[caption id="attachment_120567" align="alignleft" width="150" caption="yudipangarso.wordpress.com/2009"][/caption]
Semilir angin menjelang sore menghembus dari kisi-kisi jendela rumah kayu nenek dengan sejuknya. Segelas teh manis hangat buatan Etek Lily, tanteku, kuteguk dengan perlahan. Tubuhku masih terasa lemas gara-gara hampir seluruh isi lambungku terkuras tadi. Aku sempat muntah-muntah. Perjalanan yang kulalui hari ini memang lumayan melelahkan. Setelah selama lebih kurang 2 jam penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Bandara Minangkabau, Padang, aku harus melanjutkan perjalanan darat sepanjang 160 km dari Kota Padang menuju Maninjau - yang mana kira-kira 10 km-nya harus melewati jalan penuh tikungan maut bernama 'Kelok 44' dengan menggunakan bis - sebelum akhirnya mencapai sebuah desa di tepi Danau Maninjau yang indah. Sebuah perjalanan menuju kampung halamanku yang sudah tak pernah kujamahi sejak beberapa tahun yang lalu. Untung saja Mamak Darman, suami Etek Lily, dan Putri, anaknya yang menjemputku di Bandara Minangkabau cukup memaklumi kondisiku dan dengan telatennya mereka mengurusku selama perjalanan hingga sampai di rumah nenek.
[caption id="attachment_120738" align="alignright" width="150" caption="sumber : Google"][/caption]
"Rupanya Kelok Empat Puluh Empat sudah membuat Uni Zara keok juga ya, Nek?" goda Putri, sepupuku itu, sambil tertawa kecil. Aku langsung memonyongkan bibirku padanya. Nenek yang sangat gembira dengan kedatanganku kelihatan tersenyum sambil mengeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah kedua cucunya di hadapannya. Mamak Darman yang sedang asyik menyeruput secangkir kopi panas pun ikut tersenyum lebar.
"Hushh.... indak elok mangecek baitu jo Uni, Putri....!"Etek Lily memelototi buah hatinya yang sudah duduk di depanku sambil terkekeh-kekeh. Putri sudah menjelma menjadi seorang remaja berusia 14 tahun sekarang, sudah pandai bergurau dan sering bikin bundanya mengomel. Langsung saja kutegakkan jari telunjuk di depannya lalu kuturunkan dengan gerakan meliuk-liuk. Putri langsung sewot, "Nek, caliak tu.... uni nakal bana...!"
"Sudah...sudah..., Uni Zara itu lelah sekali, Putri. Sudah kau bereskan kamar depan? Uni harus istirahat dulu...," ucap nenek lagi sambil mengusap keningku yang keringatan. Sedari tadi nenek memang sudah kelihatan sangat kuatir dengan kondisiku. Ah, nenek..., beliau masih saja penuh perhatian dan kasih sayang pada anak-anak dan cucu-cucunya. Kerutan-kerutan di wajahnya dan rambutnya yang telah memutih itu semakin menggambarkan kearifan dan kebersahajaannya.
"Sudah, Nek. Tadi sebelum berangkat menjemput Uni ke Bandara sudah Putri pasang spreinya dan dipel lantainya," lapor Putri sembari menarik koperku ke kamar depan.
"Tapi..., nek, kalau boleh, aku ingin tidur dengan nenek saja.... tidak usah di kamar depan....," selaku cepat. Entah mengapa aku tiba-tiba ingin sekali tidur bersama nenek - hal yang sudah sangat lama tak pernah kulakukan, aku benar-benar sedang tak ingin tidur sendiri malam ini. Melihat anggukan dan senyum nenek yang terkembang aku jadi teringat senyuman seseorang yang sebenarnya amat sangat kusayangi, Mama.
"Ya sudah, masuklah dulu ke kamar, Zara. Salinlah pakaian. Etek Lily sudah memasak pepes rinuak dan gulai nangka, ada juga lado hijau kesukaan engkau....," kata Nenek sambil tersenyum. "Nanti kita makan sama-sama ya... Oh ya, apa sudah kabari mama di Jakarta kalau kau sudah sampai di Maninjau?"
"Belum, Nek. Tapi tadi waktu baru turun dari pesawat di Padang, mama yang langsung menelepon aku," sahutku sambil tersenyum untuk meredam kekuatiran nenek. "Aku ke kamar dulu ya, Nek, Mamak, Etek..."
Lalu aku beranjak dari kursi rotan itu. Badanku benar-benar lelah dan tulang-tulangku rasanya mau remuk saja. Aku ingin cepat-cepat merebahkan tubuhku, ingin melepaskan semua penat yang ada di tubuh, hati dan pikiranku....