Mohon tunggu...
Fitri Hidayati
Fitri Hidayati Mohon Tunggu... Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pendar

13 Februari 2018   10:03 Diperbarui: 13 Februari 2018   10:59 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Baik Pak" jawab mereka serempak.

" Assalamualaikum " mereka menjabat dan mencium tangan Pak Hamid, kemudian menjabat tanganku.

" Waalaikumsalam." Jawab  mereka hampir bersamaan.

Aku meninggalkan rumah Pak Hamid, memboncengkannya dengan Motor Honda Astra warna merah. Hatiku tiba-tiba sangat sedih, bukan karena harus menaiki motor butut, tapi aku membayangkan anak-anak Pak Hamid yang masih kecil, namun harus sudah mandiri. Begitu juga Pak Hamid yang begitu iklas dan tabah mengurus dua buah hatinya, dan masih gigih berjuang berda'wah sampai ke pelosok-pelosok daerah. Semuanya dilakukan dengan iklas lillahi ta'ala, tanpa mengharap imbalan.

Medan yang kami lalui semakin menanjak. Jalan yang sempit berkelok-kelok, dengan tikungan tajam. Sebelah kanan tebing yang terjal sadangkan sebelah kiri jurang yang sangat curam. Sungguh pemandangan yang menciutkan nyali. Perjalanan seperti ini biasa beliau tempuh sendirian, dengan kondisi kendaraan yang sangat minim.

Pengalaman pertamaku menyertai perjalanan da'wah ke tempat terpencil ini benar-benar membuat aku sadar, betapa beratnya perjuangan para da'i di tempat ini. Namun tak sedikitpun mereka mengeluh, meskipun mereka hidup dalam kondisi pas-pasan.

Sesampai di lokasi, aku merasa sangat trenyuh. Mereka, masyarakat yang jauh dari kota dan jauh dari peradaban maju, ternyata mempunyai kehausan menimba ilmu. Mereka tampak antusias menunggu kedatangan Pak Hamid. Kehadiran kami disambut dengan hangat dan sangat ramah. Teh hangat dan beberapa potong pisang goreng dan ubi rebus sudah tersedia. Kami beramah tamah sebentar, Pak Hamid mengenalkan aku sebagai keponakannya dari Jawa kepada masyarakat. Kajian dan tanya-jawab berjalan dengan sangat seru sehingga dua jam berlalu tanpa terasa. Kami dipersilahkan makan malam usai acara. Dan kamipun segera berpamitan pulang.

Udara malam itu sangat dingin. Rupanya hujan akan turun. Pak Hamid menyampaikan agar aku mengendarai motor agak kencang, agar kami tidak terjebak hujan saat melintasi medan yang rawan. Aku tambah kecepatan namun fatal. Lampu motor kami padam. Padahal perjalanan baru akan dimulai, di depan sana akan banyak sekali tikungan tajam yang dikelilingi oleh tebing curam.  Kami terpaksa berhenti, menunggu kendaraan yang lewat karena jalan sama sekali tak terlihat. Minimal ada cahaya yang membantu kami untuk menerjangi hutan serta hujan yang sangat lebat ini. Ku kebut lagi sekuat tenaga motor ini, agar kami tak tertinggal cahaya yang ada. Namun kendaraan lain lebih cepat dibanding dengan kami, kami kembali berhenti beberapa saat untuk menunggu cahaya. Tiba-tiba dari jauh samar-samar ada sinar, makin mendekat, aku segera menghidupkan mesin dan mulai merayap, kembali menapaki jalan. Tiba-tiba Pak Hamid meminta untuk berteduh terlebih dahulu.

" Kita istirahat dulu, perjalanan masih jauh, masih separo perjalanan Nak!"

Aku langsung menepi dan mengarahkan ke sebuah pos ronda di pinggir jalan.

" Kita sudah terlanjur basah Pak, apakah tidak sebaiknya kita lanjutkan perjalanan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun