MELANGGAR HUKUM POSITIF (TATA TERTIB LALU LINTAS) dan MELANGGAR HUKUM ISLAM (PACARAN)
Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester ganjil mata kuliah Sosiologi Hukum yang diampu oleh dosen :
MIFTAH SHOLEHUDDIN, M.HI
Disusun oleh :
MOHAMMAD FIDYAN M NIM 14220002
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
Menimbang : bahwa dalam rangka menyadarkan masyarakat dalam menjalani kehidupan agar selamat dunia akhirat.
Latar belakang
Hukum positif adalah aturan yang di keluarkan oleh pemerintah ditujukan untuk membentuk masyarakat yang tertib dan teratur untuk akhirnya mencapai tujuan kesejahteraan bersama.Dalam membentuk semua itu pasti ada tantangan tersendiri entah itu tantangan kecil maupun tantangan besar. Dan yang diartikan sebagai hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan di tegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara indonesia .Dan ada dua unsur hukum positif yaitu :
a.Hukum positif mengikat secara umum atau khusus.
Mengikat secara umum adalah aturan hukum yang berlaku umum yaitu perundang-undangan ( UUD,UU,PP,PD) hukum adat hukum,hukum yurisprudensi,dan hukum agama yang dijadikan atau di akui sebagai hukum positif seperti hukum perkawinan agama (UU No.1 Tahun 1974).Khusus yang beragama islam ditambah dengan hukum waris,wakaf,dan bebrapa bidang hum lainya(UU No. 7 Tahun 1989), Mengikat secara khusus,adalah hukum yang mengikat subyek tertentu atau obyek tertentu saja yaitu yang secara keilmuan (ilmu hukum yang mengikat subyek tertentu atau obyek tertentu.Termasuk juga keputusan presiden yang menetapakan pengangkatan atau pemberhentian pejabat-pejabat alat kelengkapan negara (DPA,BPK,MA) selanjutnya,hukum khusus termasuk juga ketetapan MPR mengangkat presiden dan wakil presiden.Berbagai keputusan konkrit ini dimasukkan juga sebagai hukum positif yang mengikat.Secara lansung mengikat yang bersangkutan.Secara tidak langsung juga mengikat pihak lain. Bagi pihak lain, berbagai keputusan konkrit yang secara tidak lansung mengikat menjadi spiegelrecht. Pengangkatan sesorang menjadi bupati,memberikan hak dan wewenang kepada yang bersangkutan untuk membuat berbagai keputusan yang mengikat, hak atas gaji dan lain sebagainya.Keputusan konkrit ini dijadikan atau sebagainya. Keputusan kongkrit ini dijadikan atau ditegakkan oleh pemerintah atau pengadilan. Dapat pula dimasukkan kedalam hukum positif yang khusus adalah hukum yang lahir dari suatu perjanjian.[1]
b.Hukum positif di tegakkan oleh pemerintah atau melalui pengadilan.
Manusia hidup dan diatur,serta tunduk pada berbagai aturan.Selain aturan umum atau kusus yang telah disebutkan di atas,manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan),hukum agama,hukum moral. Hukum kebiasan,hukum agama,hukum kebiasaan mempunyai daya ikat yang kuat bagi seseorang atau kelompok tertentu.jadi merupakan hukum bagi mereka,tetapi tidak merupakan (bukan) hukum positif.Ketaatan terhadap hukum kebiasaan ,hukum agama,atau hukum moral tergantung pada sikap orang perorangan dan sikap kelompok masyarakat yang bersangkutan.Negara,dalam hal ini pemerintah dan pengadilan tidak mempunyai kewajiban hukum untuk mempertahankan atau menegakkan hukum tersebut.Tetapi tidak berarrti hukum kebiasaan,hukum agama,atau hukum moral tidak berpentang mempunyai kekuatan sebagai hukum positif.
Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata.Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual, politik dan hukum.
Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil hukum syara yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).[2]
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i. Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Hukum Islam mengalami perkembangan yang pesat di periode Nabi Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang berhubungan dengan akidah dihilangkan, sedangkan tradisi lokal Arab yang berhubungan dengan muamalah–sejauh masih sejalan dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami pergolakan dan kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan dengan kondisi sosio-kultural dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut hemat penulis, hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan sunnah) sebagai sumber primer dan fiqh yang diambil dari syariat yang pada dasarnya digunakan sebagai landasan hukum.
Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam, fuqaha memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
a.Wajib
Ulama memberikan banyak pengertian mengenainya, antara lain suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau tidak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab. Contoh, Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari sampai malam telah gelap dan bacalah Al Qur’an di waktu Fajar, sesungguhnya membaca Al Qur’an di waktu Fajar disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari).
b.Sunnah
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Atau bisa anda katakan sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan meninggalkannya tidak berdosa.
c.Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
d.Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.
- Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak [3]mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
Metode pengumpulan data
Dalam proses pengumpulan data,penulis menggunakan dua model pencarian data, penulis menggunakan dua model pencarian data yang sering digunakan dalam penelitian kulitatif yakni metode wawancara dan observasi.wawancara dilakukan kepada beberapa masyarakat yang melakukan melakukan praktek serta pandangan masyarakat umum terhadap praktek tersebut. Dua kelompok narasumber ini dipilih karena untuk mengukur sejauh mana para pelaku dan masyarakat umum memandang dari persepsi personal mereka terhadap praktik pemasangan alat peraga serta perijinan yang benar. Sedangkan observasi digunakan untuk melihat fakta hukum dan fakta sosial.[4]
Teori pancasila untuk mengetahui perkembangan kepribadian
Sekolah sebagai lembaga satu-satunya yang melaksanakan tugasnya secara teratur dan berencana, adalah pada tempatnya yang diperhitungkan secara mendasar. Dengan kata lain sekolah memberi bantuan terbentuknya keperibadian itu secara formal, pembagian dilakukan sebagai berikut:
- Sampai dengan umur 6 th, individu berada dimasa kanak-kanak, dibentuk ditaman kanak-kanak.
- Sampai dengan umur 12 th, individu berada dimasa Anak, dibentuk di SD.
- Sampai dengan umur 18 th, individu berada dimasa pubertas, dibentuk di Sekolah Lanjutan.
- Sampai dengan umur 24 th, individu berada dimasa Dewasa, di bentuk di perguruan tinggi.
Dengan demikian, maka akan dapat dibedakan pula bagaimna cara pembentukannya materi apa yang patut dipergunakan sebagai bahan pembentukan dan tujuan mana yang harus dicapainya. Pembahasan semacam ini, kecuali memudahkan untuk diikuti juga diharapkan para penenangnya lebih mengetahui apa mengapa dan bagaimana melaksanakan tugasnya yang sebenarnya bukan sekedar memberikan bahan-bahan hafalan dari buku pegangan yang kebanyakan dianggap kitab suci, yang hanya menghasilkan pribadi-pribadi verbalis. Justru juga semacam itu adalah yang paling gampang dilakukan.[5]
Pendidikan moral pancasila, demikian nama mata pelajaran disekolah dari SD s/d perguruan tinggi yang hampir sama saja, isi dan cara-caranya, bagaimnapun harus segera kita ganti dengan cara-cara yang lebih benar dan baik, bila kita mengkhendaki agar pribadi pancasila itu benar-benar dihayati oleh pribadi individu bangsa indonesia, sehingga dapat diamalakan dalam tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk diperlukan adanya pertinjauan secara psikophisis pada tiap masa sekolah, untuk dapat dirumuskan apa bahan yang patut disungguhkan dan bagaimana caranya yang tepat yang harus dilakukan oleh guru, dengan cara semacam itu dan dimutlakannya kerjasama antar keluarga, sekolah dan masyarakat, kiranya tuuan akhir daripada PMP itu akan benar-benar sebagimana yang diharapkan oleh bangsa kita.
Tidak banyak gunanya, bahkan cenderung membahayakan kepribadiaan pancasila yang hanya dianggap dibibir untuk berverbal-verbal seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang sebenarnya tidak patut berbuat sedemikian memilik kedudukannya didalam masyarakat.
- Pada masa kanak-kanak, anak didik di taman kanak-kanak. Secara psikophisis, mereka berada di dalam masa realisme naif. Untuk dapat mengerti apa yang diajarkan guru, segala sesuatunya masih harus diberikan secara nyata berperaga. Pengetahuan tentang pancasila cukuplah bila mereka dapat menjawabkan apakah pancasila itu. Materinya adalah sila-sila dalam pancasila yang harus diucapkan secara benar, baik urutanya maupun susunan kalimatnya. Untuk diperlukan cara-cara tertentu.misalkan dalam bentuk lagu, untuk dinyanyikan,
- Sataupun dibawakan sebagai suatu syair yang harus dideklamasikan, dsb. Sehingga tidak akan pernah keliru lagi mereka mengucapkan pancasila seperti yang masih banyak terjadi seseorang yang duduk di SD bahkan di Perguruan Tinggi.
Karena anak anak masih berada didalam nyata, maka guru-guru taman kanak-kanak perlu dipilih dari mereka yang benar-benar mampu memberi contoh berbuat secara pancasilais, sejauh yang diperlukan oleh anak-anaknya. Perlu dijauhkan dari perbuatan anak yang sekecil itu mengetahui bahwa perbuatan gurunya tidak baik/benar. Sianak yang sedang pandai-pandainya meniru, apapun yang dilakukan oleh guru-gurunya akan ditirukannya, sekalipun.
- Sampai dengan umur 12 th, anak-anak duduk di SD. Kehidupan anak sudah masyarakat. Pengetahuan pancasila sudah harus lebih dikembangkan sampai anak dapat menjawab mengapa kita harus berpancasila. Untuk ini dapat digunakan alat pembantunya, yaitu pelajaran ilmu bumi, sejarah, Tata Negara dan Ilmu Sosial lainnya. Justru alam kehidupan anak-anak yang semula bersifat realisme naif itu sudah mulai berkurang karena mulai tumbuhnya daya fantasi anak. Anak sudah dapat menerima bahan-bahan pemikiran yang abstrak sekalipun kadang-kadang memerlukan bantuan dengan benda-benda nyata, untuk sementara.[6]
Perlu ditanamkan pancasila sebagai alat pemersatu, justru negara kita terdiri dari 3000 pulau, dengan macam-macam bahasa suku bangsa kebiasaan, adat, tata cara, bahan makanan, lingkungan, dsb. Kecakapan guru untuk menghubungkan sesuatu mata pelajaran dengan sila-sila dalam pancasila, sangat dibutuhkan. Bahkan harus dijadikan tujuan pendidikan, disamping tujuan pengajaran.
- Sampai dengan umur 18 th, anak duduk di Sekolah Lanjutan. Mereka secara psikophisis, berada di dalam masa pubertas. Dimasa ini para remaja berada didalam keadaan serba tidak menentu. Bimbang ragu, pemenung tetai juga petualang, pemikir tetapi juga pelamun, pemberani tetapi juga penakut, kadang-kadang optimis tetapi juga pesimis. Secara phisis mereka memang sedang berada dalam pertumbuhan jasmani yang optimal. Pertumbuhan tubuhnya menemukan fromnya yang sebenar-benarnya dan hampir tidak akan mengalami pertumbuhan dan pertambahan lagi. Urat-uratnya, pembuluh-pembuluhnya, kelenjar-kelenjarnya seluruhnya telah tumbuh lengkap dan mencapai fungsinya sebagai mana mestinya.
Pada masa ini, para ramaja harus remaja harus sampai pada taraf menjawab tantangan bagaimna kita harus ber pancasila. Apa pancasila dan mengapa harus ber pancasila, harus benar-benar sudah dikuasai supaya dapat ditingkatkan bagaimana. Ini berarti mereka baru saja hafal, tahu atau mengerti, melaikan harus sudah menghayati apa pancasila itu, sebagai bahan untuk dapat menjawab ber Pancasila itu, yang berarti bagaimana mereka harus berbuat dalam kehidupn sehari-hari, sebagai individu yang berkepribadiaan yang pancasila.
- Sampai dengan 24 th, individu sudah berada dalam tingkat dewasa. Ia sudah dapat bertanggung jawab sendiri dalam segala tindakan dan perbuatannya. Kepribadian pancasila sudah sangan terpancar dalam sikapnya, tindakannya, dan dalam cara berfikirnya. Mereka para mahasiswa tidak ada lagi tantangannya kecuali kesanggupan untuk mengamalkan kepribadian pancasilanya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan akan tumbuh menjadi seorang pemimpin atau tidakah mereka itu, bukan harus diuji dengan kemahiran untuk berverbal-verbal dengan kata pancasila dengan kata pancasila, melaikan untuk dilihat bagaimna tata kehidupannya dalam keluarga, bagaimna kehidupannya ditengah masyarakat, bagaimna sikapnya terhadap orang yang manapun, dimanapun dalam keadaan apapun. Kekayaan pengetahuan dalm sesuatu bidang bukanlah syarat sebagai seorang pemimpin.
Para mahasiswa sebagai calon pemimpin, bukanlah mereka yang berani dan berhasil menentang arus, melainkan yang dapat mengendalikan arus untuk diambil manfaatnya bagi kehidupan masyarakat luas.[7]
Fakta sosial pemberlakuan hukum
- Pelanggaran Lalu Lintas
Pemerintah memang telah membuat peraturan tentang tertib lalu lintas. Tetapi tindak lanjut dari pemerintah sangatlah kurang. Meskipun dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 293 ayat 1 yang berbunyi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Tetapi tidak ada tindak lanjut dari kebijakan tersebut. Sehingga masyarakat tidak takut jika mereka melanggar peraturan yang dibuat pemerintah. Bahkan dari mereka meremehkan fungsi lampu utama. Contohnya saja pada keadaan tertentu seperti waktu terjadi kabut seharusnya kita menyalakan lampu utama. Tetapi mereka tidak menghiraukan itu, mereka anggap itu tidak penting untuk keselamatan mereka. Kurangnya sosialisi baik dari pemerintah ataupun dari pihak kepolisian tentang pentingnya tertib lalu lintas di jalan pada kalangan remaja. Hampir tidak pernah ada sosialisasi mengenai apa yang dimaksud dengan lalu lintas, rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya yang berhubungan dengan lalu lintas. Adapun sosialisasi hanya terbatas. Dan sosialisasi yang kurang menarik merupakan salah satu kendala untuk mewujudkan budaya lalu lintas.
Mengapa hal di atas, dapat menjadi kendala dalam mewujudkan budaya tertib lalu lintas di jalan. Karena dengan adanya ego masyarakat yang masih labil sangat mengancam keselamatan mereka. Ketika kondisi pemakai jalan yaitu kalangan masyarakat sekaligus kondisi batin mereka yang tidak stabil maka mereka tidak akan menghiraukan rambu-rambu lalu lintas yang ada. Bahkan mereka sering melamun ketika berkendara, tidak melihat warna lampu merah, berkendara dengan kecepatan tinggi, dan masih banyak lagi. Mereka bersikap seperti itu karena mereka ingin meluapkan semua egonya ketika di jalan tanpa mempertimbangkan keselamatan mereka. Sehingga kendala inilah yang sering terjadi pada kalangan masyarakat. Mereka belum merasa percaya diri terhadap dirinya sendiri. Ego yang labil ini tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga membahayakan pemakai jalan yang lain.
- Pelanggaran Hukum Islam (Berpacaran)
Menurut kaum ‘sekuler’ masalah pacaran boleh saja dan tidak perlu dihalang-halangi apalagi di larang asalkan suka sama suka. Jawaban ini didasarkan atas adanya ide kebebasan individu dan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut hukum ini manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak. Jadi menurut mereka yang berpendapat seperti ini pacaran dianggap boleh berdasarkan dalil ‘kebebasan individu’ asal tidak merugikan dan mengganggu hak-hak orang lain.Ada juga pendapat yang membolehkan pacaran asal tidak melakukan ‘sesuatu’ yang berakibat kehamilan di luar nikah. Kelompok ini punya dalil bahwa hal-hal yang wajar dilakukan seperti jalan berdua, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, nonton bareng, bahkan ikut ‘bobo’ di rumah pasangan tidak mengapa, asalkan tidak melakukan aktivitas ‘bersebadan’ dengan pacar. (Na’udzu billah).Ada juga kelompok yang mengatakan bahwa pacaran, berperilaku serba bebas (Permisivisme), jalan berdua, atau bersepi-sepian merupakan sesuatu yang tidak boleh. Tetapi kalau untuk telepon, surat-menyurat hal itu boleh saja karena tidak terjadi interaksi langsung. Menurut pendapat ini hal tersebut telah sesuai dengan norma-norma syari’at Agama.Islam merupakan agama yang sempurna. Di dalam menjawab persoalan tersebut, Islam memandang bahwa sebelum menyatakan suatu perbuatan itu boleh atau tidak, maka perlu diselidiki fakta mengenai perbuatan yang akan dihukumi tersebut. Termasuk dalam hal ini fenomena pacaran. Pada faktanya pacaran merupakan suatu bentuk interaksi diantara dua insan yang saling menyukai di luar hubungan yang sah (nikah). Aktifitas pacaran yang paling ringan adalah surat-menyurat atau saling telepon kemudian bertemu untuk menumpahkan perasaan masing-masing sampai akhirnya dilaksanakan perbuatan serba boleh itu. Atau kegiatan yang berada di antara yang disebutkan tadi. Secara fakta, kenapa ajaran Islam melarang terhadap aktifitas yang satu ini?
- Untuk menjaga diri dari kemaksiatan; karena orang yang berpacaran seringkali lepas kendali dari norma-norma ajaran Islam yang menjadi batasan bagi dua insan bukan mahrom yang berlainan jenis tanpa tali pernikahan.
- Karena akan mendapat kerugian, disadari atau tidak orang tersebut telah merugikan diri sendiri dengan cara mengorbankan waktu maupun dana, khususnya bagi generasi muda Islam, baik dari kalangan anak sekolah, mahasiswa, santri, remaja masjid, karyawan dan sebagainya yang ingin hidupnya terhindar dari sipat boros. Karena dana-dana yang dimiliki baik pemberian orang tua maupun hasil dari kerja sendiri tentunya tidak ingin kalau hartanya itu tidak bermanfaat. Apalagi dipakai untuk sesuatu yang akan menimbulkan bencana dan dosa.Islam menyandarkan sesuatu bukan berdasarkan akibat dilapangan. Melainkan Islam memandang kepada kekuatan dalil-dalil syara’ yang merupakan hukum dari Allah SWT yang Maha Mengetahui hakekat kehidupan manusia, dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Israa : 32).
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda:
“Hai golongan pemuda ! Barangsiapa diantara kamu mampu menikah, hendaklah ia nikah, karena yang demikian itu amat menundukkan pemandangan dan amat memelihara kehormatan, tetapi barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia puasa, karena (puasa) itu menahan nafsu baginya”. (HR. Bukhori-Muslim).
Kontekstualisasi Hukum Dalam Masyarakat
Apabila membicarakan masalah efektif atau berfungsi atau tidaknya suatu hukum dalam arti undang-undang atau produk hukum lainnya, maka pada umumnya pikiran akan diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dalam teori-teori hukum biasanya dibedakan antara 3 (tiga) macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah mengenai pemberlakuan kaidah hukum menurut Soerjono Soekanto Dan Mustafa Abdullah bahwa.[8]
- Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau bila berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya
- Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat atau kaidah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat.
- Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Jika ditelaah secara mendalam, maka untuk berfungsinya atau efektifnya suatu hukum haruslah memenuhi ketiga unsur tersebut. Sejalan dengan hal tersebut menurut Mustafa Abdullah bahwa agar suatu peraturan atau kaidah hukum benar-benar berfungsi harus memenuhi 4 (empat) factor yaitu.[9]
- Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri
- Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan (menjaga dan menghimbau masyarakat terkait hukum)
- Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum atau peraturan tersebut.
- Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut (yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan).
Setelah melihat 4 faktor diatas hukum akan berjalan lancar apabila 4 faktor diatas benar-benar diterapkan dan dijalankan oleh manusia sesuai dengan fungsinya. Hukum merupakan pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia karena manusia adalah subjek hukum sehingga dimana ada manusia disitu ada hukum dengan demikian hukum bukan kebiasaan. Pelaksanaan peraturan itu dapat dipaksakan artinya bahwa hukum mempunyai sanksi, berupa ancaman dengan hukuman terhadap si pelanggar.[10]
Setelah melihat peristiwa pelanggaran yang terjadi dikota-kota terkait pelanggaran dalam berlalu lintas .Hal ini dilatar belakangi oleh bermacam faktor sehingga masih banyak masyarakat kota-kota malang yang melanggarnya. Setelah dibandingkan antara realitas masyarakat dengan idealis undang-undang yang mengatur terkait pelanggaran lalu lintas terjadi ketidak sesuaian antara keduanya. Dengan meminjam teori yang digunakan Mustafa Abdullah diatas, maka pelanggaran yang terjadi adalah praktek pelanggaran Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan dan Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan. Proses pelanggaran ini terjadi karena ketidaksadaran masyarakat untuk mentaati tentang adanya undang-undang yang telah di sah kan oleh pemerintah sehingga dengan ketidaksadaran ini menjadi kebiasaan masyarakat untuk melanggarnya. Hal ini dikuatkan oleh narasumber yang telah diwawancari oleh penulis Pada hari minggu (tanggal 5 desember 2015 sekitar jam 1:00) narasumber (hammad) mengatakan: (saya tau mas tentang undang-undang dalam berlalu lintas tapi tidak tau kalau melanggar terkena pasal berapa karena polisi setempat kurang berkoalisi dengan masyarakat dan kadang-kadang polisi juga lengah. Dan pelanggaran ini juga terjadi karena kurangnya himbauan atau peringatan dari petugas penegaknya.Meskipun secara tegas undang-undang tentang menyalakan lampu utama disiang hari sudah baik, namun masih banyak masyarakat yang melanggarnya karena ada kelemahan dari pengimplementasiannya. Dengan mengaca sedikit pada hasil wawancara yang sudah dilakukan, penerapan implementasi dari hukum tersebut kurang maksimal, baik dari masyarakat mapun dari penegak hukumnya karena masih banyak masyarakat kota malang yang tidak menyadari dan mengakui terkait peraturan menyalakan lampu utama disiang hari mereka menganggap tidak menyalakan lampu di siang hari sudah menjadi kebiasaan. Dan kurangnya himbauan dari aparat kepolisian sehingga penerepan dari hukum tidak berhasil maksimal.
Kesimpulan
Dari beberapa paparan diatas dapat disimpulkan bahwa:
- Beberapa pelanggaran yang sering terjadi di kota malang itu terjadi akibat ketidaksadaran masyarakat untuk mentaati tentang adanya undang-undang yang telah di sah kan oleh pemerintah sehingga dengan ketidaksadaran ini menjadi kebiasaan masyarakat untuk melanggarnya.
- Menurut hukum ini manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak. Jadi menurut mereka yang berpendapat seperti ini pacaran dianggap boleh berdasarkan dalil ‘kebebasan individu’ asal tidak merugikan dan mengganggu hak-hak orang lain.
Ada juga pendapat yang membolehkan pacaran asal tidak melakukan ‘sesuatu’ yang berakibat kehamilan di luar nikah.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.Taufik Hadi,Drs.Halim Lubis Dan Drs,Agus Sujanto,1980,psikologi kepribadian,Surabaya : Aksara Baru.
Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1971).
Miftahus Sholehudin, Implementasi Perwali Kota Malang Nomor 19 Tahun 2013 ( artikel di Kompasiana.com).
Mustafa Abdullah, 1982, keasadaran hukum dan kepatuhan hukum, Jakarta: rajawali.
Oscar moch,kedudukan hukum positif indonesia.
Soeroso, S.H, 2013, pengantar ilmu hukum, jakarta: Sinar Grafika.
Said bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: 9 Firdaus, 1991), hal Ramadan, Islamic Law, It’s Scope and Equity.
Soerjono Soekanto Dan Mustafa Abdullah, 1987, sosiologo hukum dalam masyarakat, Jakarta: rajawali.
[1] Oscar moch,kedudukan hukum positif indonesia,23 desember 2014
[2] ] Said bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus, 1991), hal Ramadan, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih. 7.
[3] Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1971), hal. 1.7
[4] Miftahus Sholehudin, Implementasi Perwali Kota Malang Nomor 19 Tahun 2013 ( artikel di
Kompasiana.com)
[5] Drs.Taufik Hadi,Drs.Halim Lubis Dan Drs,Agus Sujanto,1980,psikologi kepribadian,Surabaya : Aksara Baru,hlm 147
[6] Drs.Taufik Hadi,Drs.Halim Lubis Dan Drs,Agus Sujanto,1980,psikologi kepribadian,Surabaya : Aksara Baru,hlm 147-149
[7] Drs.Taufik Hadi,Drs.Halim Lubis Dan Drs,Agus Sujanto,1980,psikologi kepribadian,Surabaya : Aksara Baru,hlm 150-151
[8] Soerjono Soekanto Dan Mustafa Abdullah, 1987, sosiologo hukum dalam masyarakat, Jakarta: rajawali, hlm 23
[9] Mustafa Abdullah, 1982, keasadaran hukum dan kepatuhan hukum, Jakarta: rajawali, hlm 14.
[10] R. Soeroso, S.H, 2013, pengantar ilmu hukum, jakarta: Sinar Grafika,hlm 27.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H