar. Di sini tidak ada siapa-siapa.”
“Tidak, aku memang mendengarnya.”
“Hmmm… tunggulah di sana. Aku segera tiba.”
Jam-jam berlalu begitu lambat. Aku berusaha mengeja pelan-pelan dalam hati. Apa yang harus kuucapkan atau kulakukan nantinya. Kegelisahan, tidak─tepatnya kemarahan, mulai merasukiku manakala hari merambat gelap dan lelaki itu tak kunjung datang. Padahal, aku sudah memesan cangkir keempat. Aku mulai kehilangan kesabaran. Ketika aku mengambil tas dan hendak beranjak pergi, lelaki itu muncul dengan nafas terengah-engah.
“Maafkan aku… tiba-tiba ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
Aku mencermati wajah lelaki itu. Cemas? Gugup? Aku menebak-nebak mimik tak biasa di sana. Penampilannya lelaki itu tak serapi biasanya. Kemeja cokelatnya terlihat kusut. Pekerjaan penting apa yang ia maksudkan? Bukankah selama ini ia tinggal memerintahkan bawahannya untuk melakukan berbagai pekerjaan?
“Aku sudah menunggu berjam-jam lamanya di sini.” Walau berjuang menelan kemarahan, aku dapat mendengar suaraku bergetar. Selama bersama lelaki itu aku telah terbiasa melakukannya. Tapi, kali ini rasanya begitu sulit.
“Aku tahu.” Lelaki itu duduk dan menggenggam tanganku di atas meja.
“Kau sengaja melakukannya?”
“Tidak, tentu saja tidak. Maafkan aku…” Lelaki itu bangkit menghampiriku dan merangkulku tanpa menghiraukan tatapan orang-orang. “Selamat ulang tahun,” bisiknya di telingaku.
Kemarahanku lenyap. Mungkin aku terlalu larut dalam prasangka. Lalu… samar-samar aku mencium aroma bebungaan lembut dari tubuhnya.
“Mari kita ke pergi ke laut. Aku ingin merayakan ulang tahunku di sana,” ajakku.
“Tapi kita akan tiba terlalu larut.”
Aku tersenyum padanya. “Tak mengapa, aku sangat menginginkannya.”
“Baiklah, jika itu menyenangkanmu.”
***
Aku dan lelaki itu sudah berdiri di tepi laut. Angin yang berembus membuatku memejamkan mata untuk menikmatinya. Laut pekat terlihat memukau, jauh lebih menawan daripada sebelumnya. Malam yang indah untuk sebuah perayaan ulang tahun.
“Terima kasih karena sudah membawaku ke sini,” ucapku pada lelaki itu.
“Malam ini kau berbeda. Kau tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.”
“Mungkin karena ini hari ulang tahunku. Kau ada di sisiku dan kita sedang berdiri di tepi laut. Semuanya ini begitu memukau.”
“Kalau begitu, selamat menikmatinya,” senyum lelaki itu.
“Tapi… entah mengapa, aku sangat ingin mengajakmu berjalan menuju laut.”
“Kau pasti bercanda,” gelak lelaki itu. “Aku bisa tenggelam. Kau tahu itu.”
“Kita takkan jauh.”
Lelaki itu terlihat ragu. Namun karena aku terus membujuknya, akhirnya ia mengiyakan. Kami mulai berjalan menuju laut sambil terus bertatapan. Sedikit demi sedikit, air laut mulai menelan tubuh kami. Ketika air sudah berada sebatas leher, aku mengajak lelaki itu berhenti.
“Sudah cukup. Sampai di sini saja.”
“Bisakah kau jelaskan, mengapa kita harus melakukan ini?”
“Karena… aku ingin sekali melarungmu ke laut lepas,” bisikku sambil tersenyum.
Lelaki itu tertawa. “Sikapmu sungguh aneh. Tenanglah, jangan biarkan dirimu hanyut oleh prasangka.”
“Tidak, aku hanya ingin mengatakan, aku telah merelakanmu untuk melakukan apa saja yang kau inginkan.”
“Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan?” tanya lelaki itu heran.
Aku hanya diam. Lalu kubungkam pertanyaan itu dengan pelukan.
***
Keesokan harinya, sosok seorang lelaki ditemukan membujur kaku di tepi laut. Kondisi tubuhnya menggembung, menunjukkan bahwa mayat itu tenggelam lebih dulu sebelum dihempaskan ombak kembali ke daratan. Mayat lelaki itu mengenakan kemeja berwarna cokelat.
***
Tepian DanauMu, 6 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H