"Tik, jadi ini kami habis diskusi. Ini tentang budidaya hasil olahan ikan. Kampung ini butuh bimbingan dari kamu sebagai mahasiswa jurusan Akuakultur," kata Rangga di telepon.
Kartika terdiam, tubuhnya gemetar, tangannya seperti kesulitan untuk mempertahankan ponsel agar tidak terjatuh. Siapa yang memanggil namanya dari luar kamar kalau Rangga sekarang sedang berada di balai kampung?
Suara rintihan kesakitan yang tadi terdengar mulai mereda. Kartika merasa ketakutan dan bingung. Ia mencoba berpikir jenirh, tapi pikirannya kacau. Ia mengunci pintu kamar dengan cepat dan meminta teman-temannya untuk segera pulang.
"Rangga, tolong cepat pulang. Ada yang aneh di sini," kata Kartika dengan nada panik, hampir menangis.
"Sabar, kami lagi di jalan pulang, tapi mau mampir dulu beli makan," jawab Rangga.
"Tolong cepat pulang sekarang!" teriak Kartika, air matanya mulai mengalir. Tiba-tiba, telepon terputus. Kartika memandang layar ponselnya yang gelap, perasaan takut merayapi tubuhnya.
Suara Rangga kembali terdengar dari luar kamar. Kali ini lebih lembut, tapi semakin lama semakin mendekat. Kartika emrasa jantungnya berdegup semakin kencang. Ia duduk di pojok kamar, gemetar ketakutan. Suara itu hanya memanggil namanya berulang kali.
"Gagang pintu bergerak, dia berusaha membuka pintu yang terkunci," pikir Kartika panik. Awalnya, gedoran di pintu terdengar lembut, tapi lama-kelamaan semakin keras dan kasar.
"Rangga, jangan!" teriak Kartika. Suara gedoran berhenti, meninggalkan keheningan yang mencekam.
Suara teman-temannya tiba-tiba terdengar dari luar rumah. Kartika segera bangkit, membuka kunci pintu kamar, dan berlari ke pintu depan. Ia berharap bisa melihat teman-temannya.
Namun, ketika Kartika membuka pintu rumah, yang ia lihat hanyalah keheningan kampung. Tak ada siapa pun di sana. Kartika berdiri di ambang pintu, merasa ketakutan dan kebingungan. Ia merasa bahwa rumah bagus dan murah ini berhantu.