"Panggil saja Uni Zara ya, Dik..." sahutku sambil menjabat tangannya. "Rumah kamu di mana? Gak sekolah?"
"Selang dua rumah dari rumah Nek Fatimah, nenek-nya Uni Zara. Ambo masuk sekolah siang, Uni...," timpal Dodi lagi. "Uni mau ikut?"
"Ikut ke mana? Ke sekolah Dodi? "
"Bukan, Uni..." Dodi tergelak mendengar pertanyaanku. "Ambo hendak menjala ikan di danau. Uni mau ikut ndak?"
"Naik sampan ini? Kamu bisa naik sampan?"
Dodi mengangguk cepat.
Antara ragu dan penasaran aku akhirnya memutuskan untuk ikut Dodi mencari ikan. Meski terbilang bocah, Dodi termasuk anak yang cekatan dan kuat. Setelah bersama-sama mendorong sampan menjauhi bibir danau, kami pun mulai mengayuh sampan hingga ke tengah-tengah danau. Sempat muncul rasa takut dan pusing saat sampan kecil itu agak oleng, namun Dodi tampak tenang-tenang saja. Lama-kelamaan aku menikmati juga pengalaman tersebut. Tak kusangka, pemandangan di tengah danau ini justru lebih indah dari sebuah lukisan seorang maestro! Subhanallah.....
"Dodi menjala ikan begini setiap hari?" tanyaku pelan.
"Indak, Ni. Abo ambo yang biasanya menjala ikan, tapi dari kemarin beliau sakit. Jadi ambo yang gantikan sementara sebelum pergi ke sekolah. Lagi pula hari ini nenek hendak memasak gulai ikan untuk diberikan pada Dokter Heru, karena beliau yang mengobati abo sampai sembuh."
"Dokter Heru?"
"Iya, Ni. Kepala Puskesmas di siko. Beliau datang dari Jawa. Baik sekali orangnya..," imbuh Dodi panjang lebar, persis seperti seorang humas. "Beliau belum punya pacar, walaupun anak-anak perempuan banyak yang suka. Nanti ambo kenalkan ya, Ni?"