“Mengapa kau selalu mengajakku ke sana?”
“Karena aku peduli padamu.”
Peduli? Tiba-tiba aku meragukan arti kata itu.
“Ayolah, kita pergi sekarang.”
Awalnya, aku hanya mematung. Lalu, kakiku ikut melangkah ketika lelaki itu menarik tanganku untuk pergi bersamanya.
***
Beberapa waktu kemudian, lelaki itu mulai jarang mengajakku ke laut. Ia masih menunjukkan perhatiannya dengan sesekali menelepon, mengirimkan pesan, atau mengajakku keluar bersama meski sudah tak sesering dulu. Ketika kutanyakan, lelaki itu mengatakan akan segera meminangku. Ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempersiapkan segalanya. Mendengar alasannya, mau tak mau hatiku luruh dalam kebahagiaan. Akhirnya, ia akan menjadi milikku seutuhnya.
Ketika anganku mulai dipenuhi mimpi-mimpi, sesuatu mulai berubah. Perlahan tapi pasti, jarak di antara kami kian melebar. Pertemuan semakin langka. Dalam kebimbangan, benakku mereka-reka sederet tanya. Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Haruskah aku melalui semua ini demi mewujudkan kebahagiaan bersamanya?
Pada suatu siang, aku menelepon lelaki itu dan mengajaknya bertemu. Setelah minggu-minggu panjang berlalu dan ia tak kunjung menghubungiku.
“Kita bertemu di tempat biasa. ”
Aku mengaduk secangkir tehku dengan lesu di sebuah kafe yang biasa menjadi tempat pertemuan kami. Seharusnya, lelaki itu yang menghubungiku lebih dulu. Ini adalah hari spesial untukku.