Hilang sudah wajah Bahagia yang menghiasi wajah gadis itu, selalu saja seperti ini.. jika Melis menanyakan perihal kapan mereka pulang. Ibu Melis tidak akan langsung menjawab, padahal sedang online.
“Kenapa?” tanya fithro, mengetahui ada perubahan di wajah Melis.
Melis mengelengkan kepalanya dan metakkan hpnya asal di atas meja. Gadis itu tak suka di kasihani, biarlah dia sendiri yang menahan rasa sakit yang dia alami.
*****
Satu bulan berlalu dengan cepat, sehingga tak terasa bahwa lomba tahfidz nasional yang diikuti Melis kini berada pada tahap yang paling akhir, yaitu pengumuman. Gadis itu menunggu pengumuman dengan wajah tegang, berharap apa yang dia perjuangkan ini tidak berujung sia-sia.
Hingga akhirnya wajah tegang itu berubah menjadi tangis haru, karena nama gadis itu disebut sebagai pemenag urutan kedua pada lomba tahfidzh nasional tahun ini. Namun belum sempat gadis itu maju untuk menerima penghargaan, tiba-tiba kepalanya merasa berat, bau anyir pun memenuhi indra penciummannya, pandangannya pun mulai kabur, hingga akhirnya kaki gadis itu seolah tak kuat menopang tubuhnya, lalu dia terjatuh hingga benar-benar kehilangan kesadaran.
*****
Mata gadis itu mengerjab, mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang menusuk retinannya, telinga gadis itu mendengung, dia mencoba mendudukkan dirinya, namun percuma kepalanya terasa sangat berat, bahkan anggota tubunya sangat sulit untuk di ajak kompromi.
“sejak kapan kamu mulai berhenti kemo?” pertanyaan itu membuat Melis menatap sekeliling, ternyata Fithro duduk tepat disampingnya .
Melis meringis merasakan sakit di kepalanya yang kian menyiksa. Bertahan dengan penyakit leokimia stadium akhir bukanlah hal yang mudah untuk dilaluinya, bahkan sekarang tubuh gadis itu sudah banyak bintik-bintik merah.
“sejak aku fokus lomba ini Fith”