Malam itu aku sempat terbangun karena terbatuk, mendapati umiku sedang memijat kepala abi, dan menempelkan kompres pada dahinya. Ooh, abiku masih sakit rupanya. Umi langsung mengolesi minyak kayu putih ke punggungku dan juga perutku. Mengurut punggungku pelan.
"Sesak nggak nak?" Tanya umiku. Aku hanya mengangguk lemah. Tetapi umi menenangkanku,
"Sudah, tidur lagi saja" kata umi sambil mengelus kepalaku dan mengeratkan selimutku.
##
Aku terbangun dengan kaget. Semua orang mengelilingi dipan. Di sampingku, ada pemandangan yang nggak bisa digambarkan, diluar ekspektasiku. Pemandangan yang seringkali kulihat dalam serial film TPI Hikayat, acara siang kesukaanku.
Apa ini? Proses sakaratul maut? Siapa? Abiku sendiri? Aku menyaksikannya di depan mataku?
Kulihat abiku tersengal-sengal, matanya melirik ke atas seperti ada sesuatu yang mengancamnya di sana. Umiku berusaha membuka mulut abiku, dan bundaku menalqin di telinga Abiku, "laaIlaahaIllallah" kakak-kakakku mengelilingi dipan dengan pandangan seolah tak percaya. Sementara di masjid samping Rumahku Shalat Shubuh sudah selesai dilaksanakan.
Aku berdiri dan mundur beberapa langkah, mencoba mencari tembok untuk mengembalikan kesadaranku. Ya Allah, ini nyata? aku tanya mbak May, kakak keduaku, "Mbak ini beneran?" sementara ia hanya menggeleng dan menangis sesenggukan.
Aku setengah nggak percaya, bingung antara harus sedih atau senang. Di samping aku akhirnya bisa melihat adegan seperti di film yang nyata di depan mataku, tapi nggak menyangka bisa terjadi padaku.
Ngomong-ngomong, umurku 5 tahun waktu itu. Meskipun semua orang menganggapku masih kecil dan tidak paham perkara dewasa. Tapi aku cukup tahu, lewat penghayatan dari film-film yang sering kutonton kala itu. Aku juga seorang pemerhati yang hebat. Bahkan aku bisa menirukan beberapa jargon dari iklan di TV. Aku juga sedikit banyak tahu tentang perkara syariat, karena aku beberapa kali diajak Abi untuk menemaninya mengisi kajian di Masjid Agung Jateng.
"Mas, tolong panggilkan pak Nuri!! Minta tolong tetangga yang lain!" Â pinta bundaku kepada abang pertamaku. Tanpa basa-basi, abangku langsung berlari ke gang sebelah, rumah sahabat Abiku berada. Tak lama kemudian pak Nuri datang dengan masih menggunakan sarung dan kaos singletnya, sepertinya beliau terburu-buru dan tidak sempat untuk memakai bajunya.