Mohon tunggu...
FithAndriyani
FithAndriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Read and Write

Write your own history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berbagi Tidak untuk Urusan Hati

25 September 2017   11:55 Diperbarui: 24 September 2018   20:04 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terkadang manusia menjadi sangat plin-plan.

Di hari-hari sebelumnya, kata kasih dan pandangan penuh cinta terlontar begitu saja mengingat namanya. Duduk, minum, makan, bahkan ketika melihat orang yang tak sengaja berpapasan di jalan seolah mengingatkan akan wajahnya, senyumnya. Ketika bersama, kungkungan tangan hangatnya mengisi celah jari, seakan memang begitulah selayaknya diciptakan celah di antara jemari manusia, untuk saling bertautan.

Di lain hari, bertingkah seolah tidak saling mengenal. Bahkan menganggap keberadaannya tidak berada di sekitar. Seperti saat ini. 

Aku sibuk dengan dunia di mana aku mencoba memisahkan diri, di mana dia tidak akan bisa memasukinya, menggangguku. Tanganku yang sedikit gemetar kumasukkan ke dalam saku hoodie, memainkan koin-koin yang bergumul di sana. Kucoba untuk memejamkan mata, berusaha hanyut menikmati lagu yang sengaja kusetel dengan volume melewati peringatan ponselku. 

Napas berat lolos dari mulutku ketika kepura-puraanku membuatku merasa bodoh. Suara percakapannya dengan teman di samping kirinya nyatanya lebih merasuki gendang telingaku daripada lagu Korea dengan genre dance yang berisik dari headset yang menyumpal kedua telingaku. Sepertinya aku harus menggumamkan lirik lagu ini yang baru kuhapal tadi pagi.

"We got that power, power

I eumageul tonghae-e

Gachi hanmoksoriro neo-"

"Ra, bus-nya nyampe, ntar-" suara yang sangat mengganggu itu menginterupsi acara menyanyiku karena bus yang kami tunggu sudah tiba. 

Aku segera bangkit tanpa menghiraukan keberadaannya. Untung saja seorang siswa angkatanku –yang tak kuketahui namanya– duduk di sampingku. Aku tidak berharap sama sekali dia akan kembali duduk di sampingku seperti di halte tadi. Setidaknya mengetahui dia mengambil tempat duduk jauh di belakang sana membuatku aman. Tidak perlu lagi menyumbat telinga dengan lagu keras, aku segera mengganti lagu tadi dengan lagu yang lebih lembut dari album yang sama. Aku pun memejamkan mata menikmati lagu. 

Dia tadi menyapaku dan itu sangat menggangguku. Aku menjadi sangat tidak sabar menanti kelulusan SMA-ku. Aku ingin pergi jauh darinya. Membenci segala sesuatu tentangnya, nyatanya tidak lah mempan mengingat dia masih berkeliaran di sekitarku. Sekeras apapun aku menghindar, pasti ada saja alasan bagi kami untuk bertatap muka, tentu dengan tidak sengaja. Di koridor, depan papan pengumuman, di perpustakaan atau di halte. 

Aku bukan sekedar korban putus cinta seperti yang orang lain duga, tidak juga se-drama korban tikung sahabat sendiri. Perihal putus itu dariku, bukan darinya. Jadi sepatutnya aku tidak se-depresi ini pasca berpisah dengannya. Patah hati mungkin wajar dialami pasangan yang pernah bersama, namun dalamnya luka dan pemulihannya setiap orang berbeda-beda. Bagiku, aku akan baik-baik saja jika jauh darinya dan dia tidak berada dalam edaran kehidupanku.

Lihat saja, kini kami turun di arah yang sama. Aku berjalan di depan dengan langkah nyaris berlari. Sebaliknya, dia dengan langkah santai berjalan di belakangku. Jarak sepuluh langkah lagi kami akan berpisah. Kakiku semakin cepat saja melangkah tak sabar, tanpa menyadari ada sebuah lubang di jalan. Jangan tanya bagaimana sakitnya lututku setelah mencumbu aspal yang keras, namun aku memaksa diriku bangkit untuk meneruskan perjalanan sebelum dia semakin dekat denganku. 

Ya, kebencianku padanya sagatlah besar. Bukan sekedar kebencian seseorang pada mantan kekasihnya. Dia mantan terindah? Hh, kata mantan terindah hanya kamuflase dari kata sulit melupakan seorang mantan. Mengingat sesuatu yang usang tetinggal di belakang membuat laju menuju masa depan terhenti, dan itu sangat mengganggu.

Selalu mata ini memanas ketika melewati sepasang kursi di teras depan rumah. Kuangkat wajahku menengadah ke atas demi menahan genangan itu pecah. Aku tak ingin menampakkan betapa aku masih di kubangan sama saat seseorang yang biasa duduk di salah satu kursi itu tertawa bersama orang lain. Aku sepertinya butuh membasuh wajahku, berwudlu lalu menghamba pada Tuhanku. Semoga Mama dan aku senantiasa diberi stok kekuatan sebelum pindah, memenuhi salah satu impianku untuk pergi menjuh darinya, ah... dari mereka lebih tepatnya.

Aku menyukai lingkungan tempatku tinggal ini. Ada mamang Ketoprak yang selalu memberi bonus potongan lontong untukku, ada Dimmy yang kuanggap adikku, tetangga yang ramah. Aku juga menyukai sekolahku, gerombolan Rea yang rajin mencekokiku lagu-lagu Korea, teman-teman kelas yang sengklek, bu Diana yang baik dan keibuan. 

Aku (dulu) menyukainya selama dua tahun terakhir. Sebelum badai itu menerpa, menghantam keluarga kecil yang sangat kukasihi. Aku sangat meyukainya. Dan rasa suka yang sangat itulah yang menyebabkan luka ini semakin menyesakkan. 

_____

Tiga bulan yang lalu...

"Coba perhatikan lagi rumusnya, Ra" ujar Zam dengan sabar.

Bagaimana aku bisa fokus pada rumus memusingkan itu jika melihat wajah mentor yang membuatku tenang. Menyadari aku yang lekat menatapnya, Zam memukul kepalaku dengan pensil birunya.

"Gak dapet jatah es krim" ancamnya.

Aku mengerucutkan bibir. Di dekat pemberhentian bus menuju blok rumahku, ada sebuah toko yang menjual es krim. Kami sering menikmati es krim di bawah pohon rindang yang berada di depan toko.

Dia menghela napas, "Sebentar lagi ujian. Gak bosen diomelin mama nilai Matematika-mu nanggung?"

"Masih ada Papa yang mau belain" cibirku penuh kemenangan. Menurut Papa, selama tidak merah, tidak apa-apa.

"Iya-iya yang punya papa" Zam balik merajuk. Dia menutup modul Matematikanya dengan raut terpasang sedih. Ayah Zam meninggal ketika dia masih enam tahun. Jika dia main ke rumah, dia suka berbicang-bincang dengan Papa. Mulai dari sepak bola sampai politik negeri ini. 

Aku teringat topik yang sedang ramai di grup angkatan SMP "Eh, Liza temen SMP-ku punya papa baru yok." Kontan Zam mengangkat arah pandangnya padaku. Lihat, mana bisa dia merajuk padaku berlama-lama. 

"Menurutmu gimana?" aku mengeryitkan dahi "masalah Liza" lanjutnya.

Aku mengangguk paham. Dia jarang tertarik lebih jauh dari sekian gosip yang terkadang aku lontarkan padanya. Mungkin dia merasa berada di posisi yang sama dengan Liza sebelum berita ini muncul. Sama-sama ditinggal pergi Ayah.

Mataku menatap matanya intens. "Semua anak membutuhkan sosok Ayah dalam hidupnya. Dan kamu punya Papa-ku untuk bertukar pikiran atau berdiskusi seperti biasanya" ujarku.

Zam mengangguk, mengalihkan pandangannya pada sampul modul Matematika yang tidak menarik sedikitpun. Menenggelamkan pikirnya di sana untuk sekian detik. Mungkin perkataanku tadi membuatnya butuh waktu berpikir. Aku membereskan modulku yang masih terbuka saat bel tanda istirahat menggema. Lalu aku beranjak tanpa mengajaknya secara verbal untuk ikut bangkit menuju kelas. Tangannya menahan lenganku, manik hitam pekatnya menatapku lekat.

"Kamu benar-benar mau berbagi Papamu denganku?" Zam bertanya padaku dengan nada yang sangat rendah. 

 Tawaku pecah seketika, "Selama ini kamu memonopoli Papa kalau main ke rumah, aku pernah protes?" 

Zam masih konsisten dengan tatapan seriusnya itu. Cengkeraman tangannya di lenganku mengendur. "Bagus kalau kamu berpikir begitu" dia tersenyum lalu bangkit menyejajari langkahku menuju kelas.

Sejak diskusi tentang Ayah baru Liza saat itu, Zam menghilang. Setiap aku mencarinya untuk belajar bersama sebelum memasuki ruang ujian, dia menghilang entah ke mana. Pulang sekolah pun dia tidak lagi bersamaku. Sehari dua hari, aku pikir dia ingin bersama temannya yang lain. Dia memiliki banyak teman, tidak sepertiku yang hanya dekat dengannya. Namun ini nyaris seminggu, seolah dia menghindar dari pandanganku. Puluhan chat-ku hanya dibalas singkat atau bahkan hanya dibaca saja.

Mendatangi rumahnya, jujur aku langsung merasa takut. Bukan apa-apa, mungkin ini hanya penilaianku semata. Setiap Ibu Zam melihatku, tatapannya tekesan tak biasa, seakan melihat malaikat pencabut nyawa almarhum suaminya. Tatapan yang sarat kebencian. Jiwa positifku melerai, mungkin Ibu mendeteksi cewek pertama yang Zam perkenalkan padanya. Ibu-ibu sangat posesif dan selektif mengenai calon menantu.

Hingga hari pembagian rapor tiba. Aku sudah tidak tahan dibiarkan tanpa kejelasan seperti ini. Aku merasa mungkin aku bukan sosok pacar ataupun teman yang baik baginya. Tapi setidaknya dia katakan padaku letak kesalahanku. Terkadang orang merasa memberi waktu untuk menyadari kesalahan adalah cara yang tepat. Namun bagiku,  mengajak berbicara langsung akan membuat sebuah masalah atau salah paham menemukan titiknya dengan efektif, tanpa menimbulkan banyak prasangka mencuat dan menambah rumit keadaan. 

Hari ini hanya Mama yang akan mengambil raporku. Terhitung sudah seminggu Papa mengurus bisnis yang tidak bisa ditinggal. Beliau sering sibuk, ke luar kota setiap bulan. Semoga memang akan dinaikkan jabatan, sampai rela menukar waktu bercengkerama di teras kala akhir pekan.

 Akhir-akhir ini kondisi Mama kurang baik, wajahnya tampak pucat. Mama bersikeras hadir demi membuatku tidak malu diambilkan rapor oleh orang lain. Perasaanku sejak tadi berkecamuk tak tenang menunggu giliran menghadap wali kelas. Semoga nilai Matematikaku tidak membuat Mama bertambah pucat.

Setelah menemui wali kelas, aku menunggu Mama di depan aula. Mama izin untuk ke kamar mandi. Sayup-sayup telingaku menangkap suara tawa yang sangat familiar di dekatku. Jantungku kembali berdetak kencang, lebih kencang kala melihat nilai Matematika tadi. Kuhirup napas dalam-dalam sembari memejamkan mata, namun suara itu nyatanya bukan lagi ilusi. Kutolehkan kepalaku ke sumber suara itu, suara hangat papa. Mungkin beliau ingin memberiku kejutan dengan berpura-pura mengatakan sibuk bekerja.

Iya, itu papa. Dia mengelus kepala seorang siswa dengan penuh kasih, mataku menyipit meyakinkan jika siswa itu benar Zam. Meski seharusnya iri, aku tersenyum senang. Dua laki-laki yang kusayangi terlihat sangat dekat. Kakiku melangkah mendekati mereka, namun segera terhenti demi mendengar perkataan Ibu Zam.

"Ayo pulang, Mas. Muji Zam nya bisa lanjut di rumah" sela Ibu Zam pada acara Papa mengelus Zam. Matanya seperti mencari-cari seseorang sambil lalu menarik Papa dan Zam menjauh.

Sebuah  tepukan halus membuyarkan pandangan kosongku, "Mama harus sujud syukur nilai Matematikamu makin bagus" puji Mama senang dengan senyum merekah. Aku menatap matanya yang kuyu, tidak secerah senyumnya. Otakku berusaha mencari kebenaran dari adegan sinetron salah tayang tadi. 

"Ma," panggilku pelan. Mama mengusap kepalaku, membuatku meloloskan air mataku di pipi. Kepalaku kembali memutar adegan sinetron murahan tadi.

"Mama tahu Papa di mana, bukan?"

