Mohon tunggu...
Filivi Delareo Wanwol
Filivi Delareo Wanwol Mohon Tunggu... -

Stock Observer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesona Potretmu

3 Oktober 2017   15:29 Diperbarui: 3 Oktober 2017   15:36 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Iya itu benar, ibu tidak setuju dan mengatakan bahwa aku harus fokus belajar saja. Urusan itu belakangan."

"Ibu juga selalu berkata demikian kepadaku, tidak pernah sedikitpun beliau ingin memahami diriku ini. Padahal kan aku juga sudah dewasa, setidaknya ibu bisa memberikan jawaban yang bersahabat dan logis dibanding jawaban monoton itu." Gadis ini menjawab dengan nada kesal,

Aku menarik napas panjang, merapihkan pakaian, lalu berkata,

"Ibu selalu berusaha menjadi yang terbaik. Entah itu mendengarkan ceritamu, menemanimu disetiap langkah kaki kecil itu, menanyakan kabarmu, memasak makanan kesukaanmu, tertawa mendengar leluconmu, tersenyum ketika beliau sedang sakit, atau sekedar menciptakan kebahagiaan kecil dalam hidupmu. Ibu paman selalu berkata, bahwa paman belum pernah tua, sedangkan ibu sudah pernah muda. Ibu paman selalu punya harapan yang besar untuk setiap anak yang telah dirawat semenjak kecil. Ajaran dari dahulu kan sudah jelas. Bahwa dengan belajar yang keras kita pasti bisa mencapai tujuan kita. Ibu hanya ingin anaknya sukses dan bahagia, sehingga ibu mengharuskan kita untuk fokus dengan pelajaran dibanding hal yang lain." Ucapku,

Gadis ini mendengar omonganku dengan serius, sehingga aku melanjutkan lagi,

"Ibu paman merupakan wanita yang tangguh. Bahkan dapat dibilang benar-benar tangguh. Beliau hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama, tidak seperti ibumu yang menikmati dunia perkuliahan. Ibu paman tidak paham mengenai rumusan matematika atau fisika yang sangat rumit, beliau bahkan tidak terlalu paham mengenai struktur bumi atau bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, beliau punya jutaan pengalaman yang siap diberikan kepada paman ketika paman terjatuh dan membutuhkan dukungan." Mataku mulai berkaca-kaca ketika sedang berbicara mengenai ibu. Tapi tak apa, gadis ini harus mendapatkan jawabannya.

"ketika paman sakit, beliau selalu ada di samping paman untuk menemani hari-hari paman. Menanyakan apakah paman sudah lebih baik atau tidak, lalu memanjakan paman layaknya seorang raja. Ketika paman jatuh cinta, beliau berkata bahwa paman harus fokus dengan pendidikan terlebih dahulu. Karena dengan pendidikan yang tinggi kelak, kamu bisa sukses dan gadis-gadis akan selalu mau denganmu. Ketika paman ingin bercerita mengenai sesuatu yang paman takutkan di masa depan, beliau selalu berkata bahwa masa depan dapat kita ciptakan dari masa sekarang. Tinggal kitanya saja apakah ingin berusaha untuk menciptakan masa depan yang cerah atau tidak. Ketika paman ingin mendapatkan sesuatu, beliau selalu berkata bahwa jangan lihat hasil yang didapatkan. Tapi nikmatilah perjalanan untuk mencapai hasil itu. Semua nasehat ini merupakan nasehat seorang ibu. Namun, jika kamu bisa melihat lebih dalam lagi dan memahami mengenai perasaan yang disampaikan. Kamu bisa tahu bahwa semua kata itu merupakan kata-kata sahabat dan teman hidup. Permasalahannya bukanlah di ibu yang harus menjadi sahabat, tapi apakah kita mampu memahami setiap jerih payah yang ibu lakukan untuk memberikan kebahagiaan kepada kita, walaupun itu sekecil ucapan selamat pagi dan kecupan sebelum tidur."

 Air mata ini sudah membanjiri pipiku, aku mengusap air mataku dengan tangan. Lalu menatap gadis belia yang sedari tadi mendengarkan. Kulihat ada semangat di matanya yang tersamarkan oleh air mata. Ternyata gadis ini juga menangis.

"Paman, terima kasih sudah menasehatiku. Aku tidak pernah sedikitpun mau memahami ibu, aku merasa bahwa setiap keinginan yang ibu minta dan aku lakukan, itu sudah termasuk bagian dalam memahami ibu. Tapi ternyata aku salah, memahami ibu lebih dalam maknanya dibanding apa yang aku sadari selama ini. Aku seharusnya tidak egois memaksakan ibu untuk memahamiku, tapi lebih baik aku yang berusaha untuk memahami ibu dan menghargai setiap jerih payah yang beliau lakukan untuk kebahagiaanku." Ucap gadis itu, terdengar bijak dan cukup dewasa untuk anak seusia dia.

Kami menikmati sore itu bersama, sampai tidak terasa terdengar adzan pertanda sore ini telah berakhir. Adiknya datang menghampiri dirinya dan mengajak dia untuk segera pulang. Aku bangkit berdiri dan melangkah pergi. Namun, terdengar suara gadis itu berteriak,

"Sampaikan salamku untuk ibu paman yang hebat itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun