"Bukankah seorang sahabat pasti pernah meminta kamu untuk melakukan sesuatu? Entah itu hal besar atau kecil, pasti pernah. Ketika ibu sudah mengatakan hal sedemikian rupa, bukankah kita dapat memaknai kata itu sebagai sahabat yang meminta tolong kepada diri kita?"
Gadis belia itu tidak dapat berkata-kata, dia hanya mendengarkan omonganku namun tetap menatap adiknya yang bermain bola. Aku mengeluarkan roti isi daging yang aku bawa, kuberikan 1 potong kepada dirinya. Lalu dia mengucapkan terima kasih dan melahapnya.
"Menurutmu, roti isi daging itu aku berikan sebagai tanda apa?" tanyaku,
"Pertemanan?" dia mencoba menjawab,
"Bisa dibilang begitu. Bisa juga dibilang permusuhan, atau perselisihan, atau persahabatan, atau per-per yang lainnya. Tapi tahukah kamu, bahwa ibu pasti membuatkan makanan terbaik untuk dirimu. Mengapa kamu tidak pernah berpikir bahwa itu merupakan tanda pertemanan antara dirimu dengan ibumu?"
"Tapi paman, bukan pertemanan dan persahabatan seperti itu yang aku mau. Aku ingin ibu benar-benar menjadi seseorang yang memahamiku. Bukan hanya apa kemauan ibu yang aku turuti. Ibu selalu ingin aku bisa melebihi ibu yang lulusan sarjana." Gerutu Vela,
Aku meminum susu cokelat yang sudah kubawa, aku tidak perlu terburu-buru untuk menjawab atau menyanggah pertanyaan gadis belia ini. Karena aku tahu, jawaban yang dia butuhkan bukan jawaban filosofis dan bijaksana. Namun, jawaban yang sederhana dan dapat dipahami oleh dirinya.
"Ketika paman seusiamu, paman merupakan orang yang benar-benar nakal. Selalu membuat masalah di sekolah, jarang sekali tidur siang, menghabiskan waktu hanya untuk bermain bola ataupun mencari ikan di sungai. Hal itu selalu paman lakukan bersama teman-teman satu sekolah, dan mereka juga termasuk anak yang nakal seperti paman. Tapi tahukah kamu? Ibu paman selalu memasak masakan kesukaan paman, bukankah itu hal yang aneh? Seharusnya seseorang seperti paman yang nakal ini harus diberi pelajaran agar tidak nakal lagi. Tapi kenapa ibu malah tetap menjadi seorang ibu?"
"Ya karena itu tugas seorang ibu." Ketusnya,
"Iya itu benar, itu tugas seorang ibu. Menginjak umur 15 tahun, paman sudah mulai mengenal namanya cinta. Tapi, paman tidak sedikitpun berani untuk mengungkapkan itu kepada ibu. Karena paman takut kalau tidak disetujui oleh ibu. Namun Tuhan berkehendak lain, paman merasa menyesal jika selalu menutupi apa yang paman lakukan. Malam hari itu, ketika ibu sedang mengusap punggung paman. Paman berkata bahwa paman sedang jatuh cinta kepada seorang gadis. Dan kamu mau tahu apa yang beliau katakan?"
"Pasti beliau tidak setuju." Jawabnya,