Oktober 2006
Hari itu semesta berduka, dedaunan yang biasanya bergoyang karena hembusan angin seolah ikut bersedih. Hanya sedikit bunga-bunga yang bermekaran menyambut pagiku. Angin berhenti. Bahkan ikan kecil di akuarium abangku tak seceria biasanya.
Untuk pertama kalinya aku merasakan atmosfer kesyahduan yang menghimpit dadaku. Kukira flek paruku mulai kambuh. Aku mencoba mengambil nafas dengan keras. Aku menggoyangkan baju umi dan mendongak, memberikan isyarat kalau aku mau minum obat.
"Mi.. Obat"
"Kenapa nak, kambuh lagi?" tanya umi yang sedang menyeka airmatanya. Berusaha menutupinya dariku. Ya, saat itu aku masih dalam masa terapi intensif selama 6 bulan penyakit Flek paru-paruku.
"Apaan sih, kok hari ini semuanya berbeda?" aku menggerutu dalam hati.
Lalu aku mulai memetik bunga-bunga seperti kebiasaanku tiap pagi. Masak masakan, itulah permainanku kala itu.Â
"Uhuk uhuk" aku mulai batuk. Teringat semalam aku tidur diantara abi dan umi. Tapi bukan di rumah umi, di rumah bunda istri pertama abiku. Senangnya hatiku malam itu, aku bisa memeluk abiku yang ganteng ini sesuka hati. Dan aku dengan bangganya pamer ke kakakku kalau aku akan tidur di kamar terhormat itu, kamar abi.
Padahal sebelumnya, tidak pernah bunda mengizinkanku untuk memasuki kamar abi. Apalagi kalau abi sedang istirahat di dalam. Belakangan ini aku baru tahu waktu hafalanku sampai surat an-Nur, seorang anak memang tidak boleh sembarangan masuk ke kamar orangtua, bagian dari adab Islami.
##
Malam itu aku sempat terbangun karena terbatuk, mendapati umiku sedang memijat kepala abi, dan menempelkan kompres pada dahinya. Ooh, abiku masih sakit rupanya. Umi langsung mengolesi minyak kayu putih ke punggungku dan juga perutku. Mengurut punggungku pelan.
"Sesak nggak nak?" Tanya umiku. Aku hanya mengangguk lemah. Tetapi umi menenangkanku,
"Sudah, tidur lagi saja" kata umi sambil mengelus kepalaku dan mengeratkan selimutku.
##
Aku terbangun dengan kaget. Semua orang mengelilingi dipan. Di sampingku, ada pemandangan yang nggak bisa digambarkan, diluar ekspektasiku. Pemandangan yang seringkali kulihat dalam serial film TPI Hikayat, acara siang kesukaanku.
Apa ini? Proses sakaratul maut? Siapa? Abiku sendiri? Aku menyaksikannya di depan mataku?
Kulihat abiku tersengal-sengal, matanya melirik ke atas seperti ada sesuatu yang mengancamnya di sana. Umiku berusaha membuka mulut abiku, dan bundaku menalqin di telinga Abiku, "laaIlaahaIllallah" kakak-kakakku mengelilingi dipan dengan pandangan seolah tak percaya. Sementara di masjid samping Rumahku Shalat Shubuh sudah selesai dilaksanakan.
Aku berdiri dan mundur beberapa langkah, mencoba mencari tembok untuk mengembalikan kesadaranku. Ya Allah, ini nyata? aku tanya mbak May, kakak keduaku, "Mbak ini beneran?" sementara ia hanya menggeleng dan menangis sesenggukan.
Aku setengah nggak percaya, bingung antara harus sedih atau senang. Di samping aku akhirnya bisa melihat adegan seperti di film yang nyata di depan mataku, tapi nggak menyangka bisa terjadi padaku.
Ngomong-ngomong, umurku 5 tahun waktu itu. Meskipun semua orang menganggapku masih kecil dan tidak paham perkara dewasa. Tapi aku cukup tahu, lewat penghayatan dari film-film yang sering kutonton kala itu. Aku juga seorang pemerhati yang hebat. Bahkan aku bisa menirukan beberapa jargon dari iklan di TV. Aku juga sedikit banyak tahu tentang perkara syariat, karena aku beberapa kali diajak Abi untuk menemaninya mengisi kajian di Masjid Agung Jateng.
"Mas, tolong panggilkan pak Nuri!! Minta tolong tetangga yang lain!" Â pinta bundaku kepada abang pertamaku. Tanpa basa-basi, abangku langsung berlari ke gang sebelah, rumah sahabat Abiku berada. Tak lama kemudian pak Nuri datang dengan masih menggunakan sarung dan kaos singletnya, sepertinya beliau terburu-buru dan tidak sempat untuk memakai bajunya.
"Dimana pak Achsan?" tanya beliau yang langsung menerobos masuk ke kamar abiku. Umiku menutupi mukanya dengan ujung jilbab, karena umiku bercadar sedang bundaku tidak. Tepat saat pak Nuri datang, abiku menghembuskan nafas terakhirnya.
Semua orang menahan napas, untuk waktu tiga detik mendadak sepi. Lalu dibuyarkan dengan teriakan Pak Nuri,
"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roojiun!"
 disusul tangisan kakak-kakakku. Umiku yang sedang menggendong adikku memelukku dengan erat. Umi mengatakan, "nggak apa-apa nak, nggak apa-apa"
kemudian umi menuntunku, "kalau ada orang meninggal bilang apa nak, Inna Lillahi...?" lalu aku mengikuti umiku mengucapkan kalimat Istirja' tersebut. Belakangan aku baru sadar, ternyata umiku sangat tabah ketika menghadapi kematian abiku.
Bahkan abang pertamaku yang sudah besar itu menangis keras, Pak Nuri juga. Aku menahan tawa dengan mulutku, kok orang dewasa masih nangis sih, laki-laki lagi. Banyak tetangga berdatangan, mengecek keadaan, menenangkan bunda dan umiku, dan membantu prosesi yang harus dilakukan.
Aku mondar mandir keluar masuk kamar abiku, ini nggak mungkin! Jangan jangan sekarang aku anak yatim? Aku anak yang perlu dikasihani? Aku nggak punya abi lagi? Rasanya seperti mimpi! Hingga aku tersadarkan dengan suara speaker masjid yang mengabarkan kematian abiku.
 Oke, ini nyata. Mendadak kakiku lemas, aku benar-benar tidak siap menerimanya. Nggak mungkin, aku masih ingin menemani Abi untuk berdakwah, masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi bersama Abi, lalu bagaimana dengan janji-janji yang dulu pernah Abi tawarkan padaku?
Aku teringat dahulu abi pernah mengelus kepalaku dan berkata, "Abi masih ingin lihat kamu dewasa, semoga kamu cepat besar ya nak, sekolah yang baik, dan berdakwah seperti Abi" Aku hanya bisa cengengesan kala itu. Tapi sepertinya Abi sudah punya firasat bahwa hidupnya nggak akan lama lagi.Â
##
Tidak banyak hal yang bisa aku kenang dari abiku. Karena saat itu aku masih kecil dan abi jarang di rumah, sebagian besar hidupnya dicurahkan untuk dakwah. Abi meninggalkan umiku yang saat itu masih mengandung 2 bulan adik ke 5ku. Masa Iddah yang selama 7 bulan itu terasa seperti setahun bagiku. Karena aku tidak bisa pergi ke mana-mana. Kasihan adikku belum pernah bertemu abi.
Aku adalah anak ke-2 umiku dan anak ke 7 abiku. Abiku punya 2 istri dan umilah istri ke-2nya. Jadi istri pertama abiku punya 5 anak dan umiku 5 juga. Bedanya kalau umiku 5 perempuan semua. Sedang bunda hanya 1 yang perempuan. Tapi tak lama setelah masa iddah umiku selesai, ada seorang ikhwan yang ingin membantu kita, dengan menikahi umiku. Tapi ia sudah beristri dan istrinya tidak bisa punya anak. Akhirnya umiku pun jadi istri ke 2 lagi.
Dari pernikahan ini, lahirlah ketiga adikku. Lengkap sudah keluargaku, aku punya ibu tiri, ayah tiri, saudara kandung, saudara seayah, juga saudara seibu. Hal ini pun memudahkanku dalam memahami perihal hukum Mahram maupun Warisan.
##
Aku punya sahabat yang sangat dekat dari kecil, bahkan sejak Abiku masih ada, karena orangtuanya termasuk orang yang suka ikut pengajian abiku. Sampai menginjak bangku SMP pun kami mendapat job yang sama saat menjadi bagian IST, yaitu bagian bahasa.
Kami sempat renggang sementara saat kelas enam SD, Ayah sahabatku merasa kehilangan orang yang membantunya ke jalan hidayah, beliau tak mau berguru dengan selain abiku. Sampai akhirnya memilih masuk jamaah ISIS yang sedang naik daun. Sahabatku pun hampir saja dipindah dari sekolahku, karena sekolahku tak sejalan dengan ISIS, tetapi ayahnya tetap mempertahankannya karena ada aku. "Enggak apa-apa kamu disini, berkawan dengan Khonsa' saja, tak usah yang lain." Sepertinya ayahnya sudah Taklid buta dengan abiku.
Sahabatku Rahma sering mengeluhkan tentang teman-temanku yang semakin menjauhinya. "Sa' kenapa sih mereka nggak suka sama aku, memang ISIS beneran sesat ya? Kata ayahku enggak kog. Kalau enggak masuk ISIS kapan Daulah bisa ditegakkan?" aku bingung menjawabnya. Yang kutahu memang sesat, berdasarkan majalah-majalah politik yang kubaca. Tapi aku tak berani menyanggahnya.
Menginjak bangku SMP, aku berhasil membujuknya supaya bersekolah di Ma'had yang sama denganku. Tak apalah orangtuanya ISIS, asal sahabatku bisa kuselamatkan Aqidahnya. Dengan harapan semoga ia bisa membawa perubahan yang baik pada keluarganya.
##
Saat menjadi bagian Bahasa, penggunaan Bahasa resmi di Ma'hadku kurang berjalan bahkan sangat minim. Hal inilah yang menjadi beban pikiran sahabatku selaku ketua bagian bahasa. Ia adalah anak yang selalu berlarut-larut dengan masalahnya. "Sa' amanah ini berat banget, aku nggak sanggup! gimana nanti pertanggungjawaban kita di hadapan Allah?" hampir setiap hari ia menangis di depanku. Hanya aku yang tahu, karena ia tak bisa menampakkannya pada orang lain. Aku hanya bisa menguatkannya. "Sabar Rahma, kita harus kuat! Yang penting kita sudah berusaha, yang Allah nilai itu usahanya, bukan hasilnya"Â
Aku selalu diingatkan akhirat jika bersamanya. "Sa' besok kalau di surga kamu nggak ketemu aku, tolong cari ya? Aku ingin kita masuk surga sama-sama" ia selalu berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat itu.
Ia juga mudah sakit, sama sepertiku. Bedanya Aku Asma, dan ia pusing. Tiap menumpuk masalahnya ia selalu mengeluhkan pusing padaku. Kukira hanya pusing biasa, tapi pernah ia pusing sampai pingsan berjam jam di kasur. Semua orang mengira ia tidur. Tapi baru tersadar saat sudah melewati tiga waktu sholat dan ia tak bisa dibangunkan. Sempat terbesit dalam hatiku, jangan-jangan pusingnya ini nggak biasa.
Setelah tahun ke tiga di SMP, ia memilih untuk melanjutkan di Ma'had lain yang ada di Bekasi, tempat kakaknya akan Wiyata Bhakti di sana. Tetapi aku memilih untuk menambah setahun lagi di Ma'had ini untuk menyelesaikan hafalanku.
Suatu sore ibunda dari Rahma datang ke Ma'had. Memanggil aku dan teman-temanku. Wajahnya menyimpan mimik  serius. "Tolong yaa jenguk Mbak Rahma, Mbak Rahmanya sedang koma, kemarin sempat menggigau, manggil-manggil Mbak Khonsa' dan teman-temannya, sepertinya ia kangen dengan teman-temannya disini. Sekarang dirawat di Rumah Sakit Sultan Agung."
Akhirnya kami berhasil mendapat izin untuk menjenguk Rahma di Rumah sakit. Rupanya pusing yang dideritanya semakin hebat. Beberapa kali ia didapati pingsan mendadak saat sedang berjalan. Bahkan ia pernah Sholat tanpa mengenakan jilbab. Ia tidak bisa membedakan kenyataan dan imajinasinya.Â
##
Menjelang maghrib kami sudah kembali ke Ma'had. Malam harinya, aku begadang dengan kedua orang temanku untuk melanjutkan menghafal. Karena kami kelas sepuluh hanya sembilan orang, kami ditempatkan dalam satu kamar. Jam setengah dua saat kami hampir tertidur, Ustadzah mengetuk pintu. Ustadzah mengabarkan kalau Rahma sahabatku baru saja meninggal. Hampir saja aku berteriak. "Innalillahi..."
Baru saja beberapa jam yang lalu kami menjenguknya di Rumah Sakit. Meski dalam keadaan koma, aku masih bisa melihat naik turun nafasnya pada kantong oksigennya. Kali ini aku benar-benar tak bisa menangis.
Tiba-tiba pikiranku kosong. Kematian itu begitu dekat! Bagaimana kalau yang mati itu aku? Teringat aku pernah berdo'a berkali-kali aku ingin diwafatkan setelah abiku, seperti Fathimah yang wafat tak lama setelah Rasulullah. Bagaimana kalau do'aku terkabul? Aku belum siap. Aku belum banyak beramal. Aku masih belum menyelesaikan hafalanku. aku takut mati. Â Akupun tetap dalam posisi duduk di atas kasur dengan pikiran yang berkecamuk sampai menjelang azan shubuh. "Sa' sadar!" temanku mengguncangkanku. "Sudah, Tahajud, Berdo'a sana. Jangan melamun terus!" Astaghfirullah! Aku lupa ada Allah yang bisa menjadi tempatku mengadu.
##
Ketika Asmaku kambuh, aku selalu teringat kematian. Dalam derau nafasku yang berat, aku terbayang abiku, sahabatku, keluargaku, dan orang-orang baik di sekelilingku. Bagaimana jika ini nafas terakhirku? Siapkah aku meninggalkan mereka semua? Siapkah aku menyusul abi dan sahabat terbaikku? Orang sholeh selalu disegerakan wafatnya.
Banyak hal yang terjadi kepadaku, hal itupun membuatku tumbuh menjadi lebih kuat dan tahan menghadapi masalah. Kita tidak pernah tahu darimana masalah itu datang, karena dimanapun kita, dalam kondisi apapun kita, masalah akan selalu berhasil mendatangi kita. Maka yang harus kita lakukan adalah menghadapinya dengan hati-hati dan tetap sabar. Bahkan dengan masalah itu akan menempa jiwa kita menjadi lebih bijak.
Karena hidup ini hanyalah sebuah pengembaraan. Saking singkatnya seperti beristirahat di bawah pohon, lalu melanjutkan lagi ke pengembaraan berikutnya. Pada empat fase kehidupan manusia yaitu Alam Rahim, Alam Dunia, Alam Barzakh, dan Alam Akhirat. Kita masih punya dua tempat yang harus dituju. Maka seperti pengembara, ambil sekedarnya untuk perbekalan, dan tinggalkan yang memberatkan perjalanan. Wallahu A'lam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI