Mohon tunggu...
FithAndriyani
FithAndriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Read and Write

Write your own history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berbagi Tidak untuk Urusan Hati

25 September 2017   11:55 Diperbarui: 24 September 2018   20:04 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengerucutkan bibir. Di dekat pemberhentian bus menuju blok rumahku, ada sebuah toko yang menjual es krim. Kami sering menikmati es krim di bawah pohon rindang yang berada di depan toko.

Dia menghela napas, "Sebentar lagi ujian. Gak bosen diomelin mama nilai Matematika-mu nanggung?"

"Masih ada Papa yang mau belain" cibirku penuh kemenangan. Menurut Papa, selama tidak merah, tidak apa-apa.

"Iya-iya yang punya papa" Zam balik merajuk. Dia menutup modul Matematikanya dengan raut terpasang sedih. Ayah Zam meninggal ketika dia masih enam tahun. Jika dia main ke rumah, dia suka berbicang-bincang dengan Papa. Mulai dari sepak bola sampai politik negeri ini. 

Aku teringat topik yang sedang ramai di grup angkatan SMP "Eh, Liza temen SMP-ku punya papa baru yok." Kontan Zam mengangkat arah pandangnya padaku. Lihat, mana bisa dia merajuk padaku berlama-lama. 

"Menurutmu gimana?" aku mengeryitkan dahi "masalah Liza" lanjutnya.

Aku mengangguk paham. Dia jarang tertarik lebih jauh dari sekian gosip yang terkadang aku lontarkan padanya. Mungkin dia merasa berada di posisi yang sama dengan Liza sebelum berita ini muncul. Sama-sama ditinggal pergi Ayah.

Mataku menatap matanya intens. "Semua anak membutuhkan sosok Ayah dalam hidupnya. Dan kamu punya Papa-ku untuk bertukar pikiran atau berdiskusi seperti biasanya" ujarku.

Zam mengangguk, mengalihkan pandangannya pada sampul modul Matematika yang tidak menarik sedikitpun. Menenggelamkan pikirnya di sana untuk sekian detik. Mungkin perkataanku tadi membuatnya butuh waktu berpikir. Aku membereskan modulku yang masih terbuka saat bel tanda istirahat menggema. Lalu aku beranjak tanpa mengajaknya secara verbal untuk ikut bangkit menuju kelas. Tangannya menahan lenganku, manik hitam pekatnya menatapku lekat.

"Kamu benar-benar mau berbagi Papamu denganku?" Zam bertanya padaku dengan nada yang sangat rendah. 

 Tawaku pecah seketika, "Selama ini kamu memonopoli Papa kalau main ke rumah, aku pernah protes?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun