_____
"Malam-malam jangan melamun sendiri," suara yang sangat mengganggu dalam hidupku memecahkan lamunanku. Dia berdiri di depanku dengan tangan mengulurkan sekotak susu stroberi. Aku mendengus, mengapa dia bisa malam-malam di taman komplekku? Penguntitkah dia?
"Masih saja ceroboh," dia berdecak sembari berjongkok di depanku. Dengan sangat hati-hati dia menutup luka di lututku dengan plester.Â
Dia sudah lama menanti saat ini, saat di mana akhirnya aku memberinya kesempatan untuk berbicara tanpa dihindari. Kami duduk bersisian menatap langit, angin malam memainkan rambut kami yang terpaku tanpa kata. Orang-orang akan mengira kami adalah saudara tiri yang akur saat ini. Tapi Zam segera memanfaatkan momen ini sebelum aku berubah pikiran.
"Bukankah kamu tidak apa-apa berbagi Papa denganku?"Â
Sebelah bibirku terangkat menyeringai, "Kukira kamu memang benar-benar pintar, Siswa Teladan" sarkasku.Â
"Kenyataannya berbagi hati bukan sereceh kamu berbagi susu ini dengan teman sebelahmu" kuangkat susu yang tadi diberinya "mereka yang diberi tak sepatutnya mengganti kepemilikan sah, bukan?" tawaku berderai sumbang.
Susu itu kuhempaskan kembali pada tempatnya tadi, "Karena seharusnya mereka masih punya yang namanya-" sengaja bagian penting dari percakapan ini kupenggal, aku  bangkit dari dudukku.Â
"har-ga-di-ri" kututup kata-kata yang sejak lama ingin kukatakan padanya –pada mereka tepatnya– dengan senyum.Â
Kugigit bibir bawahku kuat, menahan tangisku pecah. Aku mungkin tega mengatakan kalimat-kalimat tadi. Sejujurnya, aku masih belum mampu menatap manik pekatnya yang bisa saja membuatku lemah kembali. Mama bisa menyembunyikan jejak air matanya dengan penuh ketegaran, aku pun harus.
Malang, 24 September 2017Â