"Dimana pak Achsan?" tanya beliau yang langsung menerobos masuk ke kamar abiku. Umiku menutupi mukanya dengan ujung jilbab, karena umiku bercadar sedang bundaku tidak. Tepat saat pak Nuri datang, abiku menghembuskan nafas terakhirnya.
Semua orang menahan napas, untuk waktu tiga detik mendadak sepi. Lalu dibuyarkan dengan teriakan Pak Nuri,
"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roojiun!"
 disusul tangisan kakak-kakakku. Umiku yang sedang menggendong adikku memelukku dengan erat. Umi mengatakan, "nggak apa-apa nak, nggak apa-apa"
kemudian umi menuntunku, "kalau ada orang meninggal bilang apa nak, Inna Lillahi...?" lalu aku mengikuti umiku mengucapkan kalimat Istirja' tersebut. Belakangan aku baru sadar, ternyata umiku sangat tabah ketika menghadapi kematian abiku.
Bahkan abang pertamaku yang sudah besar itu menangis keras, Pak Nuri juga. Aku menahan tawa dengan mulutku, kok orang dewasa masih nangis sih, laki-laki lagi. Banyak tetangga berdatangan, mengecek keadaan, menenangkan bunda dan umiku, dan membantu prosesi yang harus dilakukan.
Aku mondar mandir keluar masuk kamar abiku, ini nggak mungkin! Jangan jangan sekarang aku anak yatim? Aku anak yang perlu dikasihani? Aku nggak punya abi lagi? Rasanya seperti mimpi! Hingga aku tersadarkan dengan suara speaker masjid yang mengabarkan kematian abiku.
 Oke, ini nyata. Mendadak kakiku lemas, aku benar-benar tidak siap menerimanya. Nggak mungkin, aku masih ingin menemani Abi untuk berdakwah, masih banyak tempat yang ingin aku kunjungi bersama Abi, lalu bagaimana dengan janji-janji yang dulu pernah Abi tawarkan padaku?
Aku teringat dahulu abi pernah mengelus kepalaku dan berkata, "Abi masih ingin lihat kamu dewasa, semoga kamu cepat besar ya nak, sekolah yang baik, dan berdakwah seperti Abi" Aku hanya bisa cengengesan kala itu. Tapi sepertinya Abi sudah punya firasat bahwa hidupnya nggak akan lama lagi.Â
##
Tidak banyak hal yang bisa aku kenang dari abiku. Karena saat itu aku masih kecil dan abi jarang di rumah, sebagian besar hidupnya dicurahkan untuk dakwah. Abi meninggalkan umiku yang saat itu masih mengandung 2 bulan adik ke 5ku. Masa Iddah yang selama 7 bulan itu terasa seperti setahun bagiku. Karena aku tidak bisa pergi ke mana-mana. Kasihan adikku belum pernah bertemu abi.