"Mama tahu Papa di mana, bukan?"
Beliau menepuk bahuku "Ya di luar kota lah, di mana lagi?" Jawabnya dengan sebuah senyum di bibir. Senyum yang terlihat ganjil di mataku. Dan aku baru menyadari jika senyum itu bukan karena kondisi Mama yang kurang fit.
Aku memejamkan mata, "Mama tahu bukan selama seminggu ini Papa dimana?!" Tanyaku ulang dengan nada tinggi.
Senyum ganjil di bibir Mama lenyap, isakanku mulai terdengar. Mama menarikku ke dalam ceruk lehernya, membiarkanku menangis sambil berjalan menuju area parkir yang cukup sepi.
Tiba-tiba dekapan tangan Mama di lenganku menguat, seolah mencengkeram. Aku menyentakkan kepalaku untuk melihat apa yang dilihatnya, namun Mama menahan kepalaku.
"Aku 'kan sudah bilang, kalau ingin tampil sebagai keluarga, lebih sedikit pintar. Â Kenapa harus di sekolah anak-anak? Kenapa tertangkap Nara?" cecar Mama. Tanganku melepas tangan Mama di kepalaku. Aku tidak percaya jika apa yang kulihat tadi di depan aula benar-benar mereka rupanya, si Keluarga baru.
Mereka berdiri berdampingan, menampilkan siluet yang membuat pukulan godam tepat menohok ulu hatiku. Sosok yang menghilang seminggu ini dan selama ini kupanggil Papa mematung di sana. Mata hangatnya menatapku lurus, aku berdecih seketika. Tangan wanita itu dikaitkan di lengan papa. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Mama melihat tempat spesial itu telah digantikan. Wajah Zam panik, mulutnya mengucapkan namaku tanpa suara.
Aku tidak tengah syuting adegan sinetron salah satu stasiun televisi, bukan?
"Nara, Pap-"
Aku benci mendengar laki-laki itu masih berani menggunakan panggilan 'Papa' dalam situasi ini.
"Jangan panggil nama saya. Jangan panggil diri Anda papa. Jangan sakiti mama. Jangan merasa kenal saya dan mama." Desisku, "kalian semua, tanpa terkecuali" Aku menatap laki-laki yang telah meninggalkan Mama, wanita yang dipilihnya, dan Zam bergantian. Aku meneguk ludah kelu menatap kaki mereka di hadapanku. Entah mengapa rasa muak menyerang diriku tanpa ampun saat itu.