“Maafkan aku… tiba-tiba ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
Aku mencermati wajah lelaki itu. Cemas? Gugup? Aku menebak-nebak mimik tak biasa di sana. Penampilannya lelaki itu tak serapi biasanya. Kemeja cokelatnya terlihat kusut. Pekerjaan penting apa yang ia maksudkan? Bukankah selama ini ia tinggal memerintahkan bawahannya untuk melakukan berbagai pekerjaan?
“Aku sudah menunggu berjam-jam lamanya di sini.” Walau berjuang menelan kemarahan, aku dapat mendengar suaraku bergetar. Selama bersama lelaki itu aku telah terbiasa melakukannya. Tapi, kali ini rasanya begitu sulit.
“Aku tahu.” Lelaki itu duduk dan menggenggam tanganku di atas meja.
“Kau sengaja melakukannya?”
“Tidak, tentu saja tidak. Maafkan aku…” Lelaki itu bangkit menghampiriku dan merangkulku tanpa menghiraukan tatapan orang-orang. “Selamat ulang tahun,” bisiknya di telingaku.
Kemarahanku lenyap. Mungkin aku terlalu larut dalam prasangka. Lalu… samar-samar aku mencium aroma bebungaan lembut dari tubuhnya.
“Mari kita ke pergi ke laut. Aku ingin merayakan ulang tahunku di sana,” ajakku.
“Tapi kita akan tiba terlalu larut.”
Aku tersenyum padanya. “Tak mengapa, aku sangat menginginkannya.”
“Baiklah, jika itu menyenangkanmu.”