Mohon tunggu...
FithAndriyani
FithAndriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Read and Write

Write your own history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pernah Patah

16 Juni 2021   19:56 Diperbarui: 25 Juni 2021   14:34 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Laki-laki bisu.

Begitu orang menyebut laki-laki dengan rambut acak-acakan yang biasa ditemui sore hari di tepi pantai. Beberapa orang mengira laki-laki itu gila. Tetapi pakaiannya termasuk rapi dan bersih. Dia datang tepat pukul empat sore. Tidak pernah terlewat.

Berdasarkan berita yang beredar di kalangan masyarakat sekitar, rumahnya berada tak jauh dari pantai. Paman penjaga pantai menambahkan, rumah besar bercat putih di belokan--sebelum menuju pantai-- adalah miliknya.

Jadi, dia bukan orang gila. Dia memiliki rumah. Dia tidak lupa jalan. Begitu yang selalu kuyakini.

Tetapi, Haikal meragukannya. Asumsinya, bisa saja hanya jalan menuju rumah dan pantai yang tersisa di ingatannya. Sekalipun terdengar sedikit masuk akal, pandanganku tentang laki-laki itu tidak berubah.

Haikal bersiap mengambil dokumentasi. Seharusnya atensiku terpusat pada guguran daun di atas pasir, tetapi ujung mataku justru melirik ke arah laki-laki bisu berada. Sejak awal kedatangannya, dia hanya duduk termangu.

Pertama kali melihatnya termenung seperti batu selama berjam-jam, aku dibuat heran. Lebih tepatnya penasaran. Apa yang dipikirkannya sedalam itu? Apa yang berserak di dalam tatap kosongnya?

Namun, akhir-akhir ini aku merasa sedikit mengerti yang dilakukannya. Bagaimana pikiran justru ramai saat bibir terkatup. Tenggelam di dalamnya tak dapat lagi dihindari sebagaimana yang dilakukan selama ini.

"Na," panggil Devi lembut. "Ayo pulang. Sudah petang."

Ketika tenggelam dalam pikir, waktu seolah tergesa berjalan. Berbeda dengan menunggu sebuah kedatangan.

"Iya."

Melihatku menjawab lesu, Devi melempar tanya khawatir. "Kamu nggak papa?"

Kepalaku mengangguk. "Enggak papa."

Lalu kami saling melempar senyum tipis. Tanpa perlu dijelaskan, hal-hal yang tersirat sudah sampai pada pemahaman.

"Permisi."

Tubuhku mematung sesaat. Begitu pun dengan Devi. Melempar pandang, memastikan memang salah satu di antara kamilah yang dimaksud pemilik suara berat di belakang. Terdengar gesekan sandal di atas pasir mendekat. Sehingga kami kompak membalikkan badan.

Melihat laki-laki bisu orangnya, kami terperangah. Laki-laki itu baru saja mengucapkan sebuah kata. Dugaanku benar. Laki-laki itu tidak bisu. Tanpa sadar sudut bibirku tertarik. Sedangkan Devi masih berusaha mencerna apa yang terjadi.

"Ada apa?"

Dia menelan ludah. Matanya mengerjap-ngerjap dua kali lebih cepat. Tampaknya dia kebingungan. Sebelum tanya kembali kulempar, diulurkannya kalung berbandul kelopak bunga tanpa inti yang sangat kukenali.

"Aku memang ingin membuangnya," tukasku dingin.

"Maaf."  

"Tidak apa-apa."

Laki-laki itu menatapku selama beberapa saat, sebelum kembali memasukkan kalung ke saku jaket hitamnya.

"Mengapa kau menyimpannya?" heranku. "Benda itu seharusnya dibuang." Bersama segala kenangan pemberinya.

Dia menyunggingkan senyum tipis yang bahkan nyaris tak terlihat. "Anggap saja demikian."

Aku tidak mengerti dengan apa yang dilakukannya saat ini. Dan tidak berniat mempermasalahkannya. Sebelum langit benar-benar gelap, aku dan Devi sudah harus sampai ke basecamp.

"Terserah."  

Sampai empat hari berselang, kejadian tersebut tak pernah lepas dari kepala. Setiap kali aku bertanya pada Devi akan tingkahku kala itu, gadis itu hanya mengedikkan bahu.

"Tanyakan pada dirimu sendiri." 

Hanya itu yang diucapkannya pagi tadi. Ibu kepala desa sudah terburu memberiku setumpuk data balita yang akan diimunisasi sebelum kutanyai Devi untuk terakhir kali.

Pada akhirnya, kuberanikan diri mendekati persemayamannya usai membersihkan pantai. Sepertinya kedatanganku mengejutkannya, sehingga dia sontak berdiri dengan tampang andalannya. 

Apa hanya ekspresi itu yang dimilikinya?

"Aku hanya ingin meminta maaf."

Dia memberi anggukan kecil. "Aku juga minta maaf."

Usaha Devi untuk mengalihkan perhatian teman-temanku sepertinya gagal. Mereka bersorak menggodaku dengan suara menggelegar. Untungnya laki-laki di hadapanku tidak terlihat risih. Hanya melirik sekali, lalu tak acuh kembali menatap apa pun, selain mataku.

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Iya."

"Mengapa kau melakukannya?"

Bibirnya berkedut samar. Seolah menunggu pertanyaan itu terlontar.

"Benda ini," kali ini dia mengeluarkannya dari saku celana. "Kamu meninggalkannya. Tidak membuangnya."

Merelakan tidak pernah mudah dijalankan. Selugas apapun kalimatnya dinyatakan. Terlepas dari banyaknya kenangan, baik yang layak dan tidak untuk disimpan. Tak dapat dipungkiri, sakit selalu lekat pada perpisahan.

Bibirku sempurna mengatup. Dia benar. Aku tidak benar-benar ingin membuangnya. Justru aku sempat mencarinya. Kukira kalung pemberian Saka pada ulang tahunku tahun lalu itu sudah hilang terkubur pasir. Aku baru berhenti mencari lantaran Devi memintaku untuk menyudahi. Berhenti mengenang luka seakan aku bisa hidup bersamanya.

"Aku akan mengembalikan, jika kau masih ingin menyimpannya."

Bimbang. Aku memang tidak ingin lagi menyimpan apa pun yang mengingatkanku pada Saka. Tetapi aku tahu betul, bagaimana perjuangan si pengecut itu demi mendapatkannya. 

Hampir dua bulan dia hanya makan nasi dengan garam. Sampai tidak masuk kuliah selama dua minggu. Saka pernah mencintaiku sedalam itu. Dan aku hanya ingin mengenang bagian tersebut.

"Atau kau ingin aku menyimpannya?" tawarnya lagi.

"Menurutmu, apa yang sebaiknya kulakukan?" Katakanlah aku putus asa. Bagaimana bisa aku menanyakan hal ini pada orang yang tidak kukenal?

Dia menggeleng. "Aku tidak merasa layak untuk memberi saran."

"Tak apa. Apa pun itu, aku ingin mendengarkan."

Dia memandangku ragu, tetapi kemudian mengangkat suara.

"Aku melewatkan banyak kesempatan untuk tumbuh menjadi lebih baik. Demi merawat kenangan bersamanya dengan baik." Tak ada sedikit pun penyesalan dalam suaranya. Justru kelegaan berpendar pada manik kelamnya.

"Semua itu baru kusadari saat menemukan kalungmu."Pandanganku tertuju pada bandul bunga yang terayun pelan. Pada warna kuning kelopaknya. Serta cahaya yang memantul darinya. Aku memang membenci Saka. Tetapi aku tidak pernah bisa membenci pemberiannya yang satu ini. Tidak sekadar bagaimana ia didapatkan, melainkan bagaimana makna yang ia berikan.

"Aku tidak akan membuangnya." Keputusanku membuat netranya berhenti menghindar, terjatuh tepat pada tatapku. "Aku titipkan padamu saja. Yang pandai merawat kenangan."

Untuk pertama kalinya dia tersenyum sedikit lebih lebar. Hingga deretan putih giginya terlihat di sela bibir. Jika saja dia konsisten tersenyum begini, gadis-gadis desa akan antre memenuhi pantai demi berkenalan.

Berbicara tentang berkenalan, aku baru tersadar kami melewatkannya. Setelah berbicara mendalam tentang perasaan.

"Namaku Ilana."

Suhu hangat menjalar begitu tangannya menjabat tanganku."Orang-orang sering memanggilku laki-laki bisu penjaga pantai." Gelakku terlepas. Ternyata dia mengetahui julukannya. "Namaku Bara."

Teman-teman berteriak memanggilku. Hilman sudah menuntaskan bacaan surat Al-Mulk. Sayang sekali aku harus segera pulang.

"Senang berkenalan denganmu."

"Senang juga berkenalan denganmu."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun