Aku mengerucutkan bibir. Di dekat pemberhentian bus menuju blok rumahku, ada sebuah toko yang menjual es krim. Kami sering menikmati es krim di bawah pohon rindang yang berada di depan toko.
Dia menghela napas, "Sebentar lagi ujian. Gak bosen diomelin mama nilai Matematika-mu nanggung?"
"Masih ada Papa yang mau belain" cibirku penuh kemenangan. Menurut Papa, selama tidak merah, tidak apa-apa.
"Iya-iya yang punya papa" Zam balik merajuk. Dia menutup modul Matematikanya dengan raut terpasang sedih. Ayah Zam meninggal ketika dia masih enam tahun. Jika dia main ke rumah, dia suka berbicang-bincang dengan Papa. Mulai dari sepak bola sampai politik negeri ini.Â
Aku teringat topik yang sedang ramai di grup angkatan SMP "Eh, Liza temen SMP-ku punya papa baru yok." Kontan Zam mengangkat arah pandangnya padaku. Lihat, mana bisa dia merajuk padaku berlama-lama.Â
"Menurutmu gimana?" aku mengeryitkan dahi "masalah Liza" lanjutnya.
Aku mengangguk paham. Dia jarang tertarik lebih jauh dari sekian gosip yang terkadang aku lontarkan padanya. Mungkin dia merasa berada di posisi yang sama dengan Liza sebelum berita ini muncul. Sama-sama ditinggal pergi Ayah.
Mataku menatap matanya intens. "Semua anak membutuhkan sosok Ayah dalam hidupnya. Dan kamu punya Papa-ku untuk bertukar pikiran atau berdiskusi seperti biasanya" ujarku.
Zam mengangguk, mengalihkan pandangannya pada sampul modul Matematika yang tidak menarik sedikitpun. Menenggelamkan pikirnya di sana untuk sekian detik. Mungkin perkataanku tadi membuatnya butuh waktu berpikir. Aku membereskan modulku yang masih terbuka saat bel tanda istirahat menggema. Lalu aku beranjak tanpa mengajaknya secara verbal untuk ikut bangkit menuju kelas. Tangannya menahan lenganku, manik hitam pekatnya menatapku lekat.
"Kamu benar-benar mau berbagi Papamu denganku?" Zam bertanya padaku dengan nada yang sangat rendah.Â
 Tawaku pecah seketika, "Selama ini kamu memonopoli Papa kalau main ke rumah, aku pernah protes?"Â