Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suatu Ketika di Tepi Danau Maninjau...

20 April 2010   06:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:41 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_120567" align="alignleft" width="150" caption="yudipangarso.wordpress.com/2009"][/caption]

Semilir angin menjelang sore menghembus dari kisi-kisi jendela rumah kayu nenek dengan sejuknya. Segelas teh manis hangat buatan Etek Lily, tanteku, kuteguk dengan perlahan. Tubuhku masih terasa lemas gara-gara hampir seluruh isi lambungku terkuras tadi. Aku sempat muntah-muntah. Perjalanan yang kulalui hari ini memang lumayan melelahkan. Setelah selama lebih kurang 2 jam penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Bandara Minangkabau, Padang,  aku harus melanjutkan perjalanan darat sepanjang 160 km dari Kota Padang menuju Maninjau - yang mana kira-kira 10 km-nya  harus melewati jalan penuh tikungan maut bernama 'Kelok 44' dengan menggunakan bis - sebelum akhirnya mencapai sebuah desa di tepi Danau Maninjau yang indah. Sebuah perjalanan menuju kampung halamanku yang sudah tak pernah kujamahi sejak beberapa tahun yang lalu. Untung saja Mamak Darman, suami Etek Lily, dan Putri, anaknya yang menjemputku di Bandara Minangkabau cukup memaklumi kondisiku dan dengan telatennya mereka mengurusku selama perjalanan hingga sampai di rumah nenek.

[caption id="attachment_120738" align="alignright" width="150" caption="sumber : Google"][/caption]

"Rupanya Kelok Empat Puluh Empat sudah membuat Uni Zara keok juga ya, Nek?" goda Putri, sepupuku itu, sambil tertawa kecil. Aku langsung memonyongkan bibirku padanya. Nenek yang sangat gembira dengan kedatanganku kelihatan tersenyum sambil mengeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah kedua cucunya di hadapannya. Mamak Darman yang sedang asyik menyeruput secangkir kopi panas pun ikut tersenyum lebar.

"Hushh.... indak elok mangecek baitu jo Uni, Putri....!"Etek Lily memelototi buah hatinya yang sudah duduk di depanku sambil terkekeh-kekeh.  Putri sudah menjelma menjadi seorang remaja berusia 14 tahun sekarang, sudah pandai bergurau dan sering bikin bundanya mengomel. Langsung saja kutegakkan jari telunjuk di depannya lalu kuturunkan dengan gerakan meliuk-liuk. Putri langsung sewot, "Nek, caliak tu.... uni nakal bana...!"

"Sudah...sudah..., Uni Zara itu lelah sekali, Putri. Sudah kau bereskan kamar depan? Uni harus istirahat dulu...," ucap nenek lagi sambil mengusap keningku yang keringatan. Sedari tadi nenek memang sudah kelihatan sangat kuatir dengan kondisiku. Ah, nenek..., beliau masih saja penuh perhatian dan kasih sayang pada anak-anak dan cucu-cucunya. Kerutan-kerutan di wajahnya dan rambutnya yang telah memutih itu semakin menggambarkan kearifan dan kebersahajaannya.

"Sudah, Nek. Tadi sebelum berangkat menjemput Uni ke Bandara sudah Putri pasang spreinya dan dipel lantainya," lapor Putri sembari menarik koperku ke kamar depan.

"Tapi..., nek, kalau boleh, aku ingin tidur dengan nenek saja.... tidak usah di kamar depan....," selaku cepat. Entah mengapa aku tiba-tiba ingin sekali tidur bersama nenek - hal yang sudah sangat lama tak pernah kulakukan, aku benar-benar sedang tak ingin tidur sendiri malam ini. Melihat anggukan dan senyum nenek yang terkembang aku jadi teringat senyuman seseorang yang sebenarnya amat sangat kusayangi, Mama.

"Ya sudah, masuklah dulu ke kamar, Zara. Salinlah pakaian. Etek Lily sudah memasak pepes rinuak dan gulai nangka, ada juga lado hijau kesukaan engkau....," kata Nenek sambil tersenyum. "Nanti kita makan sama-sama ya... Oh ya, apa sudah kabari mama di Jakarta kalau kau sudah sampai di Maninjau?"

"Belum, Nek. Tapi tadi waktu baru turun dari pesawat di Padang, mama yang langsung menelepon aku," sahutku sambil tersenyum untuk meredam kekuatiran nenek. "Aku ke kamar dulu ya, Nek, Mamak, Etek..."

Lalu aku beranjak dari kursi rotan itu. Badanku benar-benar lelah dan tulang-tulangku rasanya mau remuk saja. Aku ingin cepat-cepat merebahkan tubuhku, ingin melepaskan semua penat yang ada di tubuh, hati dan pikiranku....

*

Suara jam kuno di ruang keluarga sudah berdenting dua kali. Sudah memasuki dini hari. Namun mataku belum mau juga terpejam, padahal tubuhku lelah sekali karena perjalanan jauh tadi. Bolak-balik mengganti posisi tidur, menatap langit-langit kamar nenek yang masih bergaya rumah kampung 'tempo doeloe', memperhatikan raut wajah damai nenek ketika sedang tertidur pulas di sampingku,  membenamkan muka dalam selimut tebal - tak juga mampu membuat pikiranku bisa berhenti melayang-layang... hingga ke Jakarta..... ke hari kemarin, hari di mana aku memutuskan untuk pergi meninggalkan mama sendiri, paling tidak untuk sementara waktu ini.

Aku berselisih dengan mama. Sebelum kejadian ini, sebenarnya aku sudah sering tak sepaham dengannya. Padahal, di rumah itu kami hanya tinggal berdua, karena aku seorang anak tunggal dan papaku  sudah bercerai dengan mama 10 tahun lalu. Setelah itu papa pun melepaskan tanggungjawabnya untuk menafkahiku sejak ia menikah lagi dengan selingkuhannya - bekas sekretarisnya. Kami benar-benar ditinggalkan!

Sebagai single parent, bertahun-tahun mama berjuang membesarkan aku seorang diri. Mama meniti kariernya di sebuah perusahaan asing yang cukup bergengsi. Aku bergelimangan harta dan fasilitas, namun aku sering merasa kesepian. Untungnya ada 'si mbok' yang setia menemaniku dan mendengarkan curhatku. Namun dua tahun yang lalu si mbok sudah meninggal dunia, dan aku kembali kesepian. Hingga setahun yang lalu aku mulai berpacaran dengan Pramudya, seorang  pegawai bank swasta. Ia tampak menyayangiku dengan tulus. Tapi entah mengapa, mama kelihatannya kurang menyukai Pram dan aku sama sekali tidak tahu apa alasannya.

Sejak mama-papa bercerai, komunikasi kami memang tak pernah lancar dan terbuka lagi seperti dulu. Mama sering kali berangkat pagi-pagi dan pulang ketika aku sudah terlelap. Meski begitu, aku berusaha menjadi anak yang baik bagi mama melalui prestasi-prestasiku di sekolah dan aktif di kegiatan ekstra kurikuler. Namun, berkali-kali pula aku kecewa, karena ketika aku maju ke panggung untuk menerima hadiah, mama tak pernah hadir untuk menyaksikannya. Aku berusaha mengerti keterbatasan waktu mama untukku, tapi aku adalah anak biasa yang punya hati dan jiwa, yang juga butuh kasih sayang dan perhatian darinya. Apalagi dua hari yang lalu proposal judul skripsiku ditolak kembali oleh dosen pembimbingku untuk ketiga kalinya. Aku hampir putus asa dan saat ini aku benar-benar butuh dukungan, terutama dari mama - namun akhirnya lagi-lagi aku kecewa. Egoku sebagai manusia membuatku ingin memberontak dari semua ini! Aku ingin menentukan jalanku sendiri! Dan yang pasti aku ingin tetap melanjutkan hubunganku ke tahap yang lebih serius dengan Pram! Namun niatku tercium oleh mama.  Maka meledaklah pertengkaran yang selama ini terpendam di antara kami berdua.

"Mama tetap tidak setuju dengan keputusanmu! Kamu belum mengerti tentang hidup... tentang lelaki itu... tentang.... "

"Tentang apalagi, Ma?" selaku dengan tatapan nanar. "Aku mungkin gak ngerti apa-apa... Tapi apa mama ngerti tentang aku? Apa mama tahu warna favoritku dan pelajaran kesukaanku...? Apa mama pernah tahu dulu aku sering menangis diam-diam ketika teman-teman mengejekku anak pembantu? Apa mama tahu semua itu?"

"Zara! Mama bekerja keras selama ini hanya untuk kamu.... agar kamu gak kekurangan suatu apapun....!" seru mama tegas. Ada rona tak percaya di wajah mama ketika mendengar ucapanku yang tajam.

"Ya, mama memenuhi semua materi buatku, tapi apa mama tahu batinku? Batinku kosong! Aku tak punya siapa-siapa tempat aku berbagi, Ma. Setiap aku ingin bercerita pada mama, mama tak pernah ada untukku..... Dan bila saat ini Pram yang mengisi kekosongan itu, kenapa mama harus menentangnya? Apa yang salah dari semua ini? Apa salah Pram, Ma?"

Plak!

Tiba-tiba semua hening. Perih. Ada yang terasa menusuk batinku yang kosong saat itu. Aku kecewa, sedih..... bukan karena tamparan mama, tapi karena aku merasa diriku adalah orang yang paling malang di dunia!

Cepat-cepat kutelepon Pram, namun lagi-lagi nada tidak aktif yang terdengar. Kucari ia di rumahnya dan di kantornya, tapi semua nihil! Entah mengapa Pram menghilang tanpa meninggalkan pesan apa-apa untukku. Yang aku tahu hanya Pram mengambil cuti, dan info itu kudapatkan justru dari rekan kerjanya. Aku kecewa, aku lelah..., dan saat itu juga aku memutuskan untuk pergi, meninggalkan semua yang telah menyesakkan batinku....

*

Udara pagi yang sangat segar memenuhi rongga paru-paruku. Meski semalam kurang tidur, tapi rasa nyaman itu telah membuatku sedikit lebih bergairah daripada hari kemarin.

[caption id="attachment_121605" align="alignright" width="150" caption="donnyfredy.blogspot.com/2009"][/caption]

Beruntung rumah nenek berada di tepi danau nan cantik. Malah halaman belakang rumah nenek hanya berjarak beberapa meter dari bibir danau - yang uniknya tak seperti pinggiran danau yang umumnya penuh bebatuan dan membentuk cekungan - namun tempat yang kududuki sekarang ini lebih menyerupai sebuah pantai dengan pasir-pasir putih yang landai dan menyentuh permukaan air danau selayaknya berada di tepi laut. Airnya pun beriak-riak, persis ombak kecil yang berkejar-kejaran di pantai. Belum lagi barisan bukit-bukit yang mengelilingi seputaran danau yang kira-kira berluas 99,5 km2 itu, ikut dipayungi oleh langit biru yang dihiasi dengan putihnya awan seperti kapas. Di kejauhan tampak keramba-keramba ikan berjejeran di tepi danau. Namun agak di tengah-tengah danau tersebut, beberapa nelayan kelihatan sedang mengayuh sampan-sampan (perahu kecil dari kayu) dengan tenangnya dan kemudian mereka menebarkan jala untuk menangkap ikan.  Luar biasa indahnya!

Pemandangan seperti di Danau Maninjau ini merupakan pemandangan yang tak pernah bisa kulihat dan kunikmati ketika aku berada di Jakarta. Bahkan mungkin kebanyakan orang-orang di Jakarta tak  mengetahui bahwa jalan HR Rasuna Said di Kuningan tersebut diambil dari nama seorang pejuang hak-hak perempuan sekaligus jurnalis yang berasal dari Maninjau ini. Begitu pula dengan seorang ulama besar bernama Buya HAMKA yang juga merupakan putra daerah Maninjau. Dan jangan tertawakan aku, kalau aku pun mengetahuinya dulu justru dari sebuah Buku Pintar. Ah, sungguh memalukannya aku....!

Hei, lihat! Ada sebuah sampan 'terparkir' di sisi kiri halaman belakang rumah nenek, yang luput dari penglihatanku sejak tadi. Baru saja aku melangkah mendekati sampan itu, sebuah suara memanggilku.

"Uni.....! Uni mau naik sampan ya?" seru seorang bocah lelaki yang usianya kira-kira 11 tahun. Ia berlari kecil mendekatiku. Wajah polosnya tersenyum ceria. Anak itu tampak kurus dan berkulit sawo matang, namun sorot matanya menunjukkan sebuah kecerdasan. Aku langsung tertarik,  karena mengingatkanku pada anak-anak Indonesia dalam tayangan semi dokumenter di televisi.

"Uni baru aja ngeliat sampan ini. Menarik juga....," jawabku sambil menepuk-nepuk buritan sampan tersebut. "Kamu sendiri kenapa di sini, Adik kecil...?"

"Nama ambo Dodi, Uni....," ucap bocah itu meralat, namun senyuman masih tak lekang di wajahnya. "Nama Uni siapa?"

Ah, anak ini santun sekali!

"Panggil saja Uni Zara ya, Dik..." sahutku sambil menjabat tangannya. "Rumah kamu di mana? Gak sekolah?"

"Selang dua rumah dari rumah Nek Fatimah, nenek-nya Uni Zara. Ambo masuk sekolah siang, Uni...," timpal Dodi lagi. "Uni mau ikut?"

"Ikut ke mana? Ke sekolah Dodi? "

"Bukan, Uni..." Dodi tergelak mendengar pertanyaanku. "Ambo hendak menjala ikan di danau. Uni mau ikut ndak?"

"Naik sampan ini? Kamu bisa naik sampan?"

Dodi mengangguk cepat.

Antara ragu dan penasaran aku akhirnya memutuskan untuk ikut Dodi mencari ikan. Meski terbilang bocah, Dodi termasuk anak yang cekatan dan kuat. Setelah bersama-sama mendorong sampan menjauhi bibir danau, kami pun mulai mengayuh sampan hingga ke tengah-tengah danau. Sempat muncul rasa takut dan pusing saat sampan kecil itu agak oleng, namun Dodi tampak tenang-tenang saja. Lama-kelamaan aku menikmati juga pengalaman tersebut. Tak kusangka, pemandangan di tengah danau ini justru lebih indah dari sebuah lukisan seorang maestro! Subhanallah.....

"Dodi menjala ikan begini setiap hari?" tanyaku pelan.

"Indak, Ni. Abo ambo yang biasanya menjala ikan, tapi dari kemarin beliau sakit. Jadi ambo yang gantikan sementara sebelum pergi ke sekolah. Lagi pula hari ini nenek hendak memasak gulai ikan untuk diberikan pada Dokter Heru, karena beliau yang mengobati abo sampai sembuh."

"Dokter Heru?"

"Iya, Ni. Kepala Puskesmas di siko. Beliau datang dari Jawa. Baik sekali orangnya..," imbuh Dodi panjang lebar, persis seperti seorang humas. "Beliau belum punya pacar, walaupun anak-anak perempuan banyak yang suka. Nanti ambo kenalkan ya, Ni?"

Aku tertawa geli mendengar celotehan Dodi. Lalu kutimpali lagi sekenanya, "Ya sudah, terserah kamu aja. Tapi sekarang aku justru lebih ingin kenal denganmu... Dari tadi kamu belum menceritakan tentang orangtuamu. Apa mereka juga suka menjala ikan?"

Dodi terdiam sejenak. Wajahnya mendadak murung. "Bundo meninggal sejak ambo dilahirkan dan Apa' sudah meninggal pula karena kecelakaan."

Sontak aku terkejut mendengarnya. Ada rasa menyesal karena sudah menanyakannya. "Oh, maafkan Uni..."

"Indak ba'a, Ni..," sahut Dodi kembali tersenyum.

Kemudian Dodi menceritakan tentang kehidupannya sebagai anak yatim piatu. Beruntung ia mempunyai kakek-nenek serta sanak saudara yang sangat menyayanginya. Aku salut sekali, karena betapa tabahnya ia menjalani hidup yang mungkin lebih kurang beruntung dari aku. Ia sering membantu kakek-neneknya bekerja di sawah dan ladang sebelum dan setelah bersekolah. Kadang-kadang menjala ikan seperti ini. Cita-citanya ingin menjadi seperti Dokter Heru. Aku kehilangan kata-kata. Aku benar-benar terharu mendengarnya dan merasa telah menjadi orang yang tak pernah bersyukur selama ini. Aku yang masih punya mama-papa - meskipun telah bercerai, namun  justru akulah yang tak pernah menganggap mereka ada. Aku merasa kerdil, merasa berdosa.....

"Kamu pernah rindu sama mereka, Dik?" tanyaku hampir tak dapat menahan tangis.

Dodi mengangguk. Ia mengucek-ngucek matanya yang basah. "Kalau rindu, kadang-kadang ambo diantar kakek-nenek ke makam mereka. Kata Dokter Heru, ambo harus jadi anak yang elok, rajin solat dan mengaji, agar bisa mendoakan mereka di sana..."

Aku semakin terhenyak! Ya Tuhan.... pernahkah aku mendoakan kedua orangtuaku? Atau selama ini hanya bisa menuntut saja dan membuat hati mereka kecewa? Bertengkar dengan mama, tak pernah mengunjungi papa..... oh, betapa berdosanya aku.....! Tiba-tiba kepalaku terasa semakin berat, pandanganku berkunang-kunang dan sebelum semua berakhir gelap, aku sempat mendengar pekik suara Dodi....

"Uniiiiiiiiiiiii.......!!!"

*

Sebuah sentuhan lembut di keningku, membuat aku terjaga. Kepalaku masih agak pusing. Kubuka sedikit demi sedikit kelopak mata yang terasa agak berat, dan akhirnya aku sudah bisa menangkap objek-objek di sekelilingku. Aku sudah berada di kamar nenek, dan lihatlah... ada nenek dan Etek Lily mengitariku, malah Putri tidur-tiduran di sebelahku. Mereka semua tersenyum bahagia menyambut aku yang baru saja siuman. Ternyata aku cukup lama pingsan.  Dan heiiii.... ada seorang lagi yang sedang duduk di sampingku.... Mama! Ah, apa aku tidak bermimpi....? Mama ada di dekatku sambil mengusap-usap kening dan rambutku. Bagaimana mungkin mama sudah ada di sini? Tanpa mampu berkata-kata lagi, langsung kucium tangan mama dan kupeluk ia erat-erat. Aku benar-benar merindukannya.....

Ketika semua pertanyaanku belum terjawab, masuk lagi seorang bocah - yang ternyata adalah Dodi - bersama seorang lelaki muda ke dalam kamar tersebut.

"Lihat, Dokter! Uni Zara sudah siuman.....!" serunya polos - yang langsung disambut tawa orang-orang di seluruh kamar itu.  Lalu Dodi menghambur ke dekatku, sambil membisikkan sesuatu, "Uni.... maafin ambo ya... sudah buat Uni pingsan. Tapi Uni jangan kuatir ya, ada Dokter Heru tuuu... Dari tadi beliau yang mengobati Uni.......... Ganteng ndak orangnya?"

Aku langsung tergelak mendengarnya. Putri yang penasaran segera menjewer telinga Dodi dengan galaknya.  "Idod..., wa ang ko mangganggu Uni sajo. A nan dikecekkan ka Uni Zara hah?"

Kontan semua yang ada di ruangan itu pun ikut tertawa melihat tingkah polah mereka berdua, termasuk si Pak Dokter - yang ternyata....... memang cukup ganteng!!!

*

Desir angin sore danau yang menyejukkan, sesekali menerpa rambut panjangku. Aku masih  duduk di atas pasir putih di belakang rumah nenek sambil menikmati kecantikan alam yang seolah-olah tak akan puas-puas kupandangi. Ada perasaan lega, lepas dan nyaman yang kini menghiasi hatiku. Beban berat yang selama ini terkungkung di pikiran dan jiwaku seolah lenyap entah ke mana. Semua itu karena mama!

Tadi pagi aku mengantarkan mama ke Bandara Minangkabau, mama harus segera kembali lagi ke Jakarta, karena hanya mendapat izin dari kantornya selama 3 hari untuk menjengukku. Aku memeluknya dengan erat dan berjanji akan segera kembali ke Jakarta pula ketika suasana hatiku sudah lumayan membaik. Mama memakluminya, apalagi kami sempat berbicara banyak tentang hubungan dan komunikasi kami yang tak lancar selama ini. Aku baru sadar betapa mama amat sangat mencintaiku ketika mama menyerahkan sepucuk surat undangan pernikahan seseorang yang sangat kukenal namanya..... Pramudya!!! Kini aku punya jawaban mengapa ia menghilang dariku selama beberapa hari kemarin. Mama tak tega menceritakannya, karena beliau sudah tahu kalau saat itu aku sedang menghadapi kesulitan pada proposal skripsiku melalui Bu Salma, dosen pembimbingku - yang ternyata merupakan kawan lama mama ketika kuliah dulu. Rupanya selama ini di luar sepengetahuanku, mama terus memantau perkembanganku.

Ya Tuhan, walaupun hatiku sakit karena perbuatan Pram yang telah menorehkan luka itu, namun aku harus bersyukur karena aku telah lebih dulu mengetahui kebusukannya melalui feeling seorang mama! Ah..., aku benar-benar merasa semakin berdosa karena berburuk sangka pada ibuku sendiri, karena selalu menganggapnya tak pernah peduli! Mama mencium keningku sebelum beliau check-in dan berjanji akan meluangkan lebih banyak waktunya, seperti berlibur bersama ataupun umroh denganku. Kini aku benar-benar sangat bahagia...

"Hmmmm.... sepertinya.... ada yang sedang bahagia saat ini...." Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat aku berpaling ke mana suara itu berasal. Oh..... Dokter Heru!!!

Lelaki jangkung itu berjalan mendekatiku sambil tersenyum manis. Wah, gawat! Kenapa degup jantungku mendadak jadi tak karuan begini?

"Seandainya Uni Zara gak keberatan... maukah berbagi sedikit kebahagiaan itu denganku?" imbuhnya lagi sebelum aku sempat berkata-kata. Ia langsung duduk di sampingku sambil mendekap lututnya ke dada. Aku terpana dibuatnya..... Aaaaah, ada apa aku ini?

"A...aku hanya ingat mama.....," ucapku sekenanya. . Aku benar-benar jadi salah tingkah.

"Oh, maaf...berarti kamu sedang bersedih?" "Ah, nggak, Dok. Hanya merindukannya saja...."

"Oh begitu..., semoga mama Uni Zara baik-baik saja ya....," ucapnya tulus. Aku pun hanya bisa mengangguk sambil mendoakan mama tercintaku.

Lalu aku dan Dokter Heru sama-sama terdiam. Aku seperti orang bodoh yang sedang belajar menyusun-nyusun kata. Saat itu, mata kami pun bebas memandang ke hamparan lukisan indah ciptaan Yang Maha Kuasa. Sebuah bola kuning keemasan mulai turun ke balik barisan bukit-bukit yang mengelilingi danau. Mungkin beberapa menit lagi akan sunset.

"Mmmm....kapan-kapan kamu mau nggak bersepeda keliling danau atau menikmati terjun payung dari Puncak Lawang?" Dokter Heru mengalihkan pandangannya ke arahku. Jelas aku semakin grogi dibuatnya.

"Dengan siapa?" tanyaku lemot. Dokter Heru kontan tertawa lepas.

"Ya.. dengan aku..... Lalu dengan siapa lagi?"

[caption id="attachment_122651" align="alignleft" width="150" caption="members.virtualtourist.com"][/caption]

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba sebuah teriakan serempak terdengar dari belakang kami. "Kami ikutan dooong......!" Lalu segera disusul oleh tawa girang khas bocah-bocah. Ternyata Dodi dan Putri langsung berlari menghambur mendekati aku dan Dokter Heru. Tak kuasa kami jadi bulan-bulanan mereka. Mereka terus-terusan menggoda dengan siulan-siulan nakalnya. Sambil tertawa-tawa riang, akhirnya kami pun melewati hari ini dengan bersama-sama menikmati sunset yang indah, dari sebuah tempat yang sederhana, di halaman belakang rumah nenekku... di tepi Danau Maninjau......

***

Catatan (Arti kata) :

Uni : Kakak perempuan

Etek : Tante

Mamak : Paman

Indak Elok mangecek baitu jo Uni : Tidak baik berbicara begitu dengan kakak

Rinuak :  Ikan khas Danau Maninjau, bentuknya kecil-kecil seperti ikan teri

Caliak : Lihat

Bana : Sangat, sekali

Ambo : Saya

Abo : Kakek

Siko : Sini

Bundo : Bunda, Ibu

Apa' : Bapak, Ayah

Indak Ba'a : Tidak Apa-apa

Wa ang ko mangganggu Uni sajo. A (atau 'Apo') nan dikecekkan ka Uni? :   Kau (ucapan kasar, biasanya pada orang yang lebih muda) ini mengganggu kakak saja. Apa yang dikatakan pada kakak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun