Satu jam, dua jam ... lima jam berlalu sudah. Kegelisahan semakin tergurat jelas di wajah Kenzya, manakala Dygtha belum juga menampakan batang hidungnya. Entah sudah berapa puluh nomor telpon teman dan saudara Dygtha telah dihubungi Kenzya, tapi tidak satu orang pun yang tahu keberadaan Dygtha setelah kerusuhan demo buruh tadi sore.
Rencananya hari ini mereka berdua akan pulang ke kota kelahiran Kenzya untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Akan tetapi, sebagai ketua SPSI, Dygtha tentu harus berada di garis depan saat melakukan demo kenaikan upah buruh, di depan Istana Negara.
"Ini tuntutan bukan hanya untuk masa depan kita, Sayang. Tapi juga masa depan jutaan keluarga buruh di luar sana. Aku janji akan langsung menemuimu di stasiun begitu demo selesai. Kita berangkat ke kotamu naik kereta terakhir, ya," kata Dygtha seraya menyerahkan dua lembar tiket kereta, tadi pagi.
Satu jam, dua jam ... lima jam berlalu. Sebuah berita pagi dari sebuah televisi di sudut peron mengabarkan; daftar korban jiwa akibat kerusuhan demo buruh.
"Inikah masa depan yang ayahmu janjikan, Nak?" isak Kenzya sambil mengelus perutnya pelan. Sebuah 'test pack' bergaris dua yang rencananya akan dia perlihatkan ke Dygtha, jatuh ke lantai.
Chiayi, 17 Februari 2016.
#FiksiBergambarFC - by; 'Granito Ibrahim.
Menunggu Bruce Lee
Pada sebuah dermaga kapal feri di Hongkong, dua orang perempuan duduk menunggu sesuatu. Satu jam, dua jam, tepat di jam ketiga salah seorang perempuan tak sabar lagi membuka percakapan.
“Mbak, dari Indonesia ya?”
“Ya. Kok tahu?”
“Saya nebak-nebak saja, kok. Mau cari pekerjaan, ya?”
“Oh, tidak. Saya lagi menunggu cowok pujaan, katanya dia ada di dekat sini.”
“Begitu ya? Cowok asal Hongkong?”
“Benar! Namanya Bruce Lee. Mbak kenal dia?”
“Saya sudah tiga tahun kerja di sini. Setahu saya dia sudah meninggal lama.”
“Ah, masa? Baru beberapa hari yang lalu saya nonton filemnya.“
“Tuh mbak, dia sudah jadi patung. Lihat sendiri kalau nggak percaya.”
“Hah, kok bisa ya?”
“Nggak tahu, barangkali dulunya dia anak durhaka.”