Siang itu, matahari bersinar terik di atas langit Kampung Namukaes, sebuah kampung kecil yang terletak tak jauh dari kota besar. Empat mahasiswa dari Universitas Mulya baru saja tiba dengan membawa barang-barang mereka, dengan penuh semangat siap untuk memulai perjalanan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mereka. Mereka adalah Kartika, Ratri, Mukhlis, dan Rangga, masing-masing dengan latar belakang studi yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama: melaksanakan pengabdian kepada masyarakat.
Rumah kontrakan yang mereka sewa tampak sederhana, namun cukup nyaman. Dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu toilet, dan satu dapur, rumah ini akan menjadi tempat tinggal mereka selama sebulan ke depan. Harga sewanya pun terbilang murah, hanya Rp800.000 per bulan, sehingga tidak terlalu membebani keuangan mereka.
"Kayaknya sih nyaman aja," ujar Kartika sambil meletakkan tasnya di sudut ruang tamu. Kartika, mahasiswa Program Studi Akuakultur dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, tampak antusias meski sedikit lelah setelah perjalanan panjang.
"Masalahnya bukan di tempat tinggal. Jumlah kita cuma empat orang. Kelompok-kelompok yang lain mayoritas ada enam sampai delapan orang," keluh Mukhlis. Mukhlis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Dengan perawakan tinggi dan berkacamata, ia tampak cerdas dan berwibawa.
Kartika mengangguk setuju. "Iya nih, temanku ada yang cuma bertiga. Entah kenapa pembagian kelompok ini sistemnya aneh banget. Apa coba pertimbangan membagi dengan jumlah yang jomplang begini?"
Ratri, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, menimpali, "Mungkin karena ada banyak yang enggak bisa ikut KKN tahun ini. Teman-temanku ada yang ikut program magang atau pertukaran pelajar."
Rangga, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang sejak tadi sibuk mengatur barang-barangnya, ikut nimbrung perbincangan teman-temannya. "Ngomong-ngomong, siapa nih yang mau jadi ketua kelompok kita?"
Mukhlis mengajukan dirinya dengan penuh percaya diri. "Biar aku. Aku mau jadi ketua kelompok. Ada yang enggak setuju?"
Semua orang saling pandang sejenak, namun tak ada yang menyuarakan keberatan. "Aku setuju," kata Ratri. "Kamu kelihatan paling cocok jadi pemimpin."
Kartika dan Rangga mengangguk setuju. "Oke, Mukhlis. Kami percaya sama kamu," tambah Rangga dengan senyum.
Mukhlis tersenyum lega. "Terima kasih, teman-teman. Aku akan berusaha menjalankan amanah ini dengan baik."
Setelah kesepakatan itu tercapai, mereka mulai berbenah. Kartika dan Ratri memilih kamar yang ada di dekat dapur dan toilet sementara Mukhlis dan Rangga menempati kamar yang berada dekat dengan ruang tamu. Ruang tamu yang luas dan terang menjadi tempat berkumpul mereka. Suara riuh burung di luar jendela dan gemerisik angin di pepohonan menciptakan suasana damai yang sangat berbeda dengan kebisingan kota.
Mereka mulai berdiskusi mengenai pembagian tugas dan program kerja di ruang tamu. Mukhlis, dengan buku catatannya, memimpin pertemuan ini dengan serius namun santai.
"Kita memiliki dua macam program," jelas Mukhlis sambil menatap teman-temannya satu per satu. "Pertama, tentu saja semua sudah tahu dan sudah mempersiapkannya yaitu program pribadi sesuai dengan Program Studi masing-masing. Kedua, program kelompok yang akan kita kerjakan bersama-sama. Yang ini, akan kita rancang dan susun bersama berdasarkan hasil pertemuan kita besok di balai bahasa."
Mukhlis melanjutkan dengan nada lebih serius, "Untuk menjalankan program, kita harus bergantian. Maksudnya, harus selalu ada satu orang yang tinggal di rumah kontrakan ini jika saja ada warga atau pihak kampung yang ingin berkomunikasi dengan kita."
Kartika mengangguk. "Itu ide yang bagus. Kalau ada yang datang dan tidak ada yang menyambut, bisa-bisa mereka menganggap kita tidak serius KKN di sini."
Semua orang setuju dengan rencana Mukhlis setelah mendengarkannya dengan seksama. Mereka pun mulai menyusun jadwal giliran berjaga di rumah.
Keesokan harinya, suasana pagi di Kampung Namukaes terasa sejuk dan tenang. Mukhlis, Rangga, dan Ratri sudah bersiap-siap untuk pergi ke balai kampung. Mereka berpakaian rapi dan mengenakan almamater Universitas, siap untuk bertemu dengan aparat kampung dan memulai program KKN mereka.
"Kartika, kami pergi ya," kata Mukhlis sambil mengemas barang-barangnya. "Kamu jaga rumah ya. Kalaua da warga yang datang, catat aja dulu keperluan mereka. Nanti kita diskusikan setelah kami kelar."
"Aman, siap, Mukhlis," jawab Kartika dengan senyum dan semangat. "Jangan lupa ya bawakan makanan buat aku."
Rangga menoleh dan bertanya, "Kamu mau makan apa?"
Kartika berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku makan apa aja yang kalian bawa kok, asal bukan udang. Aku alergi udang."
Rangga mengangguk. "Oke, aman aja. Tunggu ya. Jangan mati kelaparan di rumah."
Siang itu, Kartika sendirian di kamar, menikmati waktu luangnya dengan scrolling TikTok. Ia menikmati berbagai video lucu dan menarik, tertawa kecil sendiri. Namun, keasyikannya terhenti ketika ia mendengar suara dari arah ruang tamu. Suara itu terdengar seperti lemari yang terbuka dan tertutup berulang kali. Kartika menghentikan scrolling dan mendengarkan lebih seksama. Setelah beberapa saat, yang terdengar hanyalah keheningan.
Ia mencoba kembali menikmati videonya, tetapi tiba-tiba terdengar sesuatu yang sangat berat terjatuh dari arah ruang tamu. Jantung Kartika berdetak kencang. Ia bangkit dari posisi rebahannya dan duduk tegak di atas kasur.
"Kartika," terdengar suara yang samar-samar memanggil dari kejauhan, meminta Kartika untuk membantu. Suara itu mirip dengan suara Rangga. Kartika merasa bingung, karena seharusnya Rangga bersama Mukhlis dan Ratri sedang berada di balai kampung.
"Lah, Rangga? Tunggu ya. Aku ganti baju dulu," seru Kartika. Ia mengenakan kaos pendek dan celana pendek, tidak pantas jika harus bertemu dengan laki-laki. Kartika buru-buru mengenakan baju panjang dan jilbab.
Sembari Kartika berganti pakaian, suara Rangga terus-terusan memanggil namanya. Kartika merasa cemas dan heran, mengapa Rangga bisa ada di rumah dan apa yang terjadi padanya sehingga terdengar seperti kesakitan.
Saat Kartika selesai berpakaian, ponselnya yang tergeletak di atas kasur berbunyi. Ia melihat layar ponsel dan terkejut karena Mukhlis yang menelepon. Kartika segera mengangkat telepon.
"Halo, Mukhlis?" sapa Kartika dengan suara bergetar.
"Tik, ini Rangga. Aku pake HP Mukhlis karena sinyal HPku jelek banget," terdengar suara Rangga dari seberang telepon.
Kartika merasa darahnya berhenti mengalir sejenak. Suara Rangga jelas terdengar dari ponsel, tapi tadi ia juga mendengar suara Rangga di dalam rumah.
Kartika hanya terdiam dan tidak dapat berkata apa-apa walaupun bibirnya terlihat bergerak.
"Tik, jadi ini kami habis diskusi. Ini tentang budidaya hasil olahan ikan. Kampung ini butuh bimbingan dari kamu sebagai mahasiswa jurusan Akuakultur," kata Rangga di telepon.
Kartika terdiam, tubuhnya gemetar, tangannya seperti kesulitan untuk mempertahankan ponsel agar tidak terjatuh. Siapa yang memanggil namanya dari luar kamar kalau Rangga sekarang sedang berada di balai kampung?
Suara rintihan kesakitan yang tadi terdengar mulai mereda. Kartika merasa ketakutan dan bingung. Ia mencoba berpikir jenirh, tapi pikirannya kacau. Ia mengunci pintu kamar dengan cepat dan meminta teman-temannya untuk segera pulang.
"Rangga, tolong cepat pulang. Ada yang aneh di sini," kata Kartika dengan nada panik, hampir menangis.
"Sabar, kami lagi di jalan pulang, tapi mau mampir dulu beli makan," jawab Rangga.
"Tolong cepat pulang sekarang!" teriak Kartika, air matanya mulai mengalir. Tiba-tiba, telepon terputus. Kartika memandang layar ponselnya yang gelap, perasaan takut merayapi tubuhnya.
Suara Rangga kembali terdengar dari luar kamar. Kali ini lebih lembut, tapi semakin lama semakin mendekat. Kartika emrasa jantungnya berdegup semakin kencang. Ia duduk di pojok kamar, gemetar ketakutan. Suara itu hanya memanggil namanya berulang kali.
"Gagang pintu bergerak, dia berusaha membuka pintu yang terkunci," pikir Kartika panik. Awalnya, gedoran di pintu terdengar lembut, tapi lama-kelamaan semakin keras dan kasar.
"Rangga, jangan!" teriak Kartika. Suara gedoran berhenti, meninggalkan keheningan yang mencekam.
Suara teman-temannya tiba-tiba terdengar dari luar rumah. Kartika segera bangkit, membuka kunci pintu kamar, dan berlari ke pintu depan. Ia berharap bisa melihat teman-temannya.
Namun, ketika Kartika membuka pintu rumah, yang ia lihat hanyalah keheningan kampung. Tak ada siapa pun di sana. Kartika berdiri di ambang pintu, merasa ketakutan dan kebingungan. Ia merasa bahwa rumah bagus dan murah ini berhantu.
Mukhlis, Rangga, dan Ratri pulang kembali ke rumah kontrakan mereka. Namun, saat mereka mendekati rumah, Rangga melihat pintu depan terbuka lebar. Ia merasa ada yang tidak beres dan segera memanggil Kartika.
"Kartika? Tika, kamu di mana?" panggil Rangga, suaranya sedikit cemas.
Tidak ada jawaban dari dalam rumah. Mukhlis, Rangga, dan Ratri saling berpandangan sebelum memutuskan untuk masuk. Mukhlis meminta Ratri untuk memanggil Kartika di kamar, sementara ia dan Rangga menunggu di ruang tamu.
"Rat, buruan panggil Kartika. Makan bareng di ruang tamu," kata Mukhlis dengan tenang meskipun hatinya sedikit gusar.
Ratri mengangguk dan berjalan menuju kamarnya dan Kartika. Ia membuka pintu dengan pelan dan melihat Kartika berada di pojok kamar, dia berasumsi bahwa Kartika sedang tidur. Namun, Ratri merasa ada yang aneh. Kartika tertidur dengan baju tertutup dan berjilbab, padahal dia hanya sendirian di rumah.
"Tik, bangun. Kita makan bareng di ruang tamu," bisik Ratri sambil menyentuh bahu Kartika dengan lembut.
Mukhlis dan Rangga sedang berdiskusi ringan saat Ratri dan Kartika muncul di ambang pintu.
"Ayo, kita makan sekalian diskusi," kata Mukhlis sambil tersenyum, berusaha mencairkan suasana.
Mereka duduk di lantai tanpa alas. Hidangan sudah tertata rapi: ikan nila, udang goreng, cumi goreng, capcay, dan cah kangkung. Kartika duduk dan muai makan dengan lahap, sesuatu yang membuat teman-temannya terkejut dan tergelitik.
"Lapar banget, Tik?" canda Rangga, mencoba mencairkan suasana.
Namun, Kartika hanya diam membisu, tidak merespon sama sekali. Ia terus makan dengan sangat lahap, memakan segala yang ada di hadapannya tanpa berhenti. Mukhlis, Rangga, dan Ratri saling bertukar pandang, bingung dengan apa yang mereka saksikan.
Rangga terkejut ketika ia melihat Kartika memakan udang. "Tik, kok makan udang? Kamu bilang kamu alergi udang, kan?" tanyanya dengan nada cemas.
Kartika tidak mengatakan apa-apa, hanya melanjutkan makan seolah-olah tidak ada yang mengganggunya. Suasana menjadi canggung dan tegang, rasa cemas juga mulai menyelimuti Mukhlis dan Ratri.
Tiba-tiba, suara ponsel Mukhlis berbunyi. Mukhlis melihat layar ponselnya dan melihat nama Kartika yang meneleponnya. Mukhlis merasa bingung dan curiga. Bagaimana mungkin Kartika meneleponnya padahal ia sedang duduk di hadapannya?
Mukhlis mengangkat telepon dengan ragu sembari menatap ke arah Kartika. "Halo?"
Suara di seberang telepon adalah suara Kartika, terdengar panik dan ketakutan. "Mukhlis, pergi dari rumah itu! Pergi sekarang karena ada sesuatu di rumah itu! Dia tadi meniru suara Rangga dan suara kalian!"
Mukhlis terdiam, terpaku mendengar teriakan dari telepon. Ia memandang ke arah Kartika yang sedang makan dengan lahap, tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan atau alergi.
"Klis, kenapa?" tanya Rangga, melihat wajah Mukhlis yang pucat.
Mukhlis tidak menjawab. Ia perlahan bangkit dari duduknya, mencoba untuk bergerak menuju pintu depan tanpa menarik perhatian Kartika. Namun, saat ia hendak melangkah ke arah pintu, Kartika menatapnya dengan tajam.
"Mau ke mana?" tanya Kartika dengan suara yang terdengar berbeda, lebih dalam dari biasanya.
Mukhlis merasa bulu kuduknya merinding. Ia mencoba tersenyum, meskipun hatinya berdebar kencang. "Anu... aku mau ambil helm di motor," jawabnya dengan suara pelan, berusaha terlihat tenang.
Kartika tetap menatapnya, seolah-olah tidak percaya. "Tinggal aja di motor," kata Kartika dengan nada tegas, lalu melanjutkan makannya kembali.
Mukhlis terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa seperti terperangkap di dalam mimpi buruk. Mukhlis menoleh ke arah Rangga dan Ratri, yang terlihat bingung dengan apa yang baru saja mereka lihat.
"Kartika yang asli meneleponmu, ya?" kata Kartika dengan suara yang terdengar seperti suara dua orang, menatap ke arah Mukhlis dengan senyuman yang lebar.
"Kartika... Kartika kan kamu? Kamu Kartika," kata Mukhlis yang dengan jelas terlihat bergemetar, kakinya kesulitan untuk menopang tubuhnya. "Maksudmu Kartika yang asli itu apa? Siapa?"
Kartika tertawa terbahak-bahak, suara tertawa yang ia hasilkan seperti suara tertawa tiga orang yang tertawa bersama-sama. Darah mengalir keluar dari mata kiri Kartika. Ratri tersungkur dan pingsan melihat Kartika yang mengerikan ini.
Rangga menangis, dia seperti ingin pergi namun tubuhnya tidak sanggup menuruti perintah batinnya. Rangga kaku duduk di samping Kartika. "Tolong... jangan... aku takut. Berhenti, ya," kata Rangga yang menangis.
Kartika menatap mereka satu per satu, wajahnya yang awalnya gembira setelah tertawa tiba-tiba menjadi datar dan melemparkan tatapan yang tajam. "Aku sudah lama ingin memiliki teman di rumah ini, kalian akan berada di sini selamanya... bersamaku," ucapnya sebelum melanjutkan makan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H