Lega rasanya terlepas dari mereka, ada rasa ngeri, melebihi kengerianku melintasi medan curam dalam gulita, untung saja bogem mentah mereka tak segera meluncur ke mukaku. Kejadian demi kejadian yang ku alami dalam mendampingi Pak Hamid makin membakar semangat juangku. Aku merasa hidup ini lebih bermakna. Banyak pelajaran kehidupan kudapatkan bersama beliau.
Sesampai di rumah  Pak Hamid, tampak pintu terbuka. Rupanya Pak Ilham sedang menunggu kami. Beliau adalah Ustadz yang menangani kasus khusus, yakni memberi bimbingan kepada kelompok preman di pinggiran kota. Pak Ilham memberikan gambaran kepada kami bahwa kelompok preman itu tidak seseram yang kita bayangkan. Mereka memang memiliki perangai yang kasar, tampak liar, namun di balik itu ada kesadaran untuk berbuat baik.
Ustadz Ilham sudah satu bulan mendekati kelompok mereka. Berawal saat salah satu mereka menodongnya dan memaksa untuk menyerahkan semua uangnya. Beliau menyerahkan semua yang diminta oleh preman itu dengan ikhlas, hal itu membuat Sang Preman terheran-heran. Saat dia bertanya kepada Ustadz Ilham kenapa tidak melawan bahkan menyerahkan semua yang diminta, beliau menjawab bahwa semua itu hanya titipan Allah, dia tak memiliki apapun, bahkan nyawanya pun, bukan miliknya. Itulah sebabnya Ustad Ilham tidak merasa takut ketika ditodong dengan pisau.
Sikap Ustadz Ilham membuat  ketua preman itu gemetar. Dia merasa ada kekuatan dahsyat yang memancar dari tubuh ustadz. Dia bersimpuh dan memohon ampun. Dengan sangat bijak Ustadz Ilham membimbing  preman itu, yang ternyata bernama Khohan. Sejak saat itu Khohan diikuti teman-temannya meminta bimbingan untuk mempelajari agama, mulai dengan pencerahan aqidah, bimbingan shalat sampai pada kesadaran berinfa'.
Aku tertarik mendengar cerita Ustadz Ilham, bahkan aku langsung menerima saat beliau meminta aku untuk menggantikan jadwalnya. Besuk pagi aku akan mendapatkan pengalaman baru. Aku simpan alamat yang beliau berikan, sambil mempersiapkan mental. Jujur meski aku penasaran tapi rasa takut menghadapi mereka tak bisa ku pungkiri.
Pukul 08.00 aku sudah sampai di alamat yang kucari. Sebuah toko yang cukup besar dan lengkap. Sederet botol minuman keras terpampang, ada rasa kikuk memasuki wilayah seperti ini.
" Ada yang bisa saya bantu ?" Seorang lelaki setengah baya menyapaku.
" Oh, mohon maaf, saya mencari alamat ini." Ku sodorkan alamat yang tertulis di secarik kertas.
" Ooo.. pengganti Ustadz Ilham? Silahkan Ustadz, mereka sudah menunggu. Silahkan menyusuri lorong ini, tempatnya di lantai bawah. Langsung saja. Apa perlu saya antar?" Tanya dia dengan sopan.
" Oh, tidak usah Bapak, saya bisa sendiri."
Aku turuni tangga menuju lantai bawah. Â Lorong ini terasa pengap. Di kanan kiri terdapat tumpukan dagangan, dan diantaranya minuman keras yang menimbulkan bau menyengat. Di ujung lorong tampak beberapa lelaki sedang bersendau gurau. Tangan mereka memegang kartu, sementara minuman tersedia di hadapan mereka. Langkahku terhenti, ada rasa ragu untuk bisa berada di antara mereka. Mampukah aku? Tiba-tiba ada rasa ragu, rasa ragu menyergap melihat penampilan mereka. Aku segera berbalik. Belum sampai kakiku melangkah, ku dengar suara memanggil.