Hampir dua bulan dia hanya makan nasi dengan garam. Sampai tidak masuk kuliah selama dua minggu. Saka pernah mencintaiku sedalam itu. Dan aku hanya ingin mengenang bagian tersebut.
"Atau kau ingin aku menyimpannya?" tawarnya lagi.
"Menurutmu, apa yang sebaiknya kulakukan?" Katakanlah aku putus asa. Bagaimana bisa aku menanyakan hal ini pada orang yang tidak kukenal?
Dia menggeleng. "Aku tidak merasa layak untuk memberi saran."
"Tak apa. Apa pun itu, aku ingin mendengarkan."
Dia memandangku ragu, tetapi kemudian mengangkat suara.
"Aku melewatkan banyak kesempatan untuk tumbuh menjadi lebih baik. Demi merawat kenangan bersamanya dengan baik." Tak ada sedikit pun penyesalan dalam suaranya. Justru kelegaan berpendar pada manik kelamnya.
"Semua itu baru kusadari saat menemukan kalungmu."Pandanganku tertuju pada bandul bunga yang terayun pelan. Pada warna kuning kelopaknya. Serta cahaya yang memantul darinya. Aku memang membenci Saka. Tetapi aku tidak pernah bisa membenci pemberiannya yang satu ini. Tidak sekadar bagaimana ia didapatkan, melainkan bagaimana makna yang ia berikan.
"Aku tidak akan membuangnya." Keputusanku membuat netranya berhenti menghindar, terjatuh tepat pada tatapku. "Aku titipkan padamu saja. Yang pandai merawat kenangan."
Untuk pertama kalinya dia tersenyum sedikit lebih lebar. Hingga deretan putih giginya terlihat di sela bibir. Jika saja dia konsisten tersenyum begini, gadis-gadis desa akan antre memenuhi pantai demi berkenalan.
Berbicara tentang berkenalan, aku baru tersadar kami melewatkannya. Setelah berbicara mendalam tentang perasaan.