Dan, perlu kamu tahu, aku tetap cinta kamu, sayang. Aku tahu, rangkaian kata ini mungkin terdengar konyol, menyedihkan dan mengerikan buatmu.
Masih terngiang teriakanmu, "lima tahun, tidak surat, tidak komunikasi. Dan setelah semua itu, kau bilang cinta? Wanita macam apa kau?" Mukamu merah, mungkin amarahmu sangat dalam padaku. "Semua duka, kesulitan, rasa sakit dan air mata, lalu kau meninggalkanku, membusuk terlupakan. Kini kau bilang mencintaiku, enyahlah…!"
Ah, aku tahu. Bisa kubayangkan sakit yang kau rasa saat aku bersama lelakiku. Aku tidak marah. Percayalah, aku merasakan sakit sepuluh kali dari yang kau rasa. Sakit. Kamu tahu, aku sakit, sayang.
Aku tahu, permintaan maaf tiada dapat menghapus sakitmu. Bukan sakitnya tamparanku di wajahmu, dulu. Ah, sakit ketika kau tahu aku menggapai kenikmatan dengan lelakiku.
Dan di tempat ini, diiringi nyanyian suara pengamen, biarlah aku mengenang dan memimpikanmu… sekejap.
Â
#FiksiBergambarFC -Â by; Je Zee.
Kupilih menepi dari segala ramai. Setidaknya dalam sepi aku bisa berpikir lebih jernih. Mungkin orang-orang di belakang sana tertawa, lucu melihatku. Tapi mana berani mereka mengatakan langsung di depanku.
Begitulah dunia orang-orang ini, mereka membuat kotak-kotak yang membatasi diri mereka sendiri. Hmmm... aku jadi ingat kata-kata Ken.
"Apa artinya kenyang ketika di luar sana masih banyak yang mati kelaparan? Apa artinya nyaman ketika di bagian yang lain masih berperang? Mereka manusia juga, sama seperti kita."
Ada benarnya juga kata-kata Ken. Orang-orang membuat kelompok, seperti mengelompokkan dunia hewan dan tumbuhan. Diberi nama latin masing-masing spesies agar mudah membedakan. Sementara buat tumbuhan dan hewan itu apa pentingnya para manusia memberi nama. Mereka tidak perlu nama dan gelar apa pun dari manusia.
Lalu, kotak-kotak itu juga berlaku buat sesama manusia. Memberi nama masing-masing suku bangsa. Apa perlunya penamaan jika saling menumpahkan darah? Juga apa perlunya kita menyebut diri kita manusia dengan hati dan budi pekerti?
Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri, terlalu rumit, atau aku yang membawa kerumitan itu sendiri? Membawanya tanpa sadar, seperti sepatu yang mengikuti langkah si pemilik kaki.