Mohon tunggu...
Fithrotul Fikriyah
Fithrotul Fikriyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya memasak, tapi saya ingin menjadi penulis biar mendapat ilmu, kenalan, wawasan, dan menambah uang saku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Regret

28 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 27 Desember 2024   20:22 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

REGRET

Mentari telah menenggelamkan dirinya, di ganti oleh bulan yang bersinar indah. Namun cahaya bulan saja kurang untuk menerangibumi, membuat lampu-lampu jalan ikut serta membantu pencahayaan bagi manusia.

Gadis itu menatap nanar pemandangan di depannya pikirannya berkecemuk, di tangannya terdapat selembaran kertas yang baru saja membuat dunianya seakan hancur berkali-kali, dia melihat kearah selembaran kertas lalu membacanya dengan serius, berharap bahwa semua yang di bacanya tadi salah, namun sudah berkali-kali membacanya tetap saja percuma, semua sama. Membuat pria itu kembali menangis.

“Mama, Papa.......Melis kangen”

*****

“Lis, lo beneran?” Tanya seorang gadis kepada melis, dia mengangkat kertas bertuliskan (Positif Kangker Darah atau Leokimia stadium dua) yang di bawa melis tadi.

Melis mengangguk.. enggan menjawab, namun pandangan gadis itu kosong, mencoba untuk menerawang masa depannya.

“Kapan jadwal kemoterapimu?” tanya fithro dengan pandangan yang sangat kasian ke arah sahabatnya itu, masih kurang pedih apa hidupnya sampai-sampai dia diberikan cobaan penyakit mematikan seperti itu.

“Besok” Jawab melis.

“Lis, lo gak mau ngasih tahu bapakmu?” tanya fithro hati-hati takut menyinggung melis.

Melis menggeleng, dia tak ingin merepotkan orang tuanya, biarkanlah mereka pulang ke indonesia dengan sendirinya.. hal itu membuatnya rindu akan orang tua.

Fithro mencoba memahami.. dia tahu semua tentang melis, karena fithro dan melis sudah berteman dari kecil sampai saat ini. 

Namun, orang tua melis izin untuk kerja ke luar negeri untuk menambah penghasilan dan berjanji untuk pulang secepatnya, tapi semua janji itu hanyalah tipuan semata karena pada nyatanya sampai sekarang kedua orang tuanya belum pernah sekalipun pulang ke Indonesia untuk memenuhi janjinya itu. Mereka hanya mengirim uang saku ke melis setiap bulannya tanpa pernah telat sedikitpun. Padahal bukan uang saja yang melis butuhkan, melainkan kasih sayang dari orang tuanya.  

“Besok temani aku ya?” pinta melis, dan tak ada angin maupun debu tiba-tiba mata gadis itu kembali memerah menahan tangis, jujur dia sudah lelah dengan hidupnya.

Fithro hanya menganggukkan kepalanya dan merentangkan kedua tangannya untuk memeluk melis dengan hangat.

Kini gadis itu terbaring lemas di atas brankar rumah sakit, kemoterapi yang baru saja dia jalani ternyata berdampak besar pada dirinya.

“Fithro, kira-kira kedepannya bakal gimana ya?” tanya melis, gadis itu menatap langit-langit rumah sakit, sambil sesekali memejamkan mata dengan menahan rasa sakit yang terasa menggerogoti isi kepalanya.

“Everything gonna be okey, Lis.. asal kamu rajin kemoterapi, semua akan baik-baik saja kok” Jawab fithro menenangkan.

Melis menghela nafas keras, mencoba bersabar dengan apa yang sudah ditakdirkan pada dirinya, walaupun kepalanya masih merasakan sakit yang luar biasa.

“kamu bawa bukuku kan?”

“iya ini, kamu mau bawa sendiri,?” Melis mengangguk dan menerima buku yang di berikan fithro.

*****

“Kamu beneran mau ikut?” tanya fithro.

Kedua gadis itu kini berada di UKS, pastinya dengan melis yang sedang terkulai lemas di atas ranjang UKS.

Melis mengangguk, dia bertekad untuk mengikuti lomba tahfidz nasional yang akan diselengarakan bulan depan, dia mikir mungkin dengan ini dia bisa membuktikan kepada orang tuanya bahwa dia adalah anak yang dapat membanggakan kedua orang tuanya.

Tatapan harapan yang di pancarkan Melis pada Fithro supaya mengizinkannya, tapi percuma meskipun dilarang gadis dihadapannya akan tetap mengikuti lomba itu, jadi cukup untuk mengalah dan menuruti kemauannya tersebut.

“Hpku mana?” tanya Melis yang hanya di balas helaan nafas oleh fithro, dengan bergumam dihati (bisakah gadis ini memikirkan kesehatannya terlebih dahulu).

Melis Segera mengetikkan sesuatu di Hp miliknya.

Melis : Buk, bulan depan melis mau lomba tahfidz nasional, do’akan melis ya, buk.

Selang beberapa menit Hp itu bergetar, dengan layar menunjukan buble chat balasan dari ibuknya.

Ibuk : Wah, semangat ya nak, ibuk dan bapak selalu do’ain kamu dari sini kok.

Melis tersenyum bahagia, padahal dia hanya bisa berinteraksi dengan orang tuanya lewat benda pipih yang dia genggam.

Melis : Buk, ibuk dan bapak kapan jadi pulang,?

Hilang sudah wajah Bahagia yang menghiasi wajah gadis itu, selalu saja seperti ini.. jika Melis menanyakan perihal kapan mereka pulang. Ibu Melis tidak akan langsung menjawab, padahal sedang online.

“Kenapa?” tanya fithro, mengetahui ada perubahan di wajah Melis.

Melis mengelengkan kepalanya dan metakkan hpnya asal di atas meja. Gadis itu tak suka di kasihani, biarlah dia sendiri yang menahan rasa sakit yang dia alami.

*****

Satu bulan berlalu dengan cepat, sehingga tak terasa bahwa lomba tahfidz nasional yang diikuti Melis kini berada pada tahap yang paling akhir, yaitu pengumuman. Gadis itu menunggu pengumuman dengan wajah tegang, berharap apa yang dia perjuangkan ini tidak berujung sia-sia.

Hingga akhirnya wajah tegang itu berubah menjadi tangis haru, karena nama gadis itu disebut sebagai pemenag urutan kedua pada lomba tahfidzh nasional tahun ini. Namun belum sempat gadis itu maju untuk menerima penghargaan, tiba-tiba kepalanya merasa berat, bau anyir pun memenuhi indra penciummannya, pandangannya pun mulai kabur, hingga akhirnya kaki gadis itu seolah tak kuat menopang tubuhnya, lalu dia terjatuh hingga benar-benar kehilangan kesadaran.

*****

Mata gadis itu mengerjab, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menusuk retinannya, telinga gadis itu mendengung, dia mencoba mendudukkan dirinya, namun percuma kepalanya terasa sangat berat, bahkan anggota tubunya sangat sulit untuk di ajak kompromi.

“sejak kapan kamu mulai berhenti kemo?” pertanyaan itu membuat Melis menatap sekeliling, ternyata Fithro duduk tepat disampingnya .

Melis meringis merasakan sakit di kepalanya yang kian menyiksa. Bertahan dengan penyakit leokimia stadium akhir bukanlah hal yang mudah untuk dilaluinya, bahkan sekarang tubuh gadis itu sudah banyak bintik-bintik merah.

“sejak aku fokus lomba ini Fith”

“maaf” lanjutnya

Melis tahu pasti sahabatnya akan kecewa terhadapnya, di tambah dialah yang selalu mengurus Melis mulai dari makan sampai jadwal kemoterapinya.

Fithro menghembuskan nafas gusar, gadis itu merasa gagal menjadi sahabat yang baik, dia menatap Melis lekat, perasaannya sekarang antara campur aduk ..marah, sedih, kecewa, semua bercampur jadi satu.

“Aku sudah menghubungi orangtuamu, besok mereka akan pulang dan datang menemuimu” tutup Fithro sambil keluar dari ruang inap Melis, dia butuh menenangkan dirinya sekarang.

Melis terdiam, benarkah orang tuanya akan datang?? di saat gadis itu dalam kondisi kacau seperti ini, namun dia menetupi raut keterkejutan itu dengan raut datarnya, berharap semua akan menjadi lebih baik dengan sendirinya.

*****

Benar yang di ucapkan Fithro, saat terbangun dari tidurnya gadis itu melihat kedua orang tuanya tengah tertidur di sofa dan dilantai beralas karpet yang entah didapat dari mana, namun sebisa mungkin gadis itu menjaga raut wajah datarnya, walaupun hatinya senang bukan kepalang. Kini gadis itu mencoba mengambil air yang ada di meja samping kasurnya, namun belum sempat gadis itu meminumnya gelas itu tiba-tiba jatuh, membuat kedua orang tuanya reflek terbangun karna mendengar suara tersebut.

“Melis, kamu gak papa?” tanya ibunya dengan raut khawatirnya.

Melis menggeleng, namun tak urung tersenyum, sudah lama tak di berikan perhatian manis seperti ini dari orang tuanya.

“kenapa kamu gak bilang sama kami kalo kamu sakit?” kini bukan ibunya yang berbicara, melainkan bapaknya.

“Melis gak mau nyusahin kalian, Melis gak mau kalian pulang ke indonesia karna kasihan sama Melis...” jawab gadis itu dengan mata yang memanas, namun sebisa mungkin dia menahan untuk tidak menangis.

“Kamu gak pernah menyusahkan kita kok nak” sahut ibunya dengan menitihkan air matanya dengan memeluk tubuh ringkih putri semata wayangnya itu.

Pertahanan Melis roboh, air matanya terjatuh dengan sendirinya dan tersenyum getir. Ternyata seperti ini rasanya dipeluk oleh ibu.

“Melis gak papa buk, kalian pulang kesini, ninggalin pekerjaan kalian aja udah sem-“ ucapan Melis terpotong, kepalanya mendadak sangat tidak bisa di ajak kompromi, dadanya mulai sesak, berkali-kali dia mencoba mengambil nafas dalam-dalam seolah tak bisa menghirup nafas lagi esok, pandangan gadis itu mulai buram, entah karena genangan air matanya atau yang lain.

“Buk, Melis sayang ibuk ba-“ belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya..

Sedangkan di sisi lain, bapaknya dengan cepat langsung memanggil dokter. Sedangkan ibunya terus memegang tangan Melis, dengan melafalkan do’a, berharap Melis baik-baik saja.

Seusai kesadarannya hilang, dokter yang baru saja datang segera mengambil alih Melis dan menyuruh keduanya menunggu hasil dari luar ruangan.

*****

Melis menggeleng, namun tak urung tersenyum, sudah lama dia tak di berikan perhatian manis seperti ini dari orang tuanya.

Kini keduanya tertunduk di depan ruang inap anaknya, pandangan mereka sayu, seluruh emosi melebur di dada mereka, mereka marah karna mereka tak bisa menjadi orang tua yang baik bagi anak semata wayangnya, mereka kecewa karena anak semata wayangnya tak mau menceritakan apa yang terjadi padanya, mereka sedih karena semua ini terjadi akibat kesalahan mereka.

“keluarga Melis Erlangga..” ucap sang dokter

“BAGAIMANA KEADAAN ANAK SAYA, DOKKK?” teriak sang ibu, dia tak peduli jika kini menjadi pusat perhatian.

“Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi sepertinya tuhan sudah sangat merindukannya”.

Hancur sudah pertahanan mereka, air mata itu tidak berhenti menetes, ibunya memeluk tubuh ringkih putrinya yang dingin. Sedangkan bapaknya, tidak kuat melihat wajah anak semata wayangnya itu, dan tetap memilih menunggu diluar kamar.

Nyatanya di balik kesedihan mereka ada seorang gadis yang benar-benar hancur, gadis yang selalu menemani sahabatnya melewati masa sulinya, gadis yang selalu menjaga sahabatnya, gadis yang selalu siap dijadikan sandaran oleh orang terdekatnya. Dia hancur, semua sudah berakhir. 

Namun dia tak bisa menangis terlalu lama, dia mengingat kata terkahir yang di ucapkan sahabtnya saat terakhir pertemuan mereka. 

Setelahnya gadis itu tersenyum dan bergumam “pasti sekarang Melis sudah bahagia disana sudah tak merasakan sakit lagi”

“Thanks for everything, lis.” Ucap Fithroh dengan tangis haru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun