Dia memberi anggukan kecil. "Aku juga minta maaf."
Usaha Devi untuk mengalihkan perhatian teman-temanku sepertinya gagal. Mereka bersorak menggodaku dengan suara menggelegar. Untungnya laki-laki di hadapanku tidak terlihat risih. Hanya melirik sekali, lalu tak acuh kembali menatap apa pun, selain mataku.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Iya."
"Mengapa kau melakukannya?"
Bibirnya berkedut samar. Seolah menunggu pertanyaan itu terlontar.
"Benda ini," kali ini dia mengeluarkannya dari saku celana. "Kamu meninggalkannya. Tidak membuangnya."
Merelakan tidak pernah mudah dijalankan. Selugas apapun kalimatnya dinyatakan. Terlepas dari banyaknya kenangan, baik yang layak dan tidak untuk disimpan. Tak dapat dipungkiri, sakit selalu lekat pada perpisahan.
Bibirku sempurna mengatup. Dia benar. Aku tidak benar-benar ingin membuangnya. Justru aku sempat mencarinya. Kukira kalung pemberian Saka pada ulang tahunku tahun lalu itu sudah hilang terkubur pasir. Aku baru berhenti mencari lantaran Devi memintaku untuk menyudahi. Berhenti mengenang luka seakan aku bisa hidup bersamanya.
"Aku akan mengembalikan, jika kau masih ingin menyimpannya."
Bimbang. Aku memang tidak ingin lagi menyimpan apa pun yang mengingatkanku pada Saka. Tetapi aku tahu betul, bagaimana perjuangan si pengecut itu demi mendapatkannya.Â