Mohon tunggu...
Firman Fadilah
Firman Fadilah Mohon Tunggu... Lainnya - Simple man with a simple love.

Never give up!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bella dalam Tubuh Api

17 Juni 2022   06:11 Diperbarui: 17 Juni 2022   06:13 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Api menjilat-jilat, berkobar seperti sedang memuntahkan amarah yang menjadi-jadi. Percikan-percikan umpama cambuk api yang menghanguskan apa pun yang disentuhnya. Asap membubung, menggeliat, membentuk lukisan abstrak di langit malam. Api itu besar, makin besar, dan rumah yang dilahapnya seketika menjadi puing-puing arang.

Jeritan meminta tolong hanya memantul di tubuh api. Siapa yang akan mendengar jeritan tengah malam, saat orang-orang nyenyak ditimang mimpi mereka? Bau hangus menguar. Mereka, dua orang perempuan, termakan panas api. Namun, seorang perempuan dewasa seketika melempar seonggok tubuh anak perempuan sebelum terlumat api. Tak ada waktu untuk melarikan diri baginya sebab sejurus kemudian, atap yang rapuh menimpa tubuh ringkihnya. Anak perempuan itu tak sadarkan diri. Rumah telah jadi abu bersama wanita itu. Menjelang subuh, orang-orang ramai berkerumun. "Kebakaran! Kebakaran!" Terlambat.

***

Anak perempuan itu bernama Bella. Ia sering mematut diri di depan cermin, meraba wajahnya yang tak cantik seperti dulu. Dadanya bergemuruh setiap kali mengingat kebakaran dua tahun lalu yang merenggut ibu dan juga separuh tubuhnya. Gemuruh di dadanya berubah menjadi lautan garam di mata, kemudian meluap menjadi rintik gerimis di pipinya. "Sial!" Ia menangis.

Mendadak ia tersenyum ketika mengingat kata-kata ibunya yang memuji kecantikannya. "Matamu bulat sempurna. Pipimu lembut bagai awan. Rambutmu semegah mahkota. Kakimu jenjang. Kau gadis ibu yang rupawan, Bella." "Ya, aku cantik." Bella memainkan rambutnya yang hitam, sehitam hatinya. Ia memainkan alis dan bibirnya. Lalu, ia menangis lagi. "Tapi itu dulu, Bu. Semuanya tidak akan pernah sama lagi!" 

Semuanya berubah. Dulu ia hidup dengan ibunya, sekarang ia tinggal dengan neneknya. Dulu ia adalah anak yang cantik, kini ia adalah gadis yang buruk rupa. Dulu banyak yang ingin berkawan dengannya, lambat laun banyak yang menjauh dan mencaci kehadirannya. Dulu ia sangat ceria, tetapi kini ia banyak mengurung diri. Dulu banyak anak lelaki yang mengiriminya surat cinta, tetapi sekarang, semuanya minggat. 

Separuh wajahnya terbakar. Ke mana pun ia pergi, selembar kain selalu menutupi bagian itu. Mata bulatnya yang sebelah kiri jadi sipit dan seolah kelopaknya menyatu. Daun telinga sebelah kiri seolah meleleh dan hanya tersisa separuh. Ia juga harus menggunakan tongkat ketika berjalan sebab kakinya pincang. 

Tidak ada yang bisa dibanggakan dari penampilannya kini. Bella seolah menjadi orang asing di dunianya sendiri. Ia membenci dirinya. Ia menyesalkan kesempatan hidup yang dimilikinya. Kenapa dulu ia tak mati saja? Kenapa ibunya membakar diri demi menyelamatkan nyawa untuk hidup yang makin sengsara? Kenapa dan kenapa.

Karena tubuh cacat itu, Bella sering menjadi bahan perundungan. Telapak kaki kirinya tegak ke atas. Jari-jarinya menyatu yang membuatnya berjalan dengan tumit. Jalannya pincang. Neneknya yang merasa iba tak pernah memaksa Bella untuk pergi ke sekolah. Siapa yang tega melihat anak gadis yang harus menanggung penderitaan teramat pedih itu? Namun, Bella bersikeras untuk tetap sekolah demi mengejar angan-angannya menjadi seorang penulis.

Pernah suatu ketika, ia berjalan menuju Kelas Bahasa yang terletak paling ujung. Tongkat kayu memapahnya berjalan. Lalu, seorang perempuan dengan sengaja menyenggol lengan Bella yang menyebabkan hilang keseimbangan. Bella limbung, tongkatnya jatuh, ia tersungkur. Suara gedebab nyaring terbetik akibat dadanya beradu dengan lantai. Dadanya sangat sesak, panas menjalar hingga ke mata yang memerah. Namun, ia tahan sebisanya sebab siapa yang peduli? Orang-orang tidak akan membantu. Malahan, mereka menatap dengan jijik. 

Bella bangkit perlahan dengan mata sebak dan siku yang berdarah. Ia menuju toilet dan meluapkan tangisnya di sana. Ia usap darah di pelipisnya. "Mengapa hidupmu sekacau ini, Bella?" rutuknya. Ia terus mengusap darah itu sambil menangis. 

"Tidak, kamu itu spesial." Seketika, selengking suara asing menggema di toilet. Suara yang tak pernah dikenali Bella sebelumnya. Suara yang lembut, halus, seperti suara ibunya. 

"S-iapa itu?!" pekik Bella. Tidak ada jawaban.

Sejurus kemudian, seonggok boneka voodoo jatuh menimpa punggung Bella. Boneka itu berukuran setelapak tangan orang dewasa dengan rambut panjang di kepang dua. Ekspresinya datar saja dengan mata bulat dan segaris bibir. Bella terkesiap. Ia melihat ke atap. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Mulanya, Bella amat takut. Dari mana datangnya boneka itu, Bella tak pernah tahu. Namun, saat itu, ada perasaan kasihan ketika Bella melihat boneka itu tergeletak sendirian, persis seperti dirinya kini, seorang diri, tanpa ada seorang teman. Lantas, Bella mengambil boneka itu dengan sedikit payah, kemudian ia merengkuhnya dengan perasaan saling memiliki. "Aku akan merawatmu." Sejak saat itu, hidup Bella berangsur berubah. Entah menjadi lebih baik atau lebih buruk, hanya Bella yang bisa menyimpulkan. 

***

"Siapa kamu?"

"Itu kamu, Bella."

"Bukan, itu bukan aku. Wajahku tak mungkin secantik ini."

"Benar, itu dirimu yang sekarang."

"T-api, kenapa wajahku bisa secantik ini? Apa yang kau lakukan?"

"Aku? Ah, kau becanda. Tentu saja kau sendiri yang melakukannya, bukan aku. Apa kau tak ingat?"

"Apa?"

"Kau sendiri yang menginginkan kecantikanmu seperti dulu."

"T-api."

"Ssst! Apa perlu kuceritakan lagi? Sepulang sekolah, kau menangis. Semua temanmu mengolok wajahmu. Memang kadang ketika seseorang merasa sedih, kesadaran mereka perlahan hilang dan mereka bisa melakukan apa saja. Kau menusuk-nusuk tubuhku dengan jarum. Kau memukulku dengan tongkat sapu. Sesuai perjanjian kita, kau bisa melukai seseorang dengan melukaiku. Sebut saja namanya. Dia akan hancur. Lalu, orang yang bernama Angela, perempuan yang mengolokmu dan membuatmu jatuh tempo lalu, mengalami peristiwa nahas. Dia kejang dan mati. Seketika, kecantikannya pindah ke wajahmu. Apa kau ingat sekarang?"

"T-api."

"Ssst! Apa lagi yang kau inginkan sekarang? Katakanlah!"

Bella termangu di depan cermin. Ia menyisir setiap lekuk wajahnya dan menyadari bahwa ia telah kembali seperti dulu. Ia cantik seperti ibunya. Dalam hatinya, rasa bahagia meluap-luap. Teman-temannya pasti akan heran dengan penampilan cantiknya. Mereka akan meminta maaf sedalam-dalamnya dan mengajaknya berkawan lagi. Para lelaki akan mendekatinya dengan rayuan-rayuan receh. Lalu, Bella dengan tersipu menerima hadiah cokelat atau mawar yang harum. Akan tetapi, perasaan bersalah juga turut menyertai. Kecantikan yang ia miliki harus dibayar dengan nyawa. Namun, toh, ini sudah terjadi. Hidup harus tetap berjalan meski penuh penyesalan. 

Suasana duka masih menyelimuti sekolah. Rangkaian bunga tertata rapi di sepanjang jalan. Kala itu, Bella hadir dengan penampilan yang berbeda. Rambutnya tergerai tanpa malu-malu. Pipinya merona dengan hiasan merah delima. Orang-orang pun terkesima. Namun, sejurus kemudian, orang-orang menatap aneh dan mulai mencibir. 

"Benar itu Bella?"

"Iya. Pasti dia habis operasi plastik."

"Kayaknya nggak mungkin, deh! Uang dari mana? Dia, kan, cuma hidup sama neneknya. Sudah tua pula."

"Apa jangan-jangan dia piara tuyul?"

"Hmmm, bisa jadi."

"Ih, amit-amit."

Bella makin frustasi. Semakin ia dewasa, kehidupan terasa makin kejam. Percuma telinga ditutup rapat-rapat. Omongan orang tidak akan pernah berhenti menusuk telinganya hingga menjadi luka di dalam dada. Siapa yang peduli? Tidak ada orang yang benar-benar mencintai. Pada akhirnya, setiap orang akan mencintai dirinya sendiri. Oleh sebab itu, percuma meminta pengakuan dari orang lain karena setiap orang terlahir untuk menjadi egois. 

"Apa yang salah dengan diriku?" rutuknya sambil memandang boneka voodoo dalam genggamannya. 

"Hey, hey! Tidak ada yang salah denganmu. Kau cantik, sangat cantik. Lihatlah! Kau sangat sempurna."

"Aku sudah berusaha untuk menjadi diriku yang seperti dulu, tetapi mengapa teman-temanku tak mau menerimaku?!" 

"Ah, mereka memang bodoh! Mereka hanya tak pantas berkawan denganmu. Mereka iri dengan kecantikanmu"

Bella terisak. Matanya merah sembab. Air mata di mana-mana. Seketika itu, ia melirik ke cermin. Kecantikannya tidak pudar sedikit pun. Ia sempurna. Ia menjadi seorang perempuan yang diinginkan semua lelaki. Namun, kecantikan tidak menjamin semuanya. Kecantikannya menjadi mala petaka. Hari-harinya menjadi koyak moyak. Ia menjadi kecil di mata orang-orang sebab isu-isu keji membuatnya demikian. Ia merasa sangat kesepian. 

"Aku hanya ingin seorang teman. Aku hanya ingin dicintai dalam wujudku yang apa adanya."

"Akulah temanmu, Bella. Aku akan terus berada di sampingmu dan membuatmu cantik. Hapus air matamu. Kau tak pantas menangis."

Perlahan, Bella menghentikan isaknya. Ia termenung sesaat, kemudian menatap boneka voodoo itu lekat-lekat, umpama memendam dendam yang teramat dalam. Ia cengkeram boneka itu kuat-kuat seolah sedang mencekik. Ia meremat, terus meremat boneka itu.

"Apa yang kau lakukan! Apa yang kau lakukan pada nenekku!" teriak Bella. 

Sebelumnya, neneknya juga merasa amat sedih dengan penampilan Bella yang tiba-tiba berubah menjadi amat cantik. Para tetangga sering membicarakan tentang Bella bahwa ia adalah seorang gadis nakal yang suka main dengan laki-laki dewasa. Dengan kata lain, Bella bersedia menjual dirinya demi mendapatkan uang untuk operasi plastik. Neneknya amat kecewa meski pun ia tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Bella. Namun, sejak saat itu, seperti ada tirai penghalang antara Bella dan neneknya. Mereka menjadi seperti orang asing di rumah sendiri. Lambat laun, neneknya mulai membenci Bella akibat pengaruh dari orang-orang di sekitarnya. 

Neneknya menyimpan ketakutan setiap kali melihat Bella. Bagaimana jika amarah warga makin menjadi dan dia tak henti-henti menjadi bahan gunjingan sampai mati? Ia tak ingin itu terjadi. Nama baiknya kian tercemar.

"Usir saja Bella dari rumah! Kita tak mau kena imbasnya," ucap seseorang. 

Namun, ia tak mungkin melakukan hal itu. Ia adalah seorang nenek dari gadis yatim-piatu. Ia masih mempunyai hati nurani. Maka ia hanya mendiamkan Bella seperti ia tidak pernah ada di dalam hidupnya. 

"Mengapa semua orang menjauhiku, bahkan nenekku sendiri?!"

Bella menangis, meraung-raung sambil menusukkan jarum dan benda tajam lainnya ke boneka voodoo itu. "Nenek jahat!" rutuknya. Beberapa hari berlalu, neneknya mengalami kecelakaan nahas dengan luka-luka yang amat parah. Bella merasa amat terpukul dengan kepergian neneknya. Tinggallah kini Bella hidup sendirian dalam dunianya yang sepi. 

"Apa yang kau lakukan! Apa yang kau lakukan pada nenekku!" teriak Bella sambil menusukkan ujung gunting ke badan boneka voodoo. 

"Seharusnya kau tak usah hadir di kehidupanku! Boneka sialan!" pekik Bella meraung-raung. 

"Oh, aku tahu! Bella, ya, kau yang menyebabkan semua ini." 

Bella menatap tanpa keraguan di hadapan sebuah cermin bulat. Matanya merah, nyalang memburu. Lalu, ia mengambil sebilah pisau di laci nakasnya. 

"Ya, Bella. Kau harus mati!" Bella menancapkan bilah pisau tajam itu ke leher boneka voodoo. "Ya, begitulah kau, Bella. Seharusnya kau mati terbakar bersama ibumu! Kau tak pantas menjalani hidup yang bangsat!" Pisau ditancapkannya bertubi-tubi. Boneka voodoo tiba-tiba nampak menyeringai kejam.

Kamar Bella menjadi sangat berantakan. Suasana menjadi sangat kelabu. Bau anyir darah menguar di mana-mana. Benda-benda berserakan di tempat yang tidak seharusnya, termasuk tubuh Bella yang ditemukan tak bernyawa di dalam lemarinya.[]

Tanggamus, 2021

Penulis bernama Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Keep in touch bisa lewat fb Firman Fadilah atau ig firmanfadilah_00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun