"Apa?"
"Kau sendiri yang menginginkan kecantikanmu seperti dulu."
"T-api."
"Ssst! Apa perlu kuceritakan lagi? Sepulang sekolah, kau menangis. Semua temanmu mengolok wajahmu. Memang kadang ketika seseorang merasa sedih, kesadaran mereka perlahan hilang dan mereka bisa melakukan apa saja. Kau menusuk-nusuk tubuhku dengan jarum. Kau memukulku dengan tongkat sapu. Sesuai perjanjian kita, kau bisa melukai seseorang dengan melukaiku. Sebut saja namanya. Dia akan hancur. Lalu, orang yang bernama Angela, perempuan yang mengolokmu dan membuatmu jatuh tempo lalu, mengalami peristiwa nahas. Dia kejang dan mati. Seketika, kecantikannya pindah ke wajahmu. Apa kau ingat sekarang?"
"T-api."
"Ssst! Apa lagi yang kau inginkan sekarang? Katakanlah!"
Bella termangu di depan cermin. Ia menyisir setiap lekuk wajahnya dan menyadari bahwa ia telah kembali seperti dulu. Ia cantik seperti ibunya. Dalam hatinya, rasa bahagia meluap-luap. Teman-temannya pasti akan heran dengan penampilan cantiknya. Mereka akan meminta maaf sedalam-dalamnya dan mengajaknya berkawan lagi. Para lelaki akan mendekatinya dengan rayuan-rayuan receh. Lalu, Bella dengan tersipu menerima hadiah cokelat atau mawar yang harum. Akan tetapi, perasaan bersalah juga turut menyertai. Kecantikan yang ia miliki harus dibayar dengan nyawa. Namun, toh, ini sudah terjadi. Hidup harus tetap berjalan meski penuh penyesalan.Â
Suasana duka masih menyelimuti sekolah. Rangkaian bunga tertata rapi di sepanjang jalan. Kala itu, Bella hadir dengan penampilan yang berbeda. Rambutnya tergerai tanpa malu-malu. Pipinya merona dengan hiasan merah delima. Orang-orang pun terkesima. Namun, sejurus kemudian, orang-orang menatap aneh dan mulai mencibir.Â
"Benar itu Bella?"
"Iya. Pasti dia habis operasi plastik."
"Kayaknya nggak mungkin, deh! Uang dari mana? Dia, kan, cuma hidup sama neneknya. Sudah tua pula."