Beliau menepuk bahuku "Ya di luar kota lah, di mana lagi?" Jawabnya dengan sebuah senyum di bibir. Senyum yang terlihat ganjil di mataku. Dan aku baru menyadari jika senyum itu bukan karena kondisi Mama yang kurang fit.

Aku memejamkan mata, "Mama tahu bukan selama seminggu ini Papa dimana?!" Tanyaku ulang dengan nada tinggi.

Senyum ganjil di bibir Mama lenyap, isakanku mulai terdengar. Mama menarikku ke dalam ceruk lehernya, membiarkanku menangis sambil berjalan menuju area parkir yang cukup sepi.

Tiba-tiba dekapan tangan Mama di lenganku menguat, seolah mencengkeram. Aku menyentakkan kepalaku untuk melihat apa yang dilihatnya, namun Mama menahan kepalaku.

"Aku 'kan sudah bilang, kalau ingin tampil sebagai keluarga, lebih sedikit pintar.  Kenapa harus di sekolah anak-anak? Kenapa tertangkap Nara?" cecar Mama. Tanganku melepas tangan Mama di kepalaku. Aku tidak percaya jika apa yang kulihat tadi di depan aula benar-benar mereka rupanya, si Keluarga baru.

Mereka berdiri berdampingan, menampilkan siluet yang membuat pukulan godam tepat menohok ulu hatiku. Sosok yang menghilang seminggu ini dan selama ini kupanggil Papa mematung di sana. Mata hangatnya menatapku lurus, aku berdecih seketika. Tangan wanita itu dikaitkan di lengan papa. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Mama melihat tempat spesial itu telah digantikan. Wajah Zam panik, mulutnya mengucapkan namaku tanpa suara.

Aku tidak tengah syuting adegan sinetron salah satu stasiun televisi, bukan?

"Nara, Pap-"

Aku benci mendengar laki-laki itu masih berani menggunakan panggilan 'Papa' dalam situasi ini.

"Jangan panggil nama saya. Jangan panggil diri Anda papa. Jangan sakiti mama. Jangan merasa kenal saya dan mama." Desisku, "kalian semua, tanpa terkecuali" Aku menatap laki-laki yang telah meninggalkan Mama, wanita yang dipilihnya, dan Zam bergantian. Aku meneguk ludah kelu menatap kaki mereka di hadapanku. Entah mengapa rasa muak menyerang diriku tanpa ampun saat itu.

_____

"Malam-malam jangan melamun sendiri," suara yang sangat mengganggu dalam hidupku memecahkan lamunanku. Dia berdiri di depanku dengan tangan mengulurkan sekotak susu stroberi. Aku mendengus, mengapa dia bisa malam-malam di taman komplekku? Penguntitkah dia?

"Masih saja ceroboh," dia berdecak sembari berjongkok di depanku. Dengan sangat hati-hati dia menutup luka di lututku dengan plester. 

Dia sudah lama menanti saat ini, saat di mana akhirnya aku memberinya kesempatan untuk berbicara tanpa dihindari. Kami duduk bersisian menatap langit, angin malam memainkan rambut kami yang terpaku tanpa kata. Orang-orang akan mengira kami adalah saudara tiri yang akur saat ini. Tapi Zam segera memanfaatkan momen ini sebelum aku berubah pikiran.

"Bukankah kamu tidak apa-apa berbagi Papa denganku?" 

Sebelah bibirku terangkat menyeringai, "Kukira kamu memang benar-benar pintar, Siswa Teladan" sarkasku. 

"Kenyataannya berbagi hati bukan sereceh kamu berbagi susu ini dengan teman sebelahmu" kuangkat susu yang tadi diberinya "mereka yang diberi tak sepatutnya mengganti kepemilikan sah, bukan?" tawaku berderai sumbang.

Susu itu kuhempaskan kembali pada tempatnya tadi, "Karena seharusnya mereka masih punya yang namanya-" sengaja bagian penting dari percakapan ini kupenggal, aku  bangkit dari dudukku. 

"har-ga-di-ri" kututup kata-kata yang sejak lama ingin kukatakan padanya –pada mereka tepatnya– dengan senyum. 

Kugigit bibir bawahku kuat, menahan tangisku pecah. Aku mungkin tega mengatakan kalimat-kalimat tadi. Sejujurnya, aku masih belum mampu menatap manik pekatnya yang bisa saja membuatku lemah kembali. Mama bisa menyembunyikan jejak air matanya dengan penuh ketegaran, aku pun harus.

Malang, 24 September 2017 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun