Aku bukan sekedar korban putus cinta seperti yang orang lain duga, tidak juga se-drama korban tikung sahabat sendiri. Perihal putus itu dariku, bukan darinya. Jadi sepatutnya aku tidak se-depresi ini pasca berpisah dengannya. Patah hati mungkin wajar dialami pasangan yang pernah bersama, namun dalamnya luka dan pemulihannya setiap orang berbeda-beda. Bagiku, aku akan baik-baik saja jika jauh darinya dan dia tidak berada dalam edaran kehidupanku.
Lihat saja, kini kami turun di arah yang sama. Aku berjalan di depan dengan langkah nyaris berlari. Sebaliknya, dia dengan langkah santai berjalan di belakangku. Jarak sepuluh langkah lagi kami akan berpisah. Kakiku semakin cepat saja melangkah tak sabar, tanpa menyadari ada sebuah lubang di jalan. Jangan tanya bagaimana sakitnya lututku setelah mencumbu aspal yang keras, namun aku memaksa diriku bangkit untuk meneruskan perjalanan sebelum dia semakin dekat denganku.Â
Ya, kebencianku padanya sagatlah besar. Bukan sekedar kebencian seseorang pada mantan kekasihnya. Dia mantan terindah? Hh, kata mantan terindah hanya kamuflase dari kata sulit melupakan seorang mantan. Mengingat sesuatu yang usang tetinggal di belakang membuat laju menuju masa depan terhenti, dan itu sangat mengganggu.
Selalu mata ini memanas ketika melewati sepasang kursi di teras depan rumah. Kuangkat wajahku menengadah ke atas demi menahan genangan itu pecah. Aku tak ingin menampakkan betapa aku masih di kubangan sama saat seseorang yang biasa duduk di salah satu kursi itu tertawa bersama orang lain. Aku sepertinya butuh membasuh wajahku, berwudlu lalu menghamba pada Tuhanku. Semoga Mama dan aku senantiasa diberi stok kekuatan sebelum pindah, memenuhi salah satu impianku untuk pergi menjuh darinya, ah... dari mereka lebih tepatnya.
Aku menyukai lingkungan tempatku tinggal ini. Ada mamang Ketoprak yang selalu memberi bonus potongan lontong untukku, ada Dimmy yang kuanggap adikku, tetangga yang ramah. Aku juga menyukai sekolahku, gerombolan Rea yang rajin mencekokiku lagu-lagu Korea, teman-teman kelas yang sengklek, bu Diana yang baik dan keibuan.Â
Aku (dulu) menyukainya selama dua tahun terakhir. Sebelum badai itu menerpa, menghantam keluarga kecil yang sangat kukasihi. Aku sangat meyukainya. Dan rasa suka yang sangat itulah yang menyebabkan luka ini semakin menyesakkan.Â
_____
Tiga bulan yang lalu...
"Coba perhatikan lagi rumusnya, Ra" ujar Zam dengan sabar.
Bagaimana aku bisa fokus pada rumus memusingkan itu jika melihat wajah mentor yang membuatku tenang. Menyadari aku yang lekat menatapnya, Zam memukul kepalaku dengan pensil birunya.
"Gak dapet jatah es krim" ancamnya.