Metode Transendental berakar dari filsafat hukum klasik, yang memandang hukum sebagai bagian dari tatanan moral yang lebih tinggi. Tokoh seperti Thomas Aquinas dan Cicero memandang hukum sebagai perwujudan dari akal yang benar dan sesuai dengan alam. Dalam pandangan ini, hukum adalah cerminan dari tatanan ideal yang bersifat abadi dan tidak berubah. Hukum alam menjadi dasar dari hukum yang bersifat transendental ini, di mana hukum dianggap sebagai instrumen untuk mencapai keadilan yang bersifat mutlak. Metode ini, meskipun sudah jarang digunakan dalam studi hukum modern, tetap relevan dalam konteks moralitas dan keadilan. Hukum transendental juga dipandang sebagai kritik terhadap hukum positif, yang kadang-kadang tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan yang sesungguhnya.
Metode Analisis Dogmatis, di sisi lain, muncul sebagai respons terhadap kebutuhan praktis akan hukum yang lebih terstruktur dan sistematis, terutama dengan perkembangan industri dan perdagangan pada abad ke-19. Metode ini menekankan bahwa hukum harus dilihat sebagai sistem yang rasional, di mana setiap aturan memiliki tempat dan peran yang jelas dalam menjaga ketertiban sosial. Metode ini juga sangat normatif, dalam arti bahwa hukum dipandang sebagai seperangkat aturan yang harus dipatuhi tanpa mempersoalkan konteks sosial yang lebih luas.
Perkembangan hukum modern tidak bisa lepas dari metode dogmatis ini. Kodifikasi hukum di berbagai negara pada abad ke-19 dan ke-20 merupakan hasil dari pendekatan dogmatis, di mana hukum dipandang sebagai tatanan yang statis dan kaku. Namun, pendekatan ini juga mendapat kritik karena sering kali mengabaikan realitas sosial yang dinamis. Dalam hal ini, metode analisis dogmatis dianggap terlalu formalistik dan legalistik, sehingga kurang mampu menjawab perubahan sosial yang cepat.
Dengan demikian, bab ini menggambarkan bahwa metode dalam studi hukum terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Di satu sisi, metode transendental berfokus pada aspek moralitas dan keadilan universal, sementara di sisi lain, metode dogmatis lebih pragmatis dan berfokus pada kepastian hukum dalam kehidupan sehari-hari.
 BAB III - FUNGSI HUKUM DALAM MASYARAKAT
Bab ini berfokus pada fungsi hukum dalam masyarakat, yang dilihat sebagai alat untuk mencapai ketertiban sosial, pengendalian sosial, dan rekayasa sosial. Hukum, dalam perspektif sosiologi hukum, memiliki peran yang lebih dari sekadar alat untuk menegakkan aturan. Hukum juga dilihat sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mendorong perubahan sosial dan menciptakan stabilitas dalam masyarakat.
Fungsi Pengendalian Sosial (social control) adalah salah satu fungsi utama hukum. Hukum digunakan untuk mengatur perilaku individu dan kelompok dalam masyarakat, dengan tujuan menjaga ketertiban dan mencegah terjadinya konflik. Pengendalian sosial melalui hukum dapat bersifat preventif maupun represif. Fungsi preventif hukum bertujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran dengan cara memberikan pedoman perilaku yang sesuai dengan normanorma yang berlaku. Fungsi represif, di sisi lain, bertujuan untuk mengembalikan ketertiban yang terganggu akibat pelanggaran terhadap hukum.
Menurut Rudolf von Jhering, hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial. Hukum tidak hanya mengatur perilaku individu, tetapi juga berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, hukum bertindak sebagai instrumen untuk mengatasi konflik antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Esensi dari fungsi pengendalian sosial ini adalah untuk memastikan bahwa hukum dapat menciptakan stabilitas dan kepastian hukum dalam masyarakat.
Fungsi Hukum sebagai Rekayasa Sosial (social engineering) merupakan fungsi lain yang tak kalah penting. Hukum berperan sebagai alat untuk mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diinginkan oleh masyarakat. Misalnya, hukum dapat digunakan untuk memperkenalkan norma-norma baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman, atau untuk menghapus kebiasaan-kebiasaan lama yang dianggap tidak relevan lagi. Fungsi ini juga dikenal sebagai fungsi inovasi sosial, di mana hukum berperan dalam mendorong kemajuan sosial dan pembangunan. Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak hanya berfungsi untuk mengukuhkan pola-pola perilaku yang ada, tetapi juga untuk menciptakan pola-pola perilaku baru yang lebih baik.
Fungsi Integrasi Hukum berfokus pada peran hukum dalam menciptakan kesatuan dan kesetaraan dalam masyarakat. Hukum berfungsi untuk menyatukan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat dan memastikan bahwa setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Fungsi ini sangat penting dalam menciptakan rasa keadilan di tengah masyarakat yang majemuk. Selain itu, hukum juga berperan dalam menyelesaikan konflik antara individu atau kelompok dengan cara yang adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kesimpulannya, bab ini menjelaskan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pengendali perilaku, tetapi juga sebagai instrumen perubahan sosial dan penciptaan integrasi dalam masyarakat. Hukum berperan aktif dalam menciptakan ketertiban, stabilitas, dan keadilan dalam masyarakat.