Zam masih konsisten dengan tatapan seriusnya itu. Cengkeraman tangannya di lenganku mengendur. "Bagus kalau kamu berpikir begitu" dia tersenyum lalu bangkit menyejajari langkahku menuju kelas.
Sejak diskusi tentang Ayah baru Liza saat itu, Zam menghilang. Setiap aku mencarinya untuk belajar bersama sebelum memasuki ruang ujian, dia menghilang entah ke mana. Pulang sekolah pun dia tidak lagi bersamaku. Sehari dua hari, aku pikir dia ingin bersama temannya yang lain. Dia memiliki banyak teman, tidak sepertiku yang hanya dekat dengannya. Namun ini nyaris seminggu, seolah dia menghindar dari pandanganku. Puluhan chat-ku hanya dibalas singkat atau bahkan hanya dibaca saja.
Mendatangi rumahnya, jujur aku langsung merasa takut. Bukan apa-apa, mungkin ini hanya penilaianku semata. Setiap Ibu Zam melihatku, tatapannya tekesan tak biasa, seakan melihat malaikat pencabut nyawa almarhum suaminya. Tatapan yang sarat kebencian. Jiwa positifku melerai, mungkin Ibu mendeteksi cewek pertama yang Zam perkenalkan padanya. Ibu-ibu sangat posesif dan selektif mengenai calon menantu.
Hingga hari pembagian rapor tiba. Aku sudah tidak tahan dibiarkan tanpa kejelasan seperti ini. Aku merasa mungkin aku bukan sosok pacar ataupun teman yang baik baginya. Tapi setidaknya dia katakan padaku letak kesalahanku. Terkadang orang merasa memberi waktu untuk menyadari kesalahan adalah cara yang tepat. Namun bagiku, mengajak berbicara langsung akan membuat sebuah masalah atau salah paham menemukan titiknya dengan efektif, tanpa menimbulkan banyak prasangka mencuat dan menambah rumit keadaan.Â
Hari ini hanya Mama yang akan mengambil raporku. Terhitung sudah seminggu Papa mengurus bisnis yang tidak bisa ditinggal. Beliau sering sibuk, ke luar kota setiap bulan. Semoga memang akan dinaikkan jabatan, sampai rela menukar waktu bercengkerama di teras kala akhir pekan.
 Akhir-akhir ini kondisi Mama kurang baik, wajahnya tampak pucat. Mama bersikeras hadir demi membuatku tidak malu diambilkan rapor oleh orang lain. Perasaanku sejak tadi berkecamuk tak tenang menunggu giliran menghadap wali kelas. Semoga nilai Matematikaku tidak membuat Mama bertambah pucat.
Setelah menemui wali kelas, aku menunggu Mama di depan aula. Mama izin untuk ke kamar mandi. Sayup-sayup telingaku menangkap suara tawa yang sangat familiar di dekatku. Jantungku kembali berdetak kencang, lebih kencang kala melihat nilai Matematika tadi. Kuhirup napas dalam-dalam sembari memejamkan mata, namun suara itu nyatanya bukan lagi ilusi. Kutolehkan kepalaku ke sumber suara itu, suara hangat papa. Mungkin beliau ingin memberiku kejutan dengan berpura-pura mengatakan sibuk bekerja.
Iya, itu papa. Dia mengelus kepala seorang siswa dengan penuh kasih, mataku menyipit meyakinkan jika siswa itu benar Zam. Meski seharusnya iri, aku tersenyum senang. Dua laki-laki yang kusayangi terlihat sangat dekat. Kakiku melangkah mendekati mereka, namun segera terhenti demi mendengar perkataan Ibu Zam.
"Ayo pulang, Mas. Muji Zam nya bisa lanjut di rumah" sela Ibu Zam pada acara Papa mengelus Zam. Matanya seperti mencari-cari seseorang sambil lalu menarik Papa dan Zam menjauh.
Sebuah  tepukan halus membuyarkan pandangan kosongku, "Mama harus sujud syukur nilai Matematikamu makin bagus" puji Mama senang dengan senyum merekah. Aku menatap matanya yang kuyu, tidak secerah senyumnya. Otakku berusaha mencari kebenaran dari adegan sinetron salah tayang tadi.Â
"Ma," panggilku pelan. Mama mengusap kepalaku, membuatku meloloskan air mataku di pipi. Kepalaku kembali memutar adegan sinetron murahan tadi